Cerita pendek atau cerpen merupakan karya sastra fiktif yang memuat jalan cerita tentang suatu kejadian atau konflik. Narasinya singkat, memiliki tokoh utama, dan mengandung kesan tunggal yang ingin disampaikan kepada pembaca.
Karya sastra ini umumnya ditulis berdasarkan imajinasi penulisnya. Saat hendak membuat cerpen, terkadang seseorang memerlukan inspirasi untuk mulai menulisnya. Temukan sederet contoh cerita pendek singkat di bawah ini.
Kumpulan Cerita Pendek Singkat
Dikutip dari buku Kumpulan Cerpen: Cerita Anak, Cerita Istimewa, Tentang Ibu, dan Cerita Fabel oleh Zahrotul Mutoharoh, berikut beberapa contoh cerpen singkat yang dapat dijadikan inspirasi:
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
1. Melihat Berita
Faiza sedang asyik menonton televisi. Seperti biasanya, menonton acara kartun. Keluarga Pak Somat. Kadang dia tertawa sendiri melihatnya.
Di saat iklan, Faiza mengganti channel televisi. Ibunya memperhatikan itu. Faiza sekilas menonton berita.
"Korupsi? Apa itu?", celoteh Faiza sendirian. O iya, Faiza kelas enam.
"Apa, Za?", sahut ibunya.
"Itu bu.. Ada yang memakai baju warna orange.. Korupsi..", kata Faiza.
"Memangnya korupsi itu apa, bu?", tanya Faiza.
Ibunya memutar otak untuk menjelaskan arti korupsi untuk anak seusianya.
***
"Oh, jadi korupsi itu seperti mencuri ya, bu?", tanya Faiza.
"Ya semacam itu, Za. Tapi uangnya banyak sekali itu.. Uang itu milik negara..", ujar ibu.
"Seharusnya uang itu kan untuk pembangunan atau untuk membantu orang miskin tetapi dikurangi oleh orang yang korupsi.. ", lanjut ibu.
"Misalkan, seharusnya uang untuk diberikan kepada orang miskin itu seratus ribu.. Tetapi yang diberikan ternyata hanya delapan puluh ribu.. Yang dua puluh ribu untuk dirinya sendiri.. Itu contoh kecil korupsi, Za..", kata ibu.
"Misalkan juga untuk membeli semen, seharusnya harga hanya tujuh puluh ribu rupiah. Tetapi dilaporkan berharga seratus ribu rupiah. Uang yang tiga puluh ribu untuk dirinya sendiri, itu juga korupsi Za..", kata ibu lagi.
Faiza menyimak yang dikatakan ibu. "Berarti kalau yang ditangkap itu pasti uangnya banyak ya, bu? Yang memakai baju orange itu...", tanya Faiza.
"Iya, tentu Za..", jawab ibu.
"Uang negara itu dipakai untuk membuat kaya dirinya sendiri. Bisa membeli mobil, membuat rumah yang bagus.. Nah itu sangat merugikan negara..", lanjut ibu.
***
"Nah, inti dari korupsi itu adalah tidak bersikap jujur Za.. Jika jujur maka orang akan berhati-hati dalam bicara, bersikap dan lainnya..", kata ibu.
"Kamu bisa melatih kejujuran pada diri sendiri sejak kecil. Contohnya, disuruh membelikan minyak goreng. Kalau ada sisanya ya dikembalikan kepada ibu..", kata ibu memberikan contoh.
"Contoh lagi, misal ada iuran dari sekolah senilai dua puluh ribu. Maka kamu bilang ibu dan bapak ya dua puluh ribu. Tidak ngomong dua puluh lima ribu, terus yang lima ribu untuk kamu sendiri. Tidak boleh seperti itu, Za..", kata ibu lagi.
"Kalau dalam hal belajar, kamu harus berusaha datang tepat waktu di sekolah, tidak menyontek saat ulangan, tidak mencuri uang punya teman dan lainnya..", kata bapak menyambung perkataan ibu.
"Nah, kalau kamu sejak kecil selalu jujur, maka kalau kamu besar nanti juga akan berusaha berbuat jujur, Za. Jadi apapun nanti, kamu akan terbiasa jujur.. tidak mengambil yang bukan milikmu..", lanjut bapak.
