Selama ini oksigen yang kita hirup hampir setengahnya berasal dari laut, melalui proses fotosintesis yang dilakukan tumbuhan laut. Namun, baru-baru ini ilmuwan menemukan adanya produksi oksigen lainnya di laut dalam yang tak terkena sinar Matahari.
Sebuah studi yang terbit di jurnal Nature Geoscience pada 22 Juli 2024, menemukan "oksigen gelap" yang dihasilkan di laut dalam. Awalnya, produksi oksigen di laut dalam diabaikan oleh para ilmuwan.
Profesor dari The Scottish Association for Marine Science, Prof Andrew Sweetman, mengatakan bahwa penemuan oksigen laut dalam ini sebenarnya pertama kali diketahui pada 2013. Namun, dia mengabaikan penemuan itu karena menurutnya oksigen hanya dapat dihasilkan melalui fotosintesis.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya pertama kali melihat hal ini pada tahun 2013, sejumlah besar oksigen diproduksi di dasar laut dalam kegelapan total," ucapnya, sebagaimana dikutip dari BBC News.
"Saya menyadari bahwa selama bertahun-tahun saya telah mengabaikan potensi penemuan besar ini," imbuhnya.
Bagaimana Oksigen Gelap Terbentuk?
Untuk mengungkap oksigen gelap ini, Prof Sweetman dan rekan-rekannya meneliti laut dalam di wilayah antara Hawaii dan Meksiko. Kemudian, diketahui bahwa pada kedalaman 5 km yang tanpa sinar Matahari, ada oksigen yang dihasilkan oleh "nodul", logam alami yang memecah air laut yakni H20 menjadi hidrogen dan oksigen.
Nodul terbentuk ketika logam terlarut dalam air laut terkumpul pada pecahan cangkang atau puing-puing lainnya. Ini adalah proses yang memakan waktu jutaan tahun.
Nodul ini mengandung logam seperti litium, kobalt, dan tembaga, yang semuanya diperlukan untuk membuat baterai. Maka dari itu, banyak perusahaan pertambangan kemudian mengembangkan teknologi untuk mengumpulkan nodul dan membawanya ke permukaan.
Kondisi ini membuat para ilmuwan menganggap risiko penambangan bisa merusak ekosistem laut dan nodul itu sendiri.
Bagaimana Nodul Bisa Menghasilkan Oksigen Gelap?
Melalui serangkaian uji laboratorium, para ilmuwan menemukan bahwa nodul bekerja seperti layaknya baterai. Mereka mengukur tegangan pada setiap gumpalan logam dan menemukan bahwa nodul dapat menghasilkan arus listrik.
Secara umum, tegangan yang dihasilkan oleh nodul hampir sama dengan tegangan pada baterai berukuran AA. Tegangan ini menghasilkan oksigen dengan cara memecah air laut menjadi gelembung yang mengandung hidrogen dan oksigen.
"Jika Anda memasukkan satu baterai, tidak akan ada cukup daya untuk menyalakan obor. Namun, dengan dua baterai, tegangan yang cukup akan dihasilkan untuk menyalakannya. Begitu juga dengan nodul-nodul di dasar laut, saat mereka saling bersentuhan, mereka bekerja bersama-sama, mirip dengan beberapa baterai yang menghasilkan daya secara serempak," terang Prof Sweetman.
Menariknya, nodul ini sama sekali tidak memerlukan bantuan cahaya Matahari seperti produksi oksigen pada umumnya. Bahkan, besar kemungkinan nodul juga dapat bekerja di bulan maupun planet lain.
Ancaman Penambangan Nodul
Sayangnya, penemuan nodul yang penting bagi ekosistem dan penelitian ilmuwan dibarengi dengan pertambangan. Diketahui, berbagai perusahaan mencoba melakukan eksplorasi di sekitar Zona Clarion-Clipperton yang merupakan tempat penemuan nodul.
Badan Kelautan dan Atmosfer Nasional AS (NOAA), telah mengecam berbagai upaya penambangan di dasar laut karena dapat merusak kehidupan dan habitat dasar laut. Saat ini, setidaknya terdapat sekitar 800 ilmuwan kelautan dari 44 negara yang telah menandatangani petisi untuk menghentikan aktivitas penambangan di dasar laut.
"Sudah ada bukti yang sangat kuat bahwa penambangan terbuka di ladang nodul laut dalam akan menghancurkan ekosistem yang hampir tidak kita pahami," kata ahli biologi kelautan dari Edinburgh University, Prof Murray Roberts
"Akan sangat gila untuk terus melanjutkan penambangan laut dalam meskipun tahu bahwa ladang-ladang ini mungkin merupakan sumber produksi oksigen yang signifikan," pungkasnya.
(faz/faz)