2 Perspektif Pakar UB soal Tarif Trump, Bisa Ciptakan 'Spillover Effect' Vs Peluang RI

ADVERTISEMENT

2 Perspektif Pakar UB soal Tarif Trump, Bisa Ciptakan 'Spillover Effect' Vs Peluang RI

Novia Aisyah - detikEdu
Rabu, 16 Apr 2025 20:30 WIB
U.S. and Chinese flags and a
Tarif Trump Foto: (REUTERS/Dado Ruvic)
Jakarta -

Dunia geger setelah Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengumumkan tarif timbal balik atau reciprocal tariff terhadap barang-barang elektronik dari berbagai negara yang masuk ke AS.

Trump sendiri menerapkan tarif 145% untuk China. Sedangkan China menerapkan tarif impor 125% untuk AS.

Indonesia sendiri, terkena tarif Trump 32%.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bisa Ciptakan Spillover Effect

Menyoal hal ini, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (UB) Dr rer pol Wildan Syafitri, SE, ME menyoroti adanya motif utama untuk pelindungan ekonomi dalam negeri yang tengah dilakukan oleh AS.

"Jika dilihat dan perlu diketahui bahwa, kebijakan tarif impor Trump ini memiliki tujuan untuk mengurangi defisit neraca perdagangan dan neraca pembayaran AS terhadap China," kata Wildan melalui keterangannya, ditulis Rabu (16/4/2025).

ADVERTISEMENT

Secara spesifik, ia turut menyorot salah satu dampak tarif Trump, yakni spillover effect. Spillover effect adalah dampak yang menyebar dari suatu peristiwa ekonomi ke perekonomian lainnya.

"Menurut saya, gejala spillover ini akan muncul karena, China tidak hanya sebagai negara pengekspor, tapi juga mengimpor bahan baku dari negara lain, salah satunya dari Indonesia," jelasnya.

Dari sisi kenaikan tarif impor terhadap China, Wildan lebih menggarisbawahi adanya kontradiktif disebabkan kenaikan tarif impor China oleh Trump.

Wildan menilai tarif Trump sebenarnya sangat kontras dengan konsep free trade atau sistem perdagangan bebas. Selain itu menurutnya semestinya persaingan ekonomi global itu memang didasarkan atas daya saing produk itu sendiri, bukan dari tarif.

"Jadi, ini yang dimaksud oleh Bu Sri Mulyani yang bilang bahwa, kebijakan ini tidak bisa dianalisis dengan menggunakan ilmu ekonomi," ujar Wildan.

Ketua Program Studi S2 FEB UB itu pun menekankan dalam teori klasik seperti teori keunggulan komparatif; teori keunggulan kompetitif; dan teori keunggulan absolut; maka semakin efisien perekonomian suatu negara, semakin kuat pula daya saing ekspornya.

Oleh sebab itu ia menyebut, menurut ekonomi klasik tarif Trump ini dapat menurunkan consumer surplus lantaran harga barang akan cenderung tinggi. Ia mengatakan tidak menutup kemungkinan akan terjadi Dead Weight Loss yang artinya tak seorang pun akan memperoleh keuntungan.

Dengan adanya ketidakpastian politis, di mana saat suatu negara tiba-tiba meningkatkan tarif impor tanpa perjanjian dengan negara lain, maka menurut Wildan akan menjadi kesempatan untuk negara lain melanggar kebijakan free trade dan berisiko pada bisnis dan investasi.

Wildan mengatakan perekonomian Indonesia setelah COVID mengalami surplus. Sedangkan kondisi perekonomian global bahkan sebelum COVID sudah mengalami gejala penurunan.

"Jadi, Indonesia itu selamat dari inflasi, selamat dari resesi," ujar Wildan.

Lantas, apa yang perlu dilakukan oleh Indonesia?

"Solusinya ya bisa pengalihan produk ekspor AS ke negara lain, seperti Singapura, meningkatkan daya saing ekspor dengan meningkatkan investasi inovasi, meningkatkan kemudahan bisnis, serta mendorong supply dan demand dalam negeri," tutur Wildan.

Bisa Berdampak Positif untuk RI, Kenapa?

Dosen Kebijakan Publik dan Pemerintahan‬ Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya (UB), Andhyka Muttaqin, SAP, MPA memiliki pandangan lain soal tarif Trump.

Menurutnya, kebijakan penangguhan tarif AS akan memberikan dampak positif terhadap iklim investasi di Indonesia. Utamanya karena menciptakan kepastian jangka pendek dan peluang relokasi industri dari China.

Kendati begitu, Pemerintah Indonesia menurutnya perlu bergerak cepat memanfaatkan momentum tersebut dengan diplomasi dagang aktif dan reformasi kebijakan investasi dalam negeri supaya manfaatnya maksimal dan berkelanjutan.

Andhyka pun menyampaikan peningkatan tarif tersebut memunculkan tekanan besar terhadap produk China. Sehingga, perusahaan-perusahaan global berbasis China akan mencari negara lain untuk mengekspor produknya, salah satunya yang paling berpotensi adalah Indonesia, utamanya dalam manufaktur berorientasi ekspor.

"Ini bisa meningkatkan foreign direct investment (FDI) dari perusahaan multinasional yang ingin menghindari tarif tinggi di China," jelas Andhyka.

Ia pun mengatakan kebijakan resiprokal 90 hari ini merupakan peluang untuk Pemerintah Indonesia memperkuat posisi dalam perundingan perdagangan dan investasi, seperti menegosiasikan perlakuan khusus untuk produk strategis Indonesia atau perluasan fasilitas Generalized System of Preferences (GSP).

Ia mengatakan Pemerintah Indonesia tetap perlu bergerak cepat memanfaatkan momentum ini dengan diplomasi dagang aktif dan reformasi kebijakan investasi dalam negeri supaya manfaatnya maksimal dan berkelanjutan.




(nah/nwk)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads