Detikers tahu, tidak? Ternyata, Museum Sumpah Pemuda semula adalah rumah dari seorang keturunan Tionghoa. Ia adalah Sie Kong Lian.
Sosoknya juga merupakan orang yang berperan penting di balik Hari Sumpah Pemuda. Ia meminjamkan rumahnya sebagai tempat Kongres Pemuda Kedua pada 28 Oktober 1928, 96 tahun lalu.
Diceritakan oleh salah satu cucunya, Leny Atmadja, Sie Kong Lian adalah sosok yang sangat tulus dalam membantu perjuangan bangsa Indonesia. Kecintaannya yang besar terhadap Tanah Air ia wujudkan lewat penyerahan tempat tinggalnya sebagai museum.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sumbangsih ini diberikan untuk bangsa dan negara, jadi bisa dipergunakan untuk anak-anak di masa depan selanjutnya. Kita serahkan dengan setulus hati, digunakan untuk kelanjutan sejarah kesatuan dari pemuda-pemudi Indonesia," kata Leny di Museum Sumpah Pemuda, Jalan Kramat Raya, Senen, Jakarta Pusat, Senin (28/10/2024).
Menurut Leny, Museum Sumpah Pemuda menjadi saksi bisu dari perjuangan sang kakek bagi bangsa Indonesia. Selain dijadikan sebagai tempat melaksanakan kongres, rumah ini juga pernah dipakai para pemuda dalam melancarkan perjuangan mereka sebagai pelajar.
Perjalanan Rumah Sie Kong Lian: dari Asrama hingga Jadi Museum
Rumah Sie Kong Lian sudah berdiri sejak awal abad ke-20. Pada 1908, rumah tersebut disewa oleh pelajar yang bersekolah di School total Opleiding Van Inlandsche Artsen (Stovia). Mereka menggunakannya sebagai tempat tinggal hingga belajar.
Beberapa mahasiswa yang pernah tinggal di gedung ini yakni Amir Sjarifuddin, Soerjadi, Abu Hanifah, Abas, Hidajat, hingga Muh Yamin.
Kemudian pada 1927, rumah Sie Kong Lian menjadi tempat bagi anak muda dalam melakukan berbagai kegiatan organisasi. Bahkan, Soekarno pun sering bertandang untuk membicarakan bentuk perjuangan bersama tokoh penting lainnya.
Bangunan tersebut selanjutnya digunakan sebagai sekretariat Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) dan Majalah Indonesia Raja. Hingga pada tahun 1928, terjadilah momen bersejarah di kediaman Sie Kong Lian ini.
Pada 15 Agustus 1928, Kongres Pemuda Kedua digelar di sana. Dari kongres ini pun lahir teks Sumpah Pemuda yang menjadi pedoman bagi pemuda menjunjung nilai persatuan.
Setelah Kongres Pemuda Kedua, rumah tersebut sudah mulai ditinggalkan pelajar yang sempat tinggal. Alhasil, bangunan ini disewakan kepada Pang Tjem Jam pada 1937-1951.
Pang Tjem Jam menjadikannya sebagai tempat tinggal. Setelah Tjem tak berdiam di sana lagi, Loh Jing Tjoe menyewanya sebagai toko bunga pada 1937-1948.
Tak cuma disewakan sebagai tempat tinggal hingga toko, gedung Museum Sumpah Pemuda juga pernah dijadikan hotel. Pada 1948-1951, gedung berubah fungsi menjadi Hotel Hersia.
Pada 1951-1970, bangunan ini disewa kembali oleh negara sebagai Kantor Inspektorat Bea & Cukai. Pada 3 April 1973, gedung milik Sie Kong Lian pun dikelola oleh Pemerintah Jakarta. Pemda melakukan pemugaran pada 20 Mei 1973.
Ketulusan Sie Kong Lian, Contoh Baik untuk Bangsa
Leny berharap gedung Museum Sumpah Pemuda bisa menjadi tempat bagi anak muda masa kini untuk mengenang sejarah para pendahulu yang telah berjuang untuk bangsa. Ia ingin pengorbanan sang kakek dapat bermanfaat sepanjang zaman.
"Kalau kita miliki sendiri, itu enggak ada gunanya untuk pemerintah dan negara. Jadi kita rela serahkan," tuturnya.
Menurut Kepala Kwartir Nasional Gerakan Pramuka, Pol (Purn) Drs H Budi Waseso, tindakan Sie Kong Lian dan keluarga untuk menghibahkan kediamannya sebagai museum ini patut dijadikan teladan bagi bangsa.
"Nah inilah salah satu bukti keikhlasan yang harus dicontoh dengan merelakan kediamannya untuk masyarakat," tuturnya.
Menurutnya, Museum Sumpah Pemuda menjadi tonggak dalam memperkenalkan perjuangan pemuda zaman dahulu kepada pemuda zaman sekarang.
"Kalau enggak ada sejarah ini, nggak ada hari ini (peringatan Sumpah Pemuda). Nah apalagi beliau tadi bilang, rumah ini diteruskan untuk generasi selanjutnya, jadi bangunan ini sangat bersejarah," tuturnya.
(cyu/twu)