Faiza mengerti apa yang dikatakan ibu dan bapak. Ternyata setiap orang harus bersikap jujur agar tidak korupsi. Kalau tidak jujur bisa ditangkap seperti orang-orang yang memakai baju orange. Faiza tidak mau menjadi seperti itu.
2. Sepatu Monita
Monita bersungut-sungut.
"Kamu itu kenapa, Mon?", tanya ibu yang baru selesai memasak di dapur.
"Ini, bu..", kata Monita sambil menunjukkan sepatu baru.
"Wahhh.. Alhamdulillah dong, Mon.. Kamu sudah dibelikan sepatu baru sama bapak..", kata ibu.
"Tapi jelek, bu.. Aku tidak suka..", kata Monita.
Monita memang menginginkan sepasang sepatu baru. Sepatu lamanya sudah pudar warnanya. Makanya tadi bapak mengajak Monita ke toko sepatu di kota.
"Tidak boleh begitu, Mon.. Kamu harus bersyukur lho..", kata ibu menasehati Monita.
***
Marni melihat sepatu di samping lemari di kamarnya. Sepatu yang sudah sangat usang. Sudah bolong bagian depan. Apalagi warnanya. Sudah sangat memudar.
"Tabunganku belum cukup untuk membeli sepatu baru..", batin Marni.
Marni kemudian memakai sepatu itu. Lalu mengambil tasnya.
Marni memang membantu simboknya berjualan pisang goreng setiap harinya. Bahkan dijual di sekolah. Nah, dari jualan itu, Marni diberi upah sama simboknya.
Marni kemudian mengambil sepatu bolong miliknya itu. Lalu memakainya. Marni langsung mengambil tasnya.
"Mbok, Marni berangkat dulu ya..", pamit Marni kepada simbok yang sedang menyiapkan dagangannya.
Simbok menoleh. "Ya, nduk. Hati-hati..", kata simbok sambil menyerahkan pisang goreng yang akan dijual Marni di sekolah. Marni menerima sekotak pisang goreng dari simbok. Lumayan besar kotaknya.
"Assalamu'alaikum, mbok..", ucap Marni.
"Wa'alaikumsalam...", jawab simbok.
***
Di sekolah. "Wah, sepatunya baru niyeee..", ucap Mida sumringah melihat Monita memakai sepatu baru.
"Apaan sih, Da.. Jelek gini kok..", kata Monita manyun.
"Lhohhh.. Kan bagus banget ini, Ta...", kata Eka menyahut.
"Bagus apaan.. Murahan kok, aku tidak suka..", kata Monita lagi.
Eka dan Mida saling berpandangan. Tidak mengerti kenapa Monita berkata seperti itu.
***
Jam istirahat. "Pisang gorengnya, Ka, Da, Mon..", Marni menjajakan pisang gorengnya kepada Eka, Mida dan Monita yang sedang duduk di bawah pohon mangga depan sekolah.
"Berapaan, Mar?", tanya Eka.
"Lima ratusan, Ka.. Mau beli berapa?", sahut Marni.
"Emmm.. Beli enam saja, Mar..", kata Eka sambil menyerahkan uang tiga ribu rupiah kepada Marni.
Marni mengambilkan pisang goreng di dalam plastik bening. Kemudian menyerahkan kepada Eka. "Terimakasih ya, Ka..", kata Marni.
Diam-diam Monita memperhatikan Marni. Dia melihat sepatu Marni sobek bagian depan.
"Eh, kamu kenapa Mon?", tanya Mida sambil menyenggol Monita.
"Iya, ngalamun saja kamu ini.. Nih, pisang gorengnya.. Ambil dua buat kamu.. Mida juga dapet dua..", kata Eka sambil menyodorkan pisang goreng dalam plastik kepada Mida dan Monita.
Mereka menikmati pisang goreng itu dengan nikmatnya.
***
"Bu, Pak.. Makasih ya Monita sudah dibeliin sepatu baru..", kata Monita setiba di rumah dan bertemu bapak dan ibu.
Ibu dan bapaknya mengernyitkan dahi.
"Iya, Mon.. Sama-sama..", kata bapak.
