ilmuwan di China telah memiliki metode baru untuk membiakkan bayi tikus dengan dua induk jantan. Rupanya bayi-bayi yang dihasilkan dapat bertahan hidup hingga dewasa.
Ini bukan pertama kalinya para ilmuwan mengembangbiakkan tikus dengan dua induk jantan. Sekelompok peneliti di Jepang telah melakukannya pada 2023, tetapi dengan menggunakan pendekatan yang berbeda.
Dalam studi yang diterbitkan Selasa (28/1/2025) di jurnal Cell Stem Cell lalu, para ilmuwan tidak hanya mengembangbiakkan tikus dengan dua jantan yang dapat hidup hingga dewasa, tetapi juga memberikan penjelasan baru tentang serangkaian gen kompleks yang aktivitasnya bervariasi tergantung dari orang tua mana yang diwarisi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penelitian itu berjudul "Adult bi-paternal offspring generated through direct modification of imprinted genes in mammals" dan ditulis oleh Zhi-kun Li dkk.
Masalah dengan gen-gen tersebut, yang dikenal sebagai "imprinting genes" atau "gen yang mencetak", dapat menyebabkan berbagai gangguan pada manusia, termasuk sindrom Angelman.
"Saya mengagumi pekerjaan ini - saya pikir ini adalah pendekatan yang penting," kata Keith Latham, seorang profesor ilmu hewan dan ilmu kebidanan, ginekologi, dan biologi reproduksi di Michigan State University, yang tidak terlibat dalam penelitian ini.
"Ini adalah langkah maju yang signifikan dalam memahami biologi pencetakan," katanya kepada Live Science.
Bagaimana Caranya?
Pada penelitian 2023 lalu, para ilmuwan di Jepang mengumpulkan sel kulit dari tikus jantan dewasa dan mengubah kulit tersebut menjadi sel punca yang dapat digunakan untuk menumbuhkan sel telur. Dengan menggunakan teknik yang cerdas, tim peneliti memastikan bahwa setiap sel telur ini membawa dua kromosom X, pasangan kromosom seks yang biasanya ditemukan pada perempuan.
Tim kemudian membuahi sel telur yang dihasilkan ini dengan sperma dari tikus jantan, yang pada akhirnya menghasilkan sejumlah kecil keturunan yang gennya hanya berasal dari tikus jantan.
Penelitian baru yang dilakukan di China, menggunakan pendekatan yang berbeda untuk mencapai hasil yang serupa.
Para peneliti memulai dengan mengambil DNA dari sel telur yang belum matang atau oosit, yang diambil dari seekor tikus betina. Mereka kemudian memasukkan sperma ke dalam sel telur untuk menumbuhkan sel punca unik yang hanya terlihat pada embrio.
Sel punca embrionik ini, bersama dengan sperma dari tikus jantan, kemudian disuntikkan ke dalam sel telur kedua. Hal ini akhirnya menghasilkan sel telur yang telah dibuahi yang dapat berkembang menjadi anak tikus dengan DNA dari dua jantan.
Sebagai langkah penting, para ilmuwan memperkenalkan 20 perubahan genetik ke dalam DNA sel punca. Perubahan ini mengubah aktivitas gen yang tercetak, yang unik karena keturunan mewarisi dua salinan, satu dari betina dan satu dari jantan, tetapi mereka hanya membutuhkan satu salinan untuk bekerja. Jadi, dalam setiap sel satu salinan dari setiap gen yang tercetak akan dimatikan sementara salinan kedua tetap berfungsi.
Proses ini dikenal sebagai "pencetakan genom". Ketika terjadi kesalahan, gangguan pencetakan muncul dan menyebabkan masalah dengan pertumbuhan dan perkembangan.
Ketika mencoba membuat embrio dengan DNA dari dua ayah, akan ada banyak masalah pencetakan ini karena terlalu banyak gen jantan yang tetap aktif dan tidak ada gen betina yang bisa mengimbanginya.
"Pendekatan kami secara langsung menargetkan gen yang tercetak, yang telah lama diduga memainkan peran sentral dalam hambatan reproduksi bi-paternal," kata salah satu penulis utama studi ini, Zhi-kun Li yang juga profesor di Akademi Ilmu Pengetahuan China di Beijing, kepada Live Science.
