Konsep bagi hasil tradisional di Indonesia merujuk pada sistem pembagian keuntungan antara dua pihak atau lebih yang terlibat dalam suatu usaha, dengan prinsip saling menguntungkan tanpa mengharuskan adanya pinjaman dengan bunga. Konsep ini sering kali ditemukan dalam berbagai sektor ekonomi, seperti pertanian, perikanan, peternakan, perdagangan, dan perikanan, serta dalam kerjasama yang berbasis pada kemitraan.
Bagi hasil pada sektor pertanian, perikanan dan peternakan sering ditemukan sistem bagi hasil antara petani dan pemilik lahan atau investor atau pemilik ternak. Misalnya, seorang pemilik tanah (pemodal) menyewakan lahannya kepada petani dengan kesepakatan bagi hasil, di mana hasil panen akan dibagi sesuai persentase yang disepakati, seperti 50:50 atau 60:40. Sistem ini memungkinkan petani untuk mengelola lahan tanpa harus menyediakan modal besar. Tidak ada dominasi pemilik modal, adakalanya pemilik modal juga menjadi penggarap.
Selain itu, dalam perdagangan tradisional, pedagang sering kali bekerja sama dengan pemasok barang dengan sistem bagi hasil. Misalnya, dalam penjualan hasil pertanian atau produk kerajinan, pedagang dan produsen sepakat untuk membagi keuntungan berdasarkan persentase yang disetujui bersama.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bahkan beberapa daerah di Indonesia, terdapat sistem gotong royong atau kerja sama kolektif di mana hasil kerja atau keuntungan dari suatu usaha dibagi rata di antara anggota kelompok. Ini dapat diterapkan dalam kegiatan pertanian, konstruksi, atau usaha kecil lainnya.
Jika dalam Islam, bagi hasil dikenal sebagai musyarakah. Konsep ini berasal dari sistem syariah yang melibatkan dua pihak atau lebih yang berinvestasi dalam suatu usaha dengan kesepakatan untuk berbagi keuntungan sesuai dengan proporsi modal yang diberikan. Pihak yang terlibat berbagi risiko dan hasil usaha bersama-sama. Dalam praktiknya, ini sering diterapkan dalam perdagangan, perkebunan, dan sektor lainnya.
Sistem ekonomi bagi hasil tradisional di Indonesia merupakan praktik yang telah berlangsung lama, terutama dalam konteks pertanian dan pemeliharaan ternak. Sistem ini berfungsi sebagai bentuk kerjasama antara pemilik lahan atau modal dengan petani atau penggarap yang tidak memiliki lahan. Berikut adalah beberapa aspek penting dari sistem bagi hasil ini.
Karakteristik umum bagi hasil tradisional di Indonesia yaitu dasar perjanjian dan variasi Etnis. Perjanjian bagi hasil umumnya dilakukan secara lisan, berdasarkan kepercayaan antara kedua pihak yang didasarkan pada adat-istiadat di daerah masing-masing. Hal ini menciptakan hubungan yang bersifat kekeluargaan dan saling menguntungkan. Meskipun tidak ada dokumen tertulis, sistem ini masih berjalan efektif di banyak komunitas sampai saat ini dengan berlandaskan pada nilai-nilai sosial dan kearifan lokal. Setiap kelompok etnis di Indonesia memiliki istilah dan praktik yang berbeda untuk sistem bagi hasil. Misalnya Jawa: maro; Periangan: nengah; Sumatera: pardua; Sulawesi Selatan: tesang; Minahasa: toyo; Bali: plais (Dhani, 2018),
Aceh: mawaih; Bugis: tiseng; Jawa: maro/marao; Sukabumi: ceblok; Minangkabau: memperduai; Priangan: jujuron; Minahasa: tojo; Bali: mandi (Sila, 2022), maro di Jawa Tengah, mertelu di Jawa Timur, nengah atau jejuron di Jawa Barat, memperduai di Sumatera Barat, toyo di Minahasa dan teseng di Sulawesi Selatan (Ali, 1996), Banten: peparon atau gegaden (Rusmiati, 2021).
Menurut (Sudiyat, 1981) istilah lain sistem bagi hasil dibeberapa daerah dan suku yaitu: Sumatera: Aceh memakai istilah "mawaih" atau "Madua laba"(1:1)"bagi peuet" atau "muwne peuet", "bagi thee", bagi limong "dimana berturut-turut pemilik memperoleh bagian 1/4,2/3,1/5; Tanah gayo memakai istilah "mawah"(1:1), tanah alas memiliki istilah "blah duo" atau "Bulung Duo"(1:1); Tapanuli Selatan memakai istilah "marbolam", "mayaduai"; Sumatera Selatan untuk Jambi memakai istilah "bagi dua", "bagi tiga", Palembang memakai istilah " separoan".