"Tadi Monita melihat Marni, teman di sekolah hanya memakai sepatu yang sudah robek bu, pak..", cerita Monita seakan tahu keheranan bapak dan ibunya.
"Kasihan bu, pak.. Dia berjualan pisang goreng setiap hari di sekolah..", lanjut Monita.
"Terus kamu beli tidak?", tanya ibu.
"Kalau tadi yang beli Eka, bu. Biasanya gantian..", jawab Monita.
Bapak dan ibu tersenyum mendengarnya.
"Pak, bu.. Bagaimana kalau sepatu lamaku dikasih ke Marni. Boleh tidak?", tanya Monita tiba-tiba.
"Ya boleh, Mon.. Asal kamu ikhlas ketika memberikan..", jawab ibu.
"Iya, bu.. Monita ikhlas kok.. Toh sepatu lamaku masih layak dipakai.. Marni pasti senang, bu, pak..", kata Monita lagi.
"Ya, besok kamu bawa ke sekolah ya.. Lalu berikan sepatumu untuk Marni..", kata ibu lagi.
Monita mengangguk. Dia tersenyum. Sepatu lamanya akan bermanfaat untuk temannya. Dan dia tetap memakai sepatu baru yang telah dibelikan bapak untuknya.
"Jangan lupa, besok dibeli pisang gorengnya Marni juga Mon..", kata bapak.
"Sekalian membantu dia..", lanjut bapak.
"Iya, pak..", sahut Monita senang.
Besok sepatu lamanya itu akan diberikan kepada Marni. Biar Marni memakai sepatu yang tidak robek lagi.
3. Amplop
Nisa memandang amplop-amplop yang dia pegang. Amplop ukuran terkecil berwarna putih bersih. Ada sekitar 20 lembar.
Di atas meja ada uang sepuluh ribuan, dua puluh ribuan dan lima puluh ribuan. Di atas meja itu juga tergeletak buku kecil yang terbuka dan sebuah bolpoin.
***
"Sa, ini tolong dimasukkan ke dalam amplop-amplop ini..", pinta ibu.
"Dan ini ada buku catatan. Ini uangnya..", lanjut ibu lagi.
Sejurus kemudian Nisa menerima amplop, buku catatan dan sejumlah uang dari tangan ibu. Nisa waktu itu masih sekolah jenjang SD kelas lima.
Nisa membaca catatan di buku ibu. Kemudian dia mendapati tulisan nama-nama yang tak asing. Dan sekaligus ada catatan nominal uang.
"Mengko nek wis diamplopi, tolong dikasihkan ke nama-nama itu ya..", pinta ibu.
"Nggih, bu..", jawab Nisa.
"Kita harus berbagi, Sa. Sedikit atau banyak rezeki yang kita miliki itu ada hak orang lain..", kata ibu.
"Dengan begitu harta yang kita miliki akan bersih, Sa. Percayalah, dengan memberi kamu tidak akan menjadi miskin.. Justru kamu akan menjadi kaya.. Kaya hati, Sa", lanjut ibu.
Nisa mendengarkan perkataan ibu sambil memasukkan uang- uang itu ke dalam amplop.
***
Nisa masih memegang amplop-amplop putih baru ukuran kecil itu. Masih teringat jelas nasehat dengan pemberian contoh langsung dari almarhumah ibunya.
"Alhamdulillah, ini tahun pertamaku mendapatkan gaji dari kerjaku. Dan pertama kali membagi ini untuk tetangga-tetanggaku yang kekurangan..", batin Nisa.
Nisa mulai memasukkan uang-uang miliknya ke dalam amplop. Sesuai dengan catatan, amplop A berisi berapa, amplop B berisi berapa, dan seterusnya. Mungkin tak seberapa, tapi akan memberi manfaat bagi yang benar-benar membutuhkan.
Jika dulu Nisa membantu ibunya, sekarang Nisa mengeluarkan sedekah ini hasil jerih payahnya sendiri.
4. Tentang Pilihan Ku
Karya: Anggita D.P.
