Tren Kompos Jasad Manusia Picu Pro-Kontra, Beberapa Wilayah di AS Melegalkan

ADVERTISEMENT

Tren Kompos Jasad Manusia Picu Pro-Kontra, Beberapa Wilayah di AS Melegalkan

Trisna Wulandari - detikEdu
Senin, 10 Feb 2025 20:30 WIB
Close up Farmer hand giving plant organic humus fertilizer to plant
ο»ΏBegini pro-kontra tren kompos jasad manusia, manfaat dan pendapat dari aspek sains hingga agama. Foto: Getty Images/iStockphoto/Singkham
Jakarta -

Sejumlah wilayah di dunia melegalkan pengomposan jasad manusia dalam beberapa tahun terakhir. Fenomena ini memicu sejumlah pro-kontra di tengah masyarakat berbagai negara.

Pengomposan manusia adalah tata cara penguburan jasad manusia yang akan diolah dalam sejumlah tahap sehingga berubah menjadi tanah atau kompos. Pada 2023, Harvard Business Review mendapati tren peningkatan minat pemakaman berkelanjutan seperti pengomposan manusia.

Per 2024, setidaknya tujuh negara bagian Amerika Serikat, termasuk New York hingga Nevada, telah melegalkan pengomposan manusia di negara bagiannya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Proses Pembuatan Kompos dari Jasad Manusia

Mengutip Encyclopaedia Britannica, proses pengomposan manusia biasanya meliputi tahap menutupi jasad dengan bahan tanaman di ruang khusus agar dapat terurai menjadi tanah organik dasar dalam 60-90 hari.

Berbeda dengan penguburan dalam tanah pada umumnya, jasad manusia di proses kompos ini ditempatkan di wadah baja yang berisi jerami, alfalfa, dan serbuk gergaji atau substrat organik lain.

ADVERTISEMENT

Tahap di atas memungkinkan percepatan atas dekomposisi jasad, yang biasanya dilakukan petani untuk pengomposan bangkai hewan.

Setelah dimasukkan, jasad manusia ditimpa lagi dengan jerami, alfalfa, dan serbuk gergaji. Wadah baja tersebut lalu ditutup, diatur pada suhu 55-71 derajat C dan diberi aliran oksigen untuk aerasi.

Tahap tersebut bertujuan untuk membantu organisme mikroba pengurai. Tahap ini juga dapat membunuh patogen (mikroorganisme penyebab penyakit) agar hasil kompos aman digunakan.

Hasil penguraian usai 30 hari diayak agar terpisah dari bahan anorganik seperti peralatan medis di dalam jasad. Sedangkan sisa kerangka yang masih utuh lalu dihancurkan dan disatukan lagi dengan tanah hasil kompos.

Kompos campuran tersebut lalu dimasukkan ke wadah pengawetan untuk dikeringkan dan diawetkan selama 2-4 minggu.

Hasil pengomposan manusia menghasilkan kurang dari 1 meter kubik tanah. Hasil kompos diberikan kembali ke keluarga almarhum, biasanya digunakan untuk menanam pohon pada taman memorial, atau disumbangkan untuk upaya konservasi lingkungan.

Pro-Kontra Kompos Manusia

Pengomposan manusia semula dikembangkan Katrina Spade untuk layanan di perusahaannya di Seattle, AS, Recompose. Langkah ini kemudian diikuti perusahaan lain seperti Return Home dan Interra Green Burial.

Negara bagian Washington melegalkan pengomposan manusia mulai 2019, Colorado dan Oregon pada 2021, Vermont dan California pada 2022, New York dan Nevada pada 2023, dan Delaware, Maryland, serta Arizona pada 2024. Sementara di Kanada, kendati belum sah secara hukum, opsi pengomposan manusia menjadi populer.

Manfaat Kompos Jasad Manusia di AS

Sejumlah manfaat pengomposan manusia mendorong orang untuk mendukung opsi pemakaman ini.