Kalimantan: Banjar memakai istilah "bahakarun"; Lawang memakai istilah " sabahandi"; Nganjuk memakai istilah "bahandi". Bali: istilah umum yang dipakai adalah "nyakap", tetapi variasi lain dengan menggunakan sebutan "nondo" atau "nanding "yang berarti "maro", "nilon. Jawa: memakai istilah "nengah" untuk "maro","mertelu" dan Mandura: memakai istilah "paron" atau "paroa" untuk separo dari produksi sebidang tanah sawah sebagai upah untuk penggarap.
Menurut (Dhani, 2018) maro atau marao merupakan sistem bagi hasil yang dikembangkan dalam perjanjian bagi hasil adalah sistem bagi tiga (mertelu) dengan pembagian 1/3 pemilik penggarap 2/3 jika modal ditanggung oleh penggarap dan 2/3 dari pemilik 1/3 dari pemohon jika modal ditanggung pemilik, maro), sistem sepuluh persen (10%). Sistem bagi hasil maro/marao memiliki kesesuaian dengan mukhabarah (Wahyuningrum & Darwanto, 2020; Wahyuningsih, 2011). Sistem bagi hasil ini dilakukan menurut hukum adat dan kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat setempat secara lisan (Priyadi & Shidiqie, 2015; Wahyuningrum & Darwanto, 2020; Wulansari et al., 2017), bentuk kerjasama yang dilakukan oleh masyarakat desa sejak dahulu (Priyadi & Shidiqie, 2015; Wahyuningsih, 2011), tidak mau menggunakan birokrasi dan prosedur yang berbelit-belit (Priyadi & Shidiqie, 2015).
Konsep ekonomi bagi hasil tradisional di Indonesia telah menjadi bagian penting dari sistem ekonomi lokal, khususnya di sektor pertanian, perikanan, peternakan dan perdagangan kecil. Sistem ini biasanya melibatkan pembagian hasil kerja atau keuntungan antara pemilik modal (tanah, alat, atau dana) dan tenaga kerja.
Sistem bagi hasil cenderung lebih adil karena pembagian keuntungan didasarkan pada kontribusi masing-masing pihak, baik dari sisi tenaga maupun modal. Sistem ini mendorong kerjasama antara pihak-pihak yang terlibat, seperti petani dan pemilik tanah, atau nelayan dan pemilik kapal. Kolaborasi ini bisa meningkatkan produktivitas dan efisiensi. Bagi hasil sering menjadi pilihan di daerah pedesaan yang kurang terakses oleh lembaga keuangan formal. Sistem ini dapat memberdayakan masyarakat lokal tanpa ketergantungan pada kredit berbunga tinggi. Konsep bagi hasil tradisional adalah wujud implementasi budaya yang kaya dengan nilai-nilai etika, khusus dalam bisnis.
Dalam kondisi kerugian atau gagal panen, pemodal tidak harus menanggung kerugian penuh, karena hasil dibagi berdasarkan proporsi yang telah disepakati. Konsep bagi hasil sesuai dengan prinsip syariah Islam yang melarang riba (bunga). Hal ini menjadikan sistem ini relevan di masyarakat mayoritas Muslim seperti Indonesia.
Tantangan bagi hasil tradisional di Indonesia yaitu: Sistem ini sangat bergantung pada kepercayaan antar pihak yang ditopang oleh nilai-nilai budaya. Jika salah satu pihak tidak jujur, sistem dapat runtuh. Bagi pihak tenaga kerja, pendapatan bisa tidak menentu karena hasil sangat bergantung pada faktor eksternal, seperti cuaca atau harga pasar.
Di daerah pedesaan, keterbatasan teknologi dan akses informasi seringkali membuat sistem ini kurang produktif dibandingkan dengan sistem berbasis teknologi modern. Sistem bagi hasil tradisional menghadapi persaingan dari model ekonomi modern yang lebih terstruktur, seperti kontrak kerja atau skema investasi berbasis teknologi.
Optimalisasi bagi hasil tradisional di Indonesia dalam mencegah konflik, perlu penguatan nilai-nilai budaya untuk membangun kejujuran dan integritas para pelaku. Pihak-pihak yang terlibat perlu diberikan pelatihan tentang manajemen usaha, teknologi pertanian, dan pemahaman adat-istiadat. Pemerintah bisa memberikan subsidi, pelatihan, atau akses ke teknologi untuk meningkatkan efisiensi dan keberlanjutan sistem ini. Pihak-pihak yang terlibat bisa memanfaatkan hasil usaha untuk mengembangkan diversifikasi, sehingga pendapatan tidak bergantung pada satu sumber. Penerapan teknologi digital, seperti aplikasi pencatatan hasil usaha atau platform keuangan digital, dapat membantu transparansi dan efisiensi dalam sistem bagi hasil.
Muhammad Aras Prabowo
Ketua Program Studi Akuntansi UNUSIA
Pengurus Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor
Artikel ini merupakan kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggung jawab penulis. (Terima kasih - Redaksi)
(erd/erd)