Pagi lagi, dan kembali ke rutinitas kerja lagi. "Harus ya gw ada di sini?" Jujur, kadang ungkapan seperti itu terbesit di dalam pikiranku. Ketika aku mulai sadar, detik ini aku sudah menjalani apa yang disebut dengan pilihan. Iya, pilihan hidup. Hidup itu tidak memaksa kok, kita hanya perlu memilih. Artinya, kalau mau menjalani ya silakan, nggak juga gapapa. Sesimpel itukah hidup? Jawabannya, Iya. Hanya saja pada setiap pilihan pasti ada sebuah konsekuensi yang didapat nantinya.
Pagi ini, aku flashback pada beberapa waktu lalu. Saat itu aku memasuki tahun pertama kuliah. Hari-hari ku seru, jari-jari tanganku lincah menekan tombol keyboard di laptop, merangkai kata-kata. Pengetahuanku, teknik menulis ku pada saat itu sama sekali masih NOL besar. Tapi dorongan hati terus memberi semangat untuk terus berusaha, belajar dan mau menekuni apa yang disebut dengan dunia menulis. Ya, karena aku memilih untuk mengambil jurusan sastra di kampusku.
Orang-orang terdekat juga terus memotivasiku untuk selalu mau belajar, dari iseng-iseng bikin cerita "semau-ku" Tapi pada akhirnya ya aku mulai disibukkan dengan rutinitas lainnya. Huft..
Dan jika ada yang bertanya "Besok lulus mau kerja di mana?" Dengan mantap aku menjawab, "Di media, atau paling tidak bisa jadi penulis yang asik." Dan mereka yang bertanya selalu menjawabnya dengan kata, "Amiiin...".
Pagi ini, tepat pukul 06.00, badan mungilku bersemangat untuk menyusuri padatnya jalanan ibu kota bersama kendaraan roda dua kesayanganku. Perjalanan yang lumayan mengesankan, dibantu earphone kepunyaanku yang selalu menemani perjalananku dari selatan Jakarta menuju timurnya Jakarta.
Iya, setiap pagi pada hari-hari kerja inilah rutinitas ku. Memakai rok mini sebatas lutut, flat shoes, dan tas yang bukan tas "gemblok" adalah perjuangan tersendiri ketika harus mengendarai kendaraan bermotor dan berhadapan dengan kemacetan, pengendara lain. Bahkan asap hitam tebal yang keluar dari corong knalpot minibus.
Haaahaha, kadang nyiksa cyinnn....
Cukup tenang dengan secangkir ice coffee yang selalu menemani malam hariku, setelah seharian dibuat "stres" dengan kemacetan ibu kota dan bahkan pekerjaan di kantor.
Ditambah angin yang sering masuk ke tubuh kecilku ini. Hahaha itulah sebabnya aku sangat mudah sekali masuk angin ataupun terserang penyakit.
Setiap pagi, aku berfantasi berangkat kerja dengan menggunakan celana jeans sobek di bagian lutut, sepatu kets bertali, rambut dikuncir kuda, dan menenteng sebuah kamera. Aaaaah.... Aku hanya sedang berandai. Mengamati setiap tingkah laku unik orang-orang di jalanan, mencari fokus yang bisa terus dikembangkan menjadi sebuah cerita, dengan dokumentasi gambar-gambar yang terbidik kamera, dan tentunya dengan jam kerja yang bisa dikatakan "bebas". Hahahaha pengandaian ku pagi ini cukup membuatku menelan ludah karena kenyataan yang harus aku jalani sudah ada di depan mata.
Hari ini, aku tetap pada pilihanku. Belajar terlepas dari apa yang aku impikan, pilihanku memang bukan impianku, tapi dari situlah aku harus belajar lebih dalam lagi untuk menaklukkan apa yang sudah menjadi pilihanku. Jangan pernah takut keluar dari dirimu, dari mimpi-mimpimu. Karena itu akan membuat kau menemukan lebih banyak arti hidup lagi :)
(Dikutip dari buku Kumpulan Cerpen Kita oleh Rerin Maulinda.)
5. Elsa
Karya: Elina Nisabela
Namaku Elsa. Aku sekarang baru kelas X SMA. Hidupku menyebalkan dan membosankan semua hal yang hadir sekarang dengan ajaibnya bisa hilang ditelan waktu.
