Hari Kemerdekaan Indonesia diperingati pada 17 Agustus setiap tahunnya. Berbagai acara dan perlombaan digelar di seluruh Tanah Air untuk memeriahkan hari tersebut.
Salah satunya kerap diadakan lomba membuat cerpen bertema 17 Agustus bagi siswa-siswi di sekolah. Kalau bingung membuat cerpen bertema kemerdekaan, kamu dapat temukan contohnya yang bisa dijadikan referensi pada uraian di bawah.
Cerpen tentang Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus Penuh Makna
Berikut deretan contoh cerpen tentang kemerdekaan RI pada 17 Agustus yang dapat dijadikan referensi:
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Cerpen 1: Kemerdekaan
Karya: Putu Wijaya
Ateng bertanya kepada seorang pembantu rumah tangga, apa arti kemerdekaan. Tetapi, yang ditanya diam saja menatap Ateng seperti ayam menunggu diserakkan gabah. "Apa artinya kemerdekaan buat kamu?" tanya Ateng sekali lagi. Tetapi, pembantu itu masih saja melongo.
Ateng lantas mengambil sapu di tangan pembantu itu. Menyuruhnya berdiri di pojok. Lalu menyorongkan lagi pertanyaan itu. "Apa arti kemerdekaan bagi kamu?" Sekarang pembantu itu mesem-mesem. "Ah, masak yang begitu ditanyakan. Tahu sendirilah," katanya dengan geli dan genit. Kemudian ia menjiwit Ateng. Ateng serta merta menepiskan tangan itu, lalu bertanya sekali lagi dengan muka yang lebih bersungguh-sungguh.
"Ini bukan main-main. Apa arti kemerdekaan bagi kamu? Apakah sesudah lima puluh tahun kita merdeka, kamu merasa diri kamu benar-benar merdeka? Apa arti kemerdekaan itu buat kamu?"
Digertak macam itu, pembantu itu bukannya takut. la memang berasal dari Jawa, tapi mentalnya sudah bukan mental abdi dalem. la pembantu masa kini. Langsung saja ia merebut sapunya lalu pergi. Ateng mencoba mengejar dengan penjelasan. "Eeee tunggu, bahenol! Kita sebentar lagi merayakan Hari Proklamasi, hari ulang tahun kemerdekaan kita. Nah, untuk menyambut peringatan hari kebebasan kita, apa pendapat kamu tentang kebebasan?"
Tetapi pembantu itu sudah masuk rumah, langsung mengunci pintu. Ateng hanya bisa mendengar buntut omelannya yang cekikikan seakan-akan ia sedang diburu-buru. Nyonya rumahnya nampak menyorongkan kepala keluar jendela, melihat kepada Ateng dengan mata sengit. Ateng terpaksa mencelup di balik pagar sebelum ketahuan.
Kemudian Ateng memburu pembantu lain yang lebih tua dan bisa diajak tes. Namun seperti pembantu yang pertama, pembantu yang kedua juga geli mendengar pertanyaan itu. Baru setelah disogok dengan selembar ribuan dan janji keterangannya tidak akan disebarluaskan wanita itu mulai merespon. Tapi ia nampak malu-malu mengeluarkan suaranya sendiri di depan tape recorder yang dihunus Ateng.
Ateng terpaksa memancing. "Apa kemerdekaan bagi Mbak ini artinya kebebasan?" Pembantu itu mengangguk disertai suara lirih, "Ya."
"Apakah arti kebebasan bagi Mbak?" Wanita itu bingung. Ateng mengubah pertanyaannya. "Apakah di dalam kemerdekaan ini Mbak merasa bebas?"
"Nggak tahu."
Ateng mematikan tape recorder, la memberikan penjelasan karena menganggap ada salah pengertian.
"Begini Mbak, coba dengar baik-baik. Mbak kalau ditanya jawabnya tidak boleh tidak tahu. Harus menjawab ya atau tidak. Paham?" "Ya."
Ateng memasang lagi tape recorder.
"Apakah arti kemerdekaan bagi Mbak?" Wanita itu terdiam. Nampak bingung. Ateng menunggu. Tapi kebingungan wanita itu tidak berkurang. Terpaksa Ateng mengganti lagi pertanyaannya.
"Oke begini. Apakah Mbak merasa diri Mbak merdeka?"
"Tidak."
"Nah itu bagus. Begitu kalau menjawab. Baik, sekarang, mengapa Mbak merasa tidak merdeka?"
"Saya tidak merdeka?"
"Ya, kan?"
"Kenapa saya tidak merdeka?"
Ateng terpaksa mematikan kembali tape recorder-nya. Dia minta uangnya kembali karena wawancara dianggap gagal. Sambil misuh-misuh, ia mencari pembantu yang lain.
Memang sulit mencari pembantu yang mau diwawancarai. Ada yang mau, tapi waktunya tak ada. Ada yang sudah diwawancarai, tetapi jawabannya kacau. Untung akhirnya Ateng bertemu dengan mantan seorang pembantu yang sudah berwiraswasta. Wanita itu menjawab pertanyaan Ateng dengan menggebu-gebu. "Kemerdekaan artinya adalah kebebasan," katanya dengan sengit, seperti penjudi yang sedang kalah total. "Kemerdekaan bagi kita adalah kebