Bakteri pemakan plastik disebut sebagai salah satu solusi temuan peneliti Jepang untuk mengatasi krisis sampah dunia. Tetapi, apakah solusi ini juga dikembangkan di Indonesia?
Peneliti sekaligus Kepala Laboratorium Hidrolika, Hidrologi, dan Sungai Universitas Indonesia (UI) Dwinanti Rika Marthanty menyebut bakteri pemakan sampah sudah ada di Indonesia dalam skala riset. Bakteri ini masih terus diteliti dan belum digunakan secara masif.
"Sudah ada dalam skala riset, belum pada skala dipasarkan," tutur sosok yang akrab dipanggill Anti itu kepada detikEdu usai acara bincang media Riset KONEKSI untuk Solusi Pengelolaan Sampah di Kembang Goela Restaurant, Jakarta Selatan, Kamis (24/7/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Masih Terus Dikembangkan
Lebih lanjut, Anti menjelaskan riset bakteri pemakan plastik hingga bakteri pemakan minyak sudah berkembang di RI. Namun, bakteri ini belum dipergunakan secara luas di skala industri.
"Jangankan pemakan plastik, pemakan minyak pakai bakteri (suda ada). Cuman apakah bisa skala industri, skala besar, nah ini memang pasih perlu riset. Tapi skala lab, sudah ada," ucapnya.
Menurutnya, Indonesia pada dasarnya memiliki banyak riset yang masih dikembangkan dan diteliti di laboratorium. Mirip dengan bakteri pemakan plastik, salah satu penemuan bidang teknik sipil, yang ia geluti, berkaitan dengan penggunaan sampah plastik sebagai material aspal dan beton.
"Tapi nanti plastiknya beda-beda. Nah kemarin kami sudah coba, untuk beton sama plastik ternyata membuat kualitas dari beton itu berkurang dan plastiknya pun harus direkayasa," urai Anti.
Ia menjelaskan, sampah plastik harus dicuci satu per satu sebelum bisa digunakan sebagai campuran material bahan bangunan. Tahap mencuci sampah plastik sendiri bisa makan lebih banyak biaya dan waktu.
"Untuk penggunaan plastik mesti dicuci dulu loh, itu beneran kita cuci. Nah, itu jadinya akan menambah biaya dan waktu, karena supaya dia sesuai dengan standar bangunan," sambungnya.
Isu berbeda ditemukan pada gabungan aspal dan plastik. Contohnya, sampah di Indonesia didominasi dengan plastik lembaran. Jumlahnya diketahui mencapai 50-60% dari jumlah keseluruhan sampah.
Untuk itu, masih butuh penelitian lebih lanjut untuk sampai ke tahap produksi skala industri.
"Jadi, jumlahnya itu benar-benar banyak. Nah itu, kalau untuk pakai bakteri kita perlu mengkondisikan supaya bakteri hidup. Nah ini yang belum bisa terjadi, belum populer, walaupun secara skala lab sudah ada," ujar Dosen Fakultas Teknik UI itu.
Menurut Anti, sudah ada lab di Indonesia yang sudah mengakomodasi penelitian tentang bakteri. Salah satunya bisa ditemukan di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
"Lab tentang penelitian bakteri itu ada beberapa lokasi. Di lab kita sendiri (Laboratorium Hidrolika, Hidrologi, dan Sungai UI), kalau untuk bakteri masih terbatas. Tapi, saya kira di beberapa tempat seperti BRIN itu ada dan perlu beberapa tahap lagi supaya bisa dipakai di masyarakat," tandasnya.
Dilansir The Guardian, sebelumnya peneliti telah menemukan bakteri pemakan plastik bernama Ideonella sakaiensis di tempat pembuangan sampah di Jepang. Bakteri ini menghasilkan enzim bernama PETase yang mampu mengurai plastik polietilen tereftalat (PET), jenis plastik yang banyak digunakan dalam botol dan kemasan makanan, menjadi komponen dasarnya.
Namun, proses alami penguraian ini masih sangat lambat. Sebagai contoh, selembar plastik kecil bisa memakan waktu tujuh minggu untuk terurai.
Untuk mengatasi isu kecepatan penguraian, para ilmuwan mengembangkan versi buatan dari enzim tersebut dengan teknik rekayasa genetik dan evolusi buatan.
Dengan cara ini, mereka mampu menciptakan enzim yang lebih cepat, lebih stabil, dan bekerja pada suhu tinggi. Teknologi ini memungkinkan penguraian plastik lebih singkat dan efisien sehingga krisis sampah dunia bisa ditangani.
(det/twu)