Partisipasi penyandang disabilitas di ranah sains, teknologi, teknik, dan matematika (STEM) nyaris tak menunjukkan perkembangan berarti. Laporan National Science Foundation (NSF) Amerika Serikat mencatat, pada 2021 hanya sekitar 3 persen pekerja STEM di negara itu yang berasal dari kelompok difabel.
Angka tersebut tidak menunjukkan kenaikan berarti setidaknya selama sepuluh tahun terakhir. Padahal, definisi "disabilitas" dalam periode itu sudah diperluas sehingga mencakup lebih banyak kategori kondisi fisik maupun mental. Dari 2011 hingga 2021, persentase pekerja difabel di bidang STEM tetap stagnan, sementara kelompok marjinal lain baik berdasarkan gender maupun ras justru menunjukkan peningkatan keterwakilan yang signifikan.
Padahal, sejarah mencatat banyak ilmuwan difabel yang justru menghasilkan penemuan penting dan meninggalkan warisan besar bagi dunia. Dari Todd A. Blumenkopf yang memperjuangkan aksesibilitas laboratorium, John Cornforth yang meraih Nobel meski kehilangan pendengaran, hingga Dorothy Crowfoot Hodgkin yang menaklukkan rheumatoid arthritis sambil membuka jalan bagi pengobatan modern.
Mereka membuktikan bahwa keterbatasan fisik bukanlah penghalang kreativitas ilmiah. Kisah mereka yang dikutip dari C&EN menjadi pengingat bahwa sains akan semakin kaya bila memberi ruang setara bagi semua.
8 Ilmuwan Kimia Difabel yang Menginspirasi Dunia
1. Todd A.Blumenkopf
Todd A. Blumenkopf, ahli kimia farmasi asal AS yang lahir dengan spina bifida, membuktikan bahwa keterbatasan fisik tak menghalangi kiprah besar dalam sains. Sejak kuliah di University of California, Los Angeles, ia harus beradaptasi dengan laboratorium yang belum ramah kursi roda, hingga universitas membuatkan kursi kayu beroda khusus untuknya agar aman digunakan di dekat spektrometer NMR maupun saat mengajar.
Ia meraih doktor di University of California, Berkeley dengan sintesis total fawcettimine, lalu menempuh riset pascadoktoral di UC Irvine sebelum berkarier di Burroughs Wellcome dan Pfizer. Di Pfizer, ia menjadi bagian tim penemu obat Xeljanz untuk rheumatoid arthritis-sebuah pencapaian yang mengantarnya meraih Heroes of Chemistry Award dari American Chemical Society pada 2015, empat tahun setelah wafatnya.
Selain kontribusi ilmiah, Blumenkopf aktif memperjuangkan aksesibilitas laboratorium. Ia bekerja sama dengan ahli kayu, ergonomis, dan insinyur untuk memodifikasi fasilitas agar ramah pengguna kursi roda, serta turut menyunting buku Working Chemists with Disabilities (1996) yang memuat strategi bekerja aman di laboratorium bagi ilmuwan difabel.
Warisan Blumenkopf terpatri bukan hanya dalam penemuan obat penting, tetapi juga dalam dedikasinya membuka jalan bagi generasi ilmuwan difabel agar dapat bekerja setara di dunia sains.
2. John Cornforth
John Cornforth, lahir di Sydney pada 1917, meraih Hadiah Nobel Kimia 1975. Masa kecilnya berjalan biasa, hingga pada usia sepuluh tahun ia divonis menderita otosklerosis, gangguan progresif pada tulang telinga tengah yang perlahan merenggut pendengarannya. Dikutip dari Royal Society, awalnya Cornforth membayangkan masa depan sebagai guru atau pengacara. Namun kesadaran bahwa ia akan sepenuhnya kehilangan kemampuan mendengar membuatnya mencari bidang lain yang lebih sesuai.
Titik balik datang ketika ia jatuh cinta pada ilmu kimia di Sydney Boys' High School, berkat bimbingan gurunya, Leonard "Len" Basser. Ketika suara yang tertangkap pendengarannya makin redup, Cornforth justru semakin peka pada dunia visual dan sensorik seperti bentuk kristal, kejernihan cairan hasil distilasi, ragam warna zat pewarna, hingga aroma kimia yang khas-dari wangi lembut hingga menyengat.
Ia kemudian lulus dengan predikat terbaik dan melanjutkan studi sains di Universitas Sydney. Kekurangan pendengaran membuatnya sulit menyimak kuliah langsung, sehingga Cornforth menekuni literatur penelitian asli. Dari sana ia menemukan bahwa buku ajar kerap berisi kekeliruan. Sejak itu, ia memegang prinsip yang menuntunnya sepanjang karier yaitu jangan pernah menerima begitu saja isi teks, melainkan telusuri sumber primer untuk menemukan kebenaran ilmiah.
Dalam perjalanan karier,Cornforth didukungistrinya sekaligus kolega, RitaHarradence, yang menjadi pendamping setia dalam komunikasi akademik.
Setelah menyelesaikan pendidikan awalnya, John Cornforth menapaki jalur penelitian di Inggris dengan bergabung di National Institute for Medical Research (NIMR). Di sana ia bertemu George Popják, ahli biologi asal Hungaria, yang kelak menjadi mitra kolaborasi paling berpengaruh dalam hidupnya. Keduanya kemudian memimpin Shell Milstead Laboratory of Chemical Enzymology, pusat riset yang akrab dijuluki para peneliti sebagai "PopCorn Labs", gabungan dari nama Popják dan Cornforth.
Fokus Cornforth adalah stereokimia reaksi enzimatis yaitu bagaimana tubuh mengatur reaksi kimia secara tiga dimensi. Bidang ini terkesan teknis, namun sangat penting. Pemahaman tentang arah dan orientasi reaksi biologis membuka jalan bagi lahirnya terapi medis modern, termasuk obat penurun kolesterol yang kemudian menyelamatkan jutaan nyawa di seluruh dunia.
Atas pencapaian ini, Cornforth dianugerahi Hadiah Nobel Kimia tahun 1975, bersama ilmuwan Swiss Vladimir Prelog. Menariknya, siaran pers Nobel waktu itu menuliskan kalimat lugas: "This subject is difficult to explain to the layman." Sebuah pengakuan bahwa riset Cornforth memang rumit bagi orang awam, tetapi kontribusinya tak terbantahkan. Selepas masa kejayaannya di Milstead, Cornforth dipercaya sebagai Royal Society Research Professor di University of Sussex. Hingga hampir usia 90 tahun, ia tetap produktif menulis dan meneliti, membuktikan keterbatasan pendengaran tak pernah mengikis semangat intelektualnya.
(pal/pal)