Dalam penelitian sebelumnya, Li dan rekan-rekannya mengubah hanya tujuh titik jejak, atau "lokus" dalam genom dan menghasilkan janin tikus yang berhasil melewati masa kehamilan, tetapi tikus-tikus itu mati setelah lahir. Tikus-tikus tersebut memiliki kelainan, seperti hernia pusar, lidah yang menonjol, dan organ dalam yang membesar.
Secara sistematis, para peneliti menentukan asal genetik dari masing-masing masalah ini dan memperkenalkan lebih banyak lagi perubahan genetik pada tikus. Dengan 18 modifikasi, tikus-tikus tersebut membutuhkan bantuan untuk menyusu pada masa bayi, tetapi dapat mencapai usia dewasa.
Dengan 19 modifikasi, mereka memiliki masalah dengan pertumbuhan plasenta dalam kehamilan tetapi bernasib lebih baik setelah lahir. Satu modifikasi tambahan, sehingga jadi 20 modifikasi secara keseluruhan, menyelesaikan masalah plasenta itu.
Kekurangan Tikus dengan Dua Jantan
Peneliti melihat pencetakan gen merupakan masalah yang lebih besar dengan keturunan bipaternal daripada keturunan bimaternal. Dalam penelitian mereka sebelumnya, mereka mampu mengembangbiakkan tikus dengan dua induk jantan yang bertahan hingga dewasa dengan perubahan genetik yang jauh lebih sedikit, seperti yang dilakukan oleh kelompok penelitian lainnya. Ditambah lagi, partenogenesis spontan, di mana sel telur dapat dibuahi tanpa sperma, terkadang terjadi pada hewan di luar laboratorium.
"Agak mengejutkan manipulasi terhadap hanya 20 gen pencetak memungkinkan perkembangan yang relatif normal dari embrio bi-paternal di mana terdapat ratusan lokus pencetak pada tikus," kata Dr Kotaro Sasaki, seorang profesor di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Pennsylvania dan Fakultas Kedokteran Perelman yang tidak terlibat dalam penelitian ini.
Namun menurut Sasaki, tikus-tikus itu masih memiliki kekurangan, termasuk umur yang lebih pendek dari tikus normal. Eksperimen menunjukkan bahwa tikus-tikus tersebut juga tidak subur. Sebaliknya, segelintir tikus yang dibiakkan di Jepang dan bertahan hingga dewasa ternyata subur.
"Langkah kami selanjutnya adalah menyempurnakan pendekatan penyuntingan gen untuk menghasilkan hewan-hewan bi-paternal yang lebih sehat," kata Li.
Kemungkinan gen-gen tambahan yang mencetak dapat diubah untuk membantu mengatasi masalah kesehatan yang tersisa, katanya. Tim ini juga ingin mencoba pendekatan mereka pada spesies hewan lain untuk melihat seberapa baik hasilnya.
Dalam jangka panjang, penelitian ini disebut dapat membantu para ilmuwan untuk lebih memahami gangguan imprinting, yang berpotensi membuka jalan pengobatan menggunakan pengeditan gen untuk memperbaikinya pada manusia, menurut Li.
Latham menambahkan bahwa dengan lebih memahami jalur genetik yang terlibat, para ilmuwan mungkin dapat mengidentifikasi cara-cara untuk mengatasi gangguan dengan obat-obatan daripada mengedit gen. Dia menambahkan mungkin juga ada aplikasi untuk penelitian ini di bidang pertanian, jika pada akhirnya dapat membantu para peternak untuk mengembangkan sifat-sifat yang diinginkan pada ternak, misalnya.
Terkait dengan manusia, Latham mengatakan ilmuwan harus lebih memahami risiko dan manfaat dari pendekatan ini sebelum mencoba menggunakannya pada manusia. Sasaki setuju, mencatat bahwa sejumlah rintangan teknologi dan dilema etis "semuanya menghalangi aplikasi klinis pada manusia dalam waktu dekat."
(nah/nwk)