Begitu juga dengan seseorang yang datang membawa sepucuk harapan lalu pergi menanam benih kesakitan. Aku tak suka mengistimewakan seseorang karena fisik.
Fisik bisa hilang pada waktunya. Sedangkan hati akan tetap ada meski warna rambut mulai memudar. Bahkan hari-hariku hanya biasa kuhabiskan dengan pena dan kertas.
Menulis bait-bait puisi adalah hal yang biasa aku lakukan. Dengan mencurahkan semua isi hati pada kertas yang tak akan pernah membukakan rahasiaku.
Namun semua berubah. Saat aku mulai mengenal seseorang. Sebut saja dia Kak Galih, kakak kelasku yang tak sengaja kulihat saat dia sedang berolahraga di depan kelasku. Aku memang biasa melihatnya. Namun entah kenapa saat itu dia tampak berbeda. Laun hari aku mulai mencari tahu tentang Kak Galih.
Perlahan lahan cerita temanku mengenai Kak Galih mulai aku sukai, tentang kak Galih baik mahir olahraga, dan aku dengar dia belum pernah punya pacar. Aku terus menerus mencari tahu, hingga aku mulai menyukai Kak Galih. Setiap pagi dan pulang sekolah aku selalu duduk di teras kelas hanya untuk melihat Kak Galih lewat.
Aku hanya bisa melihat Kak Galih dari jauh. Aku tak akan pernah bisa menyentuh Kak Galih. Dia terlalu sempurna untuk aku yang hanya biasa. Semua hal itu membuat aku tertekan. Aku mulai sering mengeluh dan melamun. Teman-temanku terus menguatkan aku dan mengatakan Kak Galih pasti akan sadar akan keberadaanku.
Suatu hari temanku mengatakan bahwa Kak Galih akan mewakili sekolah untuk mengikuti turnamen sepak bola, tentu saja itu adalah salah satu waktu yang bisa aku gunakan untuk melihat Kak Galih dari jauh. Namun semua membuat aku sedikit tersadar bahwa Kak Galih terlalu sibuk dengan dunianya. la bahkan tak pernah mengirim pesan ataupun menyapaku, aku merasa seperti seseorang yang bodoh.
Saat aku benar benar-terpuruk seseorang kembali hadir, panggil saja dia Leo. Leo baik dia selalu menghiburku dan selalu ada bahkan untuk sebuah perhatian yang kecil. Aku hanya merespon seadanya dengan hati masih berharap pada Kak Galih yang bahkan tak mengenalku.
Semua waktu aku habiskan dengan hancur, lalu Leo tiba tiba mengungkapkan perasaannya. Membuat aku kaget dan tak tahu bila Leo menyukaiku. Teman-temanku menyarankan agar aku menerima Leo yang sudah pasti dari pada Kak Galih.
Namun aku memikirkan matang-matang. Aku telah memilih Kak Galih dari awal lalu Leo datang dan menarik perhatianku. Namun hatiku masih sama, aku masih berharap pada Kak Galih. Dengan penuh pertimbangan aku menolak Leo, dia tampak sedih dan tak percaya. Namun aku mengatakan aku masih menyukai Kak Galih walau tak pernah dilihat.
Leo pergi dari hidupku dengan kekecewaan yang aku berikan padanya dan sebagai timbal baliknya aku pun sama menerima kekecewaan dari sikap Kak Galih yang dingin dan tak pernah menganggap aku di depannya. Aku merasa aku bodoh karena tetap menunggu seseorang yang belum pasti, tapi tak apa yang pasti aku masih tetap berharap pada satu orang, tanda dan bukti bahwa aku tak main-main. Aku harap Kak Galih segera tahu.
(Dikutip dari buku Menulis Teks Cerpen: Mengoptimalkan Penggunaan Gawai Sebagai Media Pembelajaran oleh Rena Murdianti, Gallant Karunia Assidik.)
Kumpulan Cerita Pendek Singkat untuk Anak
Mengutip buku Kumpulan Cerpen Anak oleh Rini Cintya Demi, Ayu Eka, dan Cantika, berikut sejumlah cerita pendek singkat untuk anak yang dapat dijadikan referensi:
1. Si Anak Manja dan Sombong
Di sebuah desa kecil, hiduplah seorang anak bernama Rani. Rani adalah seorang anak yang manja dan sombong. la selalu ingin mendapatkan perhatian dan dianggap istimewa oleh orang lain.
