Peneliti baru-baru ini menemukan penyebab mengapa macan tutul salju (Panthera uncia) dapat beradaptasi dengan baik untuk hidup di pegunungan selain di dataran tinggi dan kawasan bersalju. Temuan yang dipublikasi di jurnal Science Advances (2025) ini menjadi kabar baik atas statusnya yang rentan punah.
Daftar Merah IUCN menunjukkan status macan tutul salju adalah rentan punah, dengan jumlah sekitar 4.000 individu yang tersisa di dunia. Diperkirakan, pemanasan global akan mendorong pergerakan macan tutul salju ke kawasan utara atau ke ketinggian yang lebih tinggi.
"Macan tutul salju selalu beradaptasi untuk hidup di pegunungan, tetapi tidak harus di dataran tinggi dan bersalju," terang peneliti Qigao Jiangzuo dan rekan-rekan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dalam konteks perubahan iklim seperti saat ini, memberikan semangat untuk memastikan kelangsungan hidup mereka," imbuh peneliti.
Macan Tutul Salju
Macan tutul salju adalah kucing besar unik di Dataran Tinggi Qinghai-Tibet, wilayah pegunungan Asia Tengah, serta Dataran Tinggi Mongolia. Hewan langka ini memiliki bulu panjang dan lebat, ekor panjang, wajah pendek, dahi curam dan lebar, serta gigi pipi besar yang membedakannya dari anggota genus Panthera lain.
Macan tutul salju biasanya hidup di daerah pegunungan Alpen tinggi, di atas 3.000 m, atau di atas garis pepohonan. Di samping itu, macan ini juga bisa hidup di ketinggian yang jauh lebih rendah di bawah 1.000 m di beberapa wilayah Siberia.
Keluar dari Dataran Tinggi Tibet
Dalam penelitian baru, para ilmuwan memeriksa lima catatan di luar Tibet dari garis keturunan macan tutul salju. Peneliti mendapati, macan tutul salju menyebar keluar dari Dataran Tinggi Tibet beberapa kali selama periode Kuarter, 2.588 juta tahun yang lalu sampai sekarang.
Anatomi macan tutul salju modern menunjukkan hewan ini beradaptasi untuk menghadapi lereng curam, lingkungan dingin, dan dataran tinggi. Hasil penelitian mereka menunjukkan macan tutul salju mengalami penguatan bertahap dari adaptasi tersebut, terutama sejak Pleistosen Tengah, sekitar 0,8 juta tahun yang lalu.
Tim peneliti dalam studi ini menganalisis fosil macan tutul salju dari lima lokasi, yakni Longdan di Gansu, Cina; Arago di Prancis; lokasi Zhoukoudian 3 di Beijing, Cina; Manga Larga di Portugal; dan Gua Niuyan di Mentougou, Beijing, Cina.
Hanya fosil dari Gua Niuyan yang dapat diklasifikasikan sebagai macan tutul salju modern. Sedangkan fosil lainnya menunjukkan perbedaan yang signifikan dibandingkan dengan macan tutul salju yang ada saat ini.
Berdasarkan analisis mereka, peneliti menyimpulkan macan tutul salju yang ditemukan di luar Dataran Tinggi Qinghai-Tibet adalah cabang kecil garis keturunan macan tutul salju dari dari cabang utamanya. Merkea memperkirakan, cabang-cabang ini mewakili beberapa penyebaran macan tutul salju yang keluar dari Tibet pada waktu yang berbeda.
Adaptasi Macan Tutul Salju
Bantu Mencari Mangsa
Hasil analisis sistemik morfologi fungsional macan tutul salju modern menunjukkan hewan ini memiliki rongga mata besar dan penglihatan binokular yang sangat berkembang. Karakteristik ini menunjukkan mereka memiliki penglihatan stereoskopik tingkat lanjut, kondisi yang memungkinkan matanya cepat fokus pada mangsa di medan yang kompleks.
Adapun membran bulla timpani yang menonjol pada sistem pendengaran hewan ini meningkatkan kepekaan mereka terhadap gelombang infrasonik. Kelebihan ini memungkinkan mereka mendeteksi suara mangsa dari jarak yang lebih jauh di area terbuka.
Macan tutul salju juga punya tulang tungkai distal yang memanjang. Ini memungkinkan mereka lebih fleksibel berlari dan melompat di pegunungan meskipun tulang belikat dan panggulnya relatif kecil.
Sementara itu, macan tutul salju memiliki moncong pendek dan rahang bersudut tajam. Gigi taringnya memiliki penampang melintang hampir bulat.
"Struktur ini memungkinkan hewan ini mengerahkan kekuatan yang besar untuk menaklukkan mangsa yang kuat, meskipun di sisi lain membuatnya jadi tidak terlalu fleksibel," tulis peneliti.
Gigi pipi macan tutul salju, yang terdiri dari gigi geraham depan dan geraham belakang, juga besar. Kondisi ini memungkinkan mereka mengonsumsi sebagian besar daging mangsanya sebelum daging tersebut membeku di lingkungan yang dingin. Kondisi ini juga meningkatkan kemampuan macan tutul salju untuk mengunyah bangkai yang sudah beku.
Di samping itu, sistem sinus frontal macan tutul salju yang berkembang dengan baik bantu menghangatkan udara yang mereka hirup dan meningkatkan efisiensi pernapasan. Kelebihan ini membuat macan tutul salju beradaptasi dengan baik terhadap lingkungan yang dingin dan rendah oksigen.
Bukan soal Daerah Bersalju
Berdasarkan temuan di atas, peneliti menyimpulkan adaptasi morfologi macan tutul salju bukan untuk hidup di kawasan dataran tinggi rendah oksigen dan dataran bersalju. Sebagian besar ciri-ciri tersebut justru merupakan bentuk adaptasi untuk hidup di kawasan pegunungan dan memangsa Caprinae, keluarga domba dan spesies terkait.
"(Mangsanya) cenderung memiliki kecepatan lebih lambat tetapi memiliki anggota tubuh yang pendek dan kuat serta tanduk yang kuat untuk perlawanan," terang peneliti.
Peneliti menjelaskan, sejak Pleistosen Tengah, periode es lebih parah dan berkepanjangan. Akibatnya, macan tutul salju diperkirakan memperluas jangkauannya hingga ke luar Dataran Tinggi Qinghai-Tibet.
Pada masa yang sama, banyak anggota subfamili Caprinae juga mulai bermigrasi dari Dataran Tinggi Qinghai-Tibet ke Tiongkok Utara dan Eropa.
"Temuan kami mengungkap jalur evolusi macan tutul salju, yang menunjukkan bahwa medan pegunungan mungkin memainkan peran yang lebih penting dalam kelangsungan hidup mereka daripada faktor iklim saja," tutur peneliti.
Mereka berharap, wawasan ini dapat mendukung upaya konservasi macan tutul salju yang sedang berlangsung dan kemajuan paleontologi pelestarian.
(twu/nwy)