Pada Agustus 2009, Wali Kota Baubau di Provinsi Sulawesi Tenggara mengambil langkah berani dengan menetapkan aksara Korea atau Hangeul, sebagai sistem penulisan resmi bagi bahasa etnis Ciacia.
Amirul Tamim, sang wali kota saat itu mengungkapkan kebijakan tersebut ditempuhnya untuk melestarikan bahasa daerah yang digunakan sekitar 90 ribu penutur tersebut.
Masyarakat Ciacia secara historis tidak mengenal tradisi tulis-menulis dalam kehidupan sehari-hari. Satu-satunya bentuk tulisan yang dikenal adalah kutika.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dikutip dari artikel Persoalan Pelestarian Bahasa Ciacia: Refleksi Atas Etika Diskursus karya Mikka Wildha Nurrochsyam, kutika adalah sebuah sistem simbolik berupa coretan pada papan kayu atau kertas.
Kutika digunakan sebagai alat peramalan, baik untuk membaca nasib, menentukan waktu yang tepat untuk memulai musim tanam, hingga memprediksi hasil pertandingan sepak bola.
Namun, penggunaannya tidak bersifat massal. "Tidak semua orang mempunyai kutika, pada umumnya dimiliki oleh orang yang dituakan dalam masyarakat," seperti dikutip dari artikel tersebut.
Keputusan Amirul tersebut tak luput dari sorotan publik dan menimbulkan polemik. Kelompok pendukung kebijakan tersebut menegaskan bahwa budaya, termasuk bahasa, bersifat dinamis dan terus berkembang seiring waktu.
Lebih jauh, mereka menilai penggunaan aksara dari Korea ini hanya sebatas pada aspek grafis, bukan pada substansi bahasa atau budaya lokal.
Langkah ini bahkan dinilai sebagai upaya pelestarian bahasa Ciacia agar tak punah, sekaligus menumbuhkan minat generasi muda untuk mempelajari bahasa daerah mereka sendiri.
Di sisi lain, kelompok yang menolak kebijakan ini justru melihatnya sebagai bentuk ancaman terhadap kemurnian bahasa dan budaya Ciacia. Mereka khawatir, masuknya aksara Korea akan membuka jalan bagi infiltrasi kosa kata Korea ke dalam bahasa Ciacia.
Isu adaptasi Hangeul dalam bahasa Ciacia kembali mencuat dalam konferensi internasional bertema pelestarian bahasa dan sastra yang digelar di Kantor Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Gatot Subroto, Jakarta, Jumat (21/2/2025).
Dalam forum ilmiah tersebut, Mifta Huzaena dari Balai Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara memaparkan temuan risetnya mengenai penggunaan Hangeul dalam bahasa Ciacia.
Ia menjelaskan sejak diadopsi 15 tahun lalu, aksara asal Korea tersebut masih bertahan dan bahkan telah resmi masuk ke dalam kurikulum sekolah dasar di Kota Baubau.
Meski demikian, Mifta mencatat bahwa penggunaan Hangeul tidak lepas dari sejumlah tantangan. Secara struktural dan fonetik, aksara ini memang dinilai sesuai untuk merepresentasikan bunyi-bunyi dalam bahasa Ciacia.
Namun, dalam praktiknya masih ditemukan kendala, terutama dalam hal representasi fonologis yang akurat dan tingkat penerimaan di kalangan masyarakat lokal yang belum merata.
"Penggunaan aksara ini mungkin masih bersifat simbolis dan belum berkembang secara fungsional dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan yang lebih matang dalam implementasi aksara Hangeul untuk bahasa Ciacia," ujarnya seperti dikutip dari laman BRIN.
3 Fakta Adopsi Aksara Korea di Sulawesi Tenggara
1. Berawal dari Gurauan Ahli Bahasa dari Korsel
Gagasan penggunaan aksara Korea untuk menulis bahasa Ciacia berawal dari sebuah momen usai Simposium Internasional Pernaskahan Nusantara IX yang digelar di Buton, Sulawesi Tenggara, pada 5-8 Agustus 2005.