Suatu hari, Rani bertemu dengan seorang nenek tua yang bijaksana di taman desa.
Nenek: "Halo, Rani! Apa kabar hari ini?"
Rani: "Halo, Nenek! Aku baik-baik saja. Apa yang membuatmu datang ke taman ini?"
Nenek: "Aku datang ke sini untuk berbicara dengan anak-anak dan berbagi pelajaran berharga."
Rani: "Aku tidak butuh pelajaran, Nenek. Aku sudah istimewa dan tidak ada yang bisa mengajari aku."
Nenek tersenyum lembut dan duduk di samping Rani.
Nenek: "Rani, keistimewaan bukan hanya tentang apa yang kamu miliki, tetapi juga tentang bagaimana kamu bersikap terhadap orang lain."
Rani: "Apa yang kamu maksud, Nenek?"
Nenek: "Bersikap rendah hati dan menghargai orang lain adalah tanda keistimewaan yang sejati. Kamu bisa belajar banyak dari orang-orang di sekitarmu."
Rani merenung sejenak. la menyadari bahwa sikap sombongnya membuatnya kehilangan kesempatan untuk belajar dan tumbuh.
Rani: "Apakah kamu bisa mengajari aku tentang bersikap rendah hati, Nenek?"
Nenek: "Tentu, Rani! Kita bisa belajar bersama. Pertama, cobalah untuk mendengarkan dan menghargai pendapat orang lain. Setiap orang memiliki pengalaman dan pengetahuan yang berbeda."
Rani: "Baik, Nenek. Aku akan mencoba."
Selama beberapa minggu, Rani belajar untuk mendengarkan dan menghargai pendapat orang lain. la belajar bahwa setiap orang memiliki kelebihan dan keistimewaan masing-masing.
Suatu hari, Rani bertemu dengan teman sekelas- nya, Maya, yang sangat pandai dalam seni.
Rani: "Hai, Maya! Aku mendengar kamu sangat pandai menggambar."
Maya: "Halo, Rani! lya, aku suka menggambar. Kamu mau melihat karyaku?"
Rani: "Tentu! Aku ingin melihat."
Maya menunjukkan gambar-gambar indah yang telah ia buat. Rani terkesima dengan keindahan dan keahlian Maya.
Rani: "Maya, kamu sungguh luar biasa! Aku terinspirasi oleh bakatmu."
Maya tersenyum dan merasa senang dengan pujian Rani. Mereka berdua pun menjadi teman baik dan saling mendukung dalam kegiatan seni.
Rani belajar bahwa dengan bersikap rendah hati, ia bisa belajar dari orang lain dan tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik.
Akhir cerita ini mengajarkan kepada anak-anak tentang pentingnya bersikap rendah hati dan menghargai orang lain. Rani belajar bahwa keistimewaan sejati tidak hanya tentang apa yang dimiliki, tetapi juga tentang bagaimana bersikap terhadap orang lain.
2. Gadis yang Baik
Di sebuah desa yang damai, hiduplah seorang gadis muda bernama Maya. Maya adalah seorang gadis yang baik hati dan penuh perhatian terhadap orang lain. la selalu siap membantu dan memberikan bantuan kepada siapa pun yang membutuhkannya.
Suatu hari, Maya bertemu dengan seorang nenek tua yang kesulitan membawa barang belanjaannya.
Maya: "Halo, Nenek! Apa yang bisa saya bantu?"
Nenek: "Halo, Maya! Aku sedang kesulitan membawa barang belanjaanku pulang. Bisakah kamu memberikan bantuan?"
Maya: "Tentu, Nenek! Saya akan membantu Anda membawa barang belanjaan ke rumah."
Maya dengan sabar membantu nenek itu membawa barang belanjaannya pulang. Mereka berjalan bersama sambil berbincang-bincang.
Maya: "Nenek, apa kabar hari ini?"
Nenek: "Aku baik-baik saja, Maya. Terima kasih atas bantuanmu. Kamu adalah gadis yang sangat baik."