Berikut sejumlah manfaat kompos manusia seperti dijelaskan Associate Professor Studi Organisasi dan Perdagangan Berkelanjutan dan Direktur Institute for Sustainable Commerce, University of Guelph, Rumina Dhalla dan Assistant Professor - Teaching Track, Fakultas Ekonomi, University of Waterloo, Stephanie M Villers dalam The Conversation:

  • Lebih murah daripada pemakaman di Amerika Serikat, yakni mulai dari USD 5.000 (Rp81 juta) untuk kompos manusia banding USD 7.800 (Rp127 juta) untuk pemakaman biasa atau USD 7.000 (Rp114 juta) untuk kremasi.
  • Tidak ada tahap pembalsaman jasad yang membuat bahan kimia balsam meresap ke tanah, sehingga lebih ramah lingkungan
  • Tidak menggunakan peti mati yang butuh bahan baku lebih banyak dan mahal.
  • Tidak menggunakan banyak lahan sehingga menjawab masalah keterbatasan lahan.
  • Tidak menggunakan banyak energi dan tidak mengeluarkan emisi berbahaya ke lingkungan, tidak seperti kremasi yang menghasilkan 573 pon CO2 per jenazah dan 360 ribu metrik ton emisi CO2 per krematorium di AS per tahun
  • Pengomposan manusia menghemat sekitar 1 metrik ton CO2 dibandingkan dengan pemakaman dan kremasi tradisional.

Pengomposan Jasad Manusia Dinilai Tidak Bermartabat

Dilansir NPR, salah satu alasan pengajuan RUU pelegalan pengomposan manusia di California adalah emisi kremasi saat pandemi akibat banyak orang meninggal. Banyaknya emisi kremasi saat itu sampai melanggar aturan distrik soal udara setempat, kata anggota Majelis Negara Bagian Cristina Garcia yang berhaluan Demokrat.

Sementara itu, Konferensi Katolik California saat itu menyatakan kekhawatiran bahwa pengomposan manusia tidak aman dalam menangani elemen beracun di tubuh, mulai dari implan gigi hingga perawatan kemoterapi. Mereka menilai hasil studi tanpa tinjauan sejawat yang dijadikan landasan bagi pihak Recompose tidak cukup.

Para uskup juga menilai pengomposan manusia dan penebarannya adalah tindakan yang tidak memartabatkan almarhum.

"Hal itu berisiko menyebabkan orang menginjak jenazah manusia tanpa sepengetahuan mereka," tulis Konferensi Katolik tersebut.

"Sedangkan penebaran jenazah berulang kali di area yang sama, sama saja dengan kuburan massal," sambungnya.

Spade dari Recompose menyatakan, pihaknya pernah meminta pendeta untuk memberkati jenazah dan tanah hasil kompos. Ia menambahkan perusahaannya juga sudah membuat kompos bagi banyak umat Katolik.

Kompos Jasad Manusia Bisa Tularkan Penyakit

Sebelumnya pada November 2022, Profesor Kesehatan Lingkungan Universitas Airlangga, Prof Dr Ririh Yudhastuti drh M Sc menyoroti risiko penularan penyakit dari jasad ke tanah kompos. Opsi pengomposan manusia juga tidak lazim bagi umat Islam.

"Karena takutnya akan menyebarkan penyakit. Contohnya hewan yang kena penyakit antraks, rabies, atau penyakit ini (lain) itu menguburnya pun kalau orang dulu menggunakan gamping. Itu artinya apa? Kita mematikan mikroorganisme, parasit atau apa, baru kita kubur. Atau kalau bisa kita bakar atau kremasi. Itu fungsinya mematikan kuman-kuman yang nanti bisa tumbuh pada tanaman," katanya dalam laman resmi Unair, dikutip Senin (10/2/2025).

Contoh lainnya, Prof Ririh menjelaskan, penanganan jasad terinfeksi COVID-19 yang tingkat penularannya tinggi membutuhkan penguburan minimal sedalam 3 meter atau lebih dan tidak berada di sekitar sumber air.

"Itu baru satu penyakit. Penyakit lain banyak, seperti HIV/AIDS dan antraks. Itu bisa menularkan pada tanaman di atasnya. Terus beberapa ayam (burung unta) yang memakan di situ seperti biji-bijian itu ada antraksnya. Walaupun dia tidak terkena antraks, tapi DNA-nya ada (antraks)," ucap Ririh.

Ia memperkirakan negara bagian seperti Colorado punya budaya dan kondisi lingkungan yang mendukung legalisasi metode pengomposan manusia.

"Jadi, mungkin hal semacam itu (pengomposan manusia) biasa disana. Dan, di sana tanahnya kan kering, jadi tidak banyak ini (unsur hara)," terangnya.

Dalam Encyclopaedia Britannica, dijelaskan bahwa orang yang saat ini tidak bisa mengambil opsi pengomposan manusia adalah mereka yang memiliki penyakit prion.

Penyakit prion merupakan jenis penyakit yang timbul karena protein yang biasanya tidak berbahaya berbentuk abnormal dan ditemukan di otak. Prion memicu penyakit neurodegeneratif mematikan pada hewan dan manusia, seperti penyakit menular ensefalopati spongiform.




(twu/faz)

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads