Sejarah Lentera Udara di Shifen, Isyarat Aman yang Jadi Penghidupan

ADVERTISEMENT

Sejarah Lentera Udara di Shifen, Isyarat Aman yang Jadi Penghidupan

Trisna Wulandari - detikEdu
Selasa, 26 Agu 2025 09:00 WIB
Shifen Old Street di Taiwan, terkenal dengan lentera udara, menawarkan tradisinya untuk menjadi bagian dari pengalaman pelancong.
Shifen Old Street di Taiwan, terkenal dengan lentera udara, menawarkan tradisinya untuk menjadi bagian dari pengalaman pelancong. Foto:
Jakarta -

Matahari di kawasan Shifen Old Street siang hari cukup terik di pengujung musim panas 2025. Namun, turis-turis mancanegara tetap lalu lalang menyusuri jalan kecil dan teras di depan toko-toko lentera udara yang berbatasan langsung dengan rel kereta setempat.

Shifen Old Street merupakan perlintasan kereta dari dan menuju Stasiun Shifen di Distrik Pingxi, Kota New Taipei, Taiwan. Mengapit kereta yang lewat dari sisi kiri dan kanan, terdapat deretan toko lentera udara, es krim dengan serutan kacang, es lemon, jus, sosis babi, camilan rajungan, dan toko oleh-oleh gantungan kunci hingga mochi.

Kawasan ini menjadi tempat asal budaya lentera udara di Taiwan. Tak heran, para pelancong ramai datang ke toko-toko lentera kertas minyak itu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Lentera-lentera besar itu ditulis dengan kuas dan tinta hitam. Di atasnya, para turis menuliskan harapan dan pesan secara bergantian pada empat sisi lampion.

ADVERTISEMENT

Pemilik toko kemudian akan membakar kertas yang sudah direndam minyak tanah di ujung lampion, memberi udara panas untuk menerbangkan lentera tersebut. Lentera bertuliskan harapan-harapan mereka akan terbang tinggi sampai kehabisan udara panas, lalu jatuh di atas pohon, tanah, dan atap rumah warga setempat.

Isyarat Aman

Atraksi turis ini rupanya berawal dari penggunaan lentera udara untuk tujuan yang lebih serius. Menurut warga setempat, bandit kerap merangsek pedesaan di Pingxi sekitar tahun 1800-an.

Para penduduk desa kemudian akan menerbangkan lentera udara ke langit. Terbangnya lentera-lentera ini menjadi cara untuk memberi tahu warga yang berlindung di ketinggian pegunungan bahwa keadaan sudah aman untuk turun ke daerah yang kini menjadi lokasi stasiun tersebut.

Praktik ini kemudian juga dijadikan cara bagi warga untuk mengirim doa ke langit atau ke dewa. Salah satunya untuk menuliskan harapan mendapat rezeki maupun dikaruniai anak.

Terkait penggunaannya sebagai isyarat keamanan, lentera udara sendiri diperkirakan sudah digunakan oleh ahli strategi militer China, Zhuge Liang, sekitar abad 3 SM. Sebaliknya, ia diperkirakan menggunakan lentera udara untuk mengirim tanda bahaya, bahwa ia sedang dikepung musuh.

Sedangkan praktik menerbangkan lentera ke langit untuk mengirim doa disebut berasal dari Provinsi Fujian, China. Orang-orang Fujian ini kelak menjadi nenek moyang orang Pingxi, yang melestarikan budaya festival lentera udara.

Menjadi Penghidupan

Atraksi lentera udara di Shifen Old Street, New Taipei, Taiwan, Selasa (19/8/2025).Atraksi lentera udara di Shifen Old Street, New Taipei, Taiwan, Selasa (19/8/2025). Foto: Trisna Wulandari/detikcom

Kini, tradisi lentera udara menjadi penghidupan warga sekitar lokasi wisata Shifen di Pingxi. Kendati festival besarnya lazim digelar sekitar Februari, turis tetap gemar membeli pengalaman menulis harapan dan menerbangkannya dengan lentera udara ini.

DetikEdu berkesempatan mengunjungi kawasan Shifen Old Street ini bersama rombongan wartawan dalam rangkaian Binus University Media Partnership Program, Selasa (19/8/2025).

Ada banyak jenis ukuran lentera yang dijual di toko-toko setempat. Lentera yang lebih kecil dihargai sekitar NTD 150-250 ( Rp 80.000-Rp 134.000), sedangkan yang besar dan banyak warga bisa sekitar NTD 250-350 (Rp 134.000-Rp 187.000), atau lebih.

Pemilik toko tak sungkan mengajak bercengkrama dan bercanda turis yang hendak menerbangkan lentera, sekalipun tak mengerti bahasa satu sama lain. Ada-ada saja triknya, mulai dari membuat kaget dengan pura-pura mendorong lentera yang kertasnya sudah dibakar sampai meminta turis berkali-kali mengganti pose saat ia mengambil foto mereka.

Upaya-upaya pedagang lentera udara ini agaknya membuahkan hasil. Turis-turis yang belum membeli bisa melihat atraksi mereka saat melayani pelancong lain, membuatnya tertarik untuk ikut mencoba. Di hari-hari biasa, bisa 50-100 lentera terjual, sedangkan di hari ramai bisa mencapai 500 lentera lebih.

Para turis juga bisa mencoba menulis kaligrafi China dengan meniru oleh-oleh gantungan tas yang juga dijual di toko. Gantungan berbentuk lentera tersebut bertuliskan macam-macam harapan, mulai dari yang berarti 'gaji naik setiap tahun' sampai 'beruntung dan makmur setiap tahun'. Gantungan tas ini dihargai NTD 60 atau sekitar Rp 32.000.

Pedagang lentera udara di Shifen tahu ada kritik soal lentera udara yang dinilai tak ramah lingkungan. Beberapa di antaranya menyoal komponen logam, plastik, dan pewarna lentera jika jatuh di perairan.

Sementara itu, sampah lentera yang tersangkut di pohon, aliran air, dan rumah setempat juga dikritik sejumlah turis.

Merespons isu ini, para pedagang menggunakan bambu sebagai kerangka lentera dan kertas minyak. Didukung pemerintah setempat, warga yang dapat membersihkan sampah lentera juga dibayar atau diberi insentif. Lentera tersebut juga bisa dijual ke tempat daur ulang.




(twu/twu)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads