Analisis terbaru terhadap spesies hidup atau punah akibat asteroid yang membunuh dinosaurus telah mengungkap pola tak terduga. Pola ini dinilai bertentangan dengan teori yang berlaku terkait kelangsungan hidup pasca kepunahan massal sebelumnya.
Hal itu diungkap melalui studi gabungan yang dilakukan The University of Chicago Amerika Serikat, Smithsonian Institution, dan Museum Sejarah Nasional London.
Studi ini membuat katalog fosil kerang dan remis, serta menyusun gambaran ekosistem laut sebelum dan sesudah kepunahan massal 66 juta tahun lalu. Pada tahap awal, para ilmuwan menemukan memang tiga perempat dari seluruh spesies punah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tapi, ternyata keadaan ekologi atau timbal balik antara makhluk hidup dan lingkungannya tidak hilang. Hasil ini, menurut para ilmuwan adalah hal yang secara statistik tidak mungkin.
"Ini temuan yang sangat menarik dan sedikit meresahkan. Bagaimana ekosistem pulih dari kepunahan massal masih menjadi pertanyaan besar bagi bidang ini, mengingat kita sedang menuju ke arah itu," kata Profesor Ilmu Geofisika Distinguished Service UChicago dan penulis studi, David Jablonski dikutip dari laman resmi UChicago.
Suatu Hal yang Tidak Mungkin
Dalam sejarah Bumi, sudah terdapat lima kepunahan massal atau peristiwa dahsyat di mana mayoritas spesies punah akibat suatu perubahan global. Para ilmuwan memprediksi, Bumi sedang mendekati ke arah kepunahan massal keenam.
Oleh karena itu, mereka sangat tertarik untuk memahami bagaimana ekosistem bisa pulih dari peristiwa besar ini. Dari lima kepunahan massal yang ada, Jablonski dan tim memilih untuk meneliti kepunahan massal yang paling baru.
Peristiwa yang dikenal sebagai akhir Zaman Kapur itu mengakibatkan kepunahan lebih dari tiga perempat spesies. Termasuk spesies yang mati pada waktu ini adalah T-rex dan sebagian besar dinosaurus.
Penelitian dimulai dengan fokus pada kerang, tiram, dan moluska laut lainnya. Cangkang mereka yang keras dan melimpah sangat mudah terfosilkan.
Berkat hal itu, peneliti masa kini bisa mempelajari masa lalu. Tim Jablonski berupaya semaksimal mungkin untuk mendokumentasikan gambaran ekosistem sebelum dan sesudah kepunahan.
Dengan cermat, para ilmuwan itu membangun gambaran lanskap ekologi global tepat sebelum kepunahan. Setelahnya, mereka melakukan perbandingan dengan spesies yang ditemukan setelah peristiwa terjadi, hasilnya membuat ilmuwan terkejut.
Hasilnya adalah meskipun sejumlah besar spesies punah, ekologi di laut tempat kerang tinggal tetap terjaga dan tidak ada satupun yang hilang. Secara statistik, ilmuwan meyakini hal ini tidak mungkin terjadi.
"Jika 75% dari seluruh spesies punah, Anda akan menduga setidaknya beberapa cara hidup akan punah sepenuhnya dan hanya satu atau dua spesies yang tersisa. Tapi, bukan itu yang kami lihat," ungkap Katie Collins dari Museum Sejarah Alam London.
Temuan ini tidak sesuai dengan penemuan studi sebelumnya tentang bagaimana keanekaragaman hayati pulih dari kepunahan. Beberapa dekade lalu, para ilmuwan berpikir bahwa kepunahan massal hanyalah salah satu upaya untuk mempercepat keniscayaan.
Artinya, dinosaurus pada dasarnya akan kalah dari mamalia dan tetap punah. Namun, kala itu ada sebuah asteroid yang menghantam Bumi dan kebetulan mempercepat kepunahan.
Selain itu ada pendapat lain tentang kepunahan massal, di mana kepunahan massal merupakan peristiwa biologis yang menentukan siapa yang mampu bertahan hidup akan mengalami evolusi untuk mengisi ceruk yang berbeda.
Tetapi, sekali lagi hasil penelitian yang dilakukan Jablonski dan timnya tidak memenuhi dua pendapat itu. Jablonski menggambarkan temuannya sebagai sebuah peringatan.
"Kami tidak memahami bagaimana hilangnya gugus fungsi yang berhubungan dengan hilangnya keanekaragaman hayati," katanya.
Cara Spesies Pulih Berbeda-beda
Temuan lain yang diperhatikan Jablonski dan tim adalah mereka melihat bahwa cara spesies pulih bertentangan dengan harapan. Spesies yang berhasil selamat dari kepunahan massal, belum tentu menjadi yang teratas.
Mereka memiliki cara hidup dan cara untuk pulih yang berbeda-beda atau acak. Jablonski menjelaskan bahwa banyak ilmuwan berasumsi bahwa ketika kepunahan massal terjadi, para penyintas yang berhasil selamat akan memanfaatkan peluang dan melakukan diversifikasi (penganekaragaman) dengan cepat.
Ia tidak menutup mata terkait fakta tersebut. Jablonski menilai, hal itu bisa terjadi pada mamalia tetapi tidak pada ekosistem laut.
Dengan demikian, studi yang dilakukannya diharapkan mampu memberikan informasi penting untuk upaya konservasi lautan modern. Terlebih, laut kini terancam dengan pengasaman, polusi, dan penangkapan ikan berlebihan.
"Ini adalah sesuatu yang sangat ingin kami pahami jika kita ingin membahas kepunahan modern dan pemulihan kembali di lautan, serta bagaimana cara mengelolanya," jelas Jablonski.
"Miliaran orang bergantung pada laut untuk mendapatkan makanan dan kita dapat melihat bahwa cagar alam dan kebijakan pengelolaan perlu mempertimbangkan struktur ekologi biota yang lebih luas, bukan hanya spesies individu," tandasnya.
Studi ini terbit di jurnal Science Advances pada 21 Mei 2025 dengan judul "The end-Cretaceous mass extinction restructured functional diversity but failed to configure the modern marine biota".
(det/pal)