Maya: "Sama-sama, Nenek! Saya senang bisa membantu. Saya percaya bahwa kebaikan harus saling ditularkan."
Nenek: "Kamu adalah contoh yang baik bagi orang lain, Maya. Semoga banyak orang yang terinspirasi oleh sikapmu."
Maya tersenyum dan merasa bahagia bisa membuat orang lain merasa lebih baik. la yakin bahwa kebaikan bisa membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik.
Beberapa minggu kemudian, Maya bertemu dengan teman sekelasnya, Rani, yang sedang kesulitan memahami pelajaran matematika.
Rani: "Hai, Maya! Aku sedang kesulitan memahami pelajaran matematika. Bisakah kamu membantuku?"
Maya: "Tentu, Rani! Aku akan dengan senang hati membantumu. Mari kita duduk bersama dan mempelajarinya bersama-sama."
Maya dengan sabar menjelaskan konsep-konsep matematika kepada Rani. Ia memberikan contoh- contoh yang mudah dipahami dan membantu Rani memecahkan soal-soal yang sulit.
Rani: "Terima kasih, Maya! Aku merasa lebih percaya diri sekarang. Kamu benar-benar gadis yang baik."
Maya: "Sama-sama, Rani! Aku senang bisa membantu. Kita saling mendukung dan tumbuh bersama."
Maya dan Rani pun menjadi teman yang lebih dekat dan saling mendukung dalam belajar. Maya belajar bahwa dengan kebaikan dan ketulusan hati, ia bisa membuat perbedaan dalam kehidupan orang lain.
Akhir cerita ini mengajarkan kepada anak-anak tentang pentingnya kebaikan, empati, dan saling membantu. Maya adalah contoh yang baik tentang bagaimana kebaikan bisa merubah hidup orang lain. Ia belajar bahwa dengan sikap yang baik, kita bisa membuat perbedaan dan menciptakan lingkungan yang lebih baik.
3. Si Kucing Penjaga Rumah
Pada suatu hari di sebuah desa kecil, hiduplah seekor kucing yang bernama Tom. Tom adalah kucing yang sangat setia dan cerdas. la tinggal di sebuah rumah tua yang dikelilingi oleh pepohonan yang rindang.
Setiap hari, Tom menjalankan tugasnya sebagai penjaga rumah. la selalu berpatroli di sekitar rumah, memastikan tidak ada hewan liar yang masuk ke dalam. Tom juga menjaga kebun di belakang rumah dari serangan tikus yang sering mencuri makanan.
Suatu malam, ketika Tom sedang tidur, ia terbangun oleh suara aneh di luar. la segera melompat dari tempat tidurnya dan berlari keluar untuk memeriksa. Ternyata, ada seekor rubah yang mencoba masuk ke dalam rumah.
Tom dengan cepat melompat ke atas pagar dan menggonggong dengan keras. Rubah itu terkejut dan segera melarikan diri. Tom berhasil mengusir- nya dan melindungi rumah dari ancaman.
Dari hari itu, Tom semakin dihormati oleh penduduk desa sebagai penjaga rumah yang tangguh. la menjadi teman yang setia bagi keluarga yang tinggal di rumah tersebut. Setiap hari, Tom mendapatkan pujian dan perhatian karena keberaniannya.
Cerita tentang Tom menyebar ke seluruh desa dan bahkan sampai ke kota terdekat. Banyak orang yang datang hanya untuk melihat kucing penjaga rumah yang legendaris ini. Tom menjadi terkenal dan dianggap sebagai pahlawan di mata semua orang.
Meskipun terkenal, Tom tetap rendah hati dan setia dengan tugasnya. la terus menjaga rumah dengan penuh dedikasi dan keberanian. Tom adalah bukti nyata bahwa ukuran dan bentuk tidak penting, yang terpenting adalah keberanian dan kesetiaan.
Akhir cerita ini mengajarkan kita tentang pentingnya menjaga dan melindungi orang-orang yang kita cintai. Tom adalah contoh yang sempurna tentang bagaimana binatang dapat menjadi teman dan pelindung yang setia.
Nah, itu tadi sederet contoh cerpen singkat yang bisa detikers jadikan inspirasi.
(azn/row)