Acara ini dihadiri sejumlah akademisi dari berbagai negara, termasuk Chun Tai-Hyun, seorang ahli bahasa asal Malaysia. Ia kemudian turut mendirikan Hunmin Jeongeum Society pada 2007 dan menjadi wakil ketua.
Usai rangkaian simposium, para peserta melakukan tur keliling Kota Baubau seperti dikutip dari artikel Being Korean in Buton? The Cia-Cia's Adoption of the Korean Alphabet and Identity Politics in Decentralised Indonesia karya Seung-Won Song dari Hankuk University, Korsel.
Dalam perjalanan tersebut, Chun sempat bergurau kepada Amirul Tamim bahwa bahasa lokal yang ia dengar terdengar mirip dengan bahasa Korea.
Amirul kemudian menjelaskan bahasa yang dimaksud adalah bahasa Ciacia, bahasa lokal yang sedang terancam punah karena belum memiliki sistem penulisan baku.
Dari perbincangan ringan itu, muncullah usulan dari Chun agar aksara Hangeul digunakan sebagai sistem tulisan bagi bahasa Ciacia. Gagasan tersebut disambut positif oleh Amirul, yang kemudian menjadi cikal bakal kebijakan adaptasi Hangeul di Baubau beberapa tahun kemudian.
Proyek Hunmin Jeongeum Society >>>
2. Proyek Hunmin Jeongeum Society
Hunmin Jeongeum Society adalah sebuah komunitas para ahli bahasa di Korsel yang berdiri pada 2007. Para ahli ini memiliki perhatian sama pada bahasa lokal di seluruh dunia yang terancam punah dan tidak memiliki aksara.
Mereka kemudian menawarkan Hangeul sebagai sistem penulisan yang disesuaikan dengan kebutuhan bahasa lokal tersebut. Misi mereka membagikan warisan budaya Korea kepada dunia.
3. Penerbitan Panduan Pengajaran
Masih dikutip dari artikel milik Seung-Won Song, kerja sama antara Pemerintah Kota Baubau dan Hunmin Jeongeum Society terkait penggunaan Hangeul untuk bahasa Ciacia mulai menguat pada Agustus 2008.
Saat itu, Ketua Hunmin Jeongeum Society Lee Ho-Young dan wakilnya Chun Tai-Hyun mengunjungi Baubau. Dalam pertemuan dengan Wali Kota Amirul Tamim serta perwakilan dua subkelompok masyarakat Ciacia, tercapai kesepakatan awal untuk mengadopsi aksara Hangeul sebagai sistem tulisan bagi bahasa Ciacia.
Selain itu, disepakati pula program pelatihan bagi sejumlah guru lokal. Kesepakatan lisan ini kemudian diformalkan melalui penandatanganan resmi pada 29 September 2010.
Sebagai tindak lanjut, pada Desember 2008, Lee Ho-Young mengundang dua guru bahasa Inggris asal komunitas Ciacia ke Seoul untuk mengikuti pelatihan. Di sana, mereka mengembangkan sistem transkripsi Hangeul yang disesuaikan dengan struktur fonetik bahasa Ciacia, serta menyusun buku panduan pembelajaran berjudul Bahasa Cia-Cia I.
Enam bulan kemudian, Lee kembali ke Baubau. Dalam sebuah pertemuan dengan para tokoh Ciacia, ia membacakan kalimat-kalimat dalam bahasa Ciacia menggunakan aksara Hangeul. Pembacaan tersebut mampu mempertahankan pelafalan yang hampir sempurna, sehingga menuai kekaguman para pemimpin adat.
Sejak saat itu, masyarakat Ciacia mempelajari bahasa ibu mereka dengan sistem tulisan baru dimulai dari sekolah dasar yang berlokasi di Kecamatan Sorawolio.
Simak Video "Video: Merawat Bahasa Daerah Itu Penting Nggak Sih?"
[Gambas:Video 20detik]
(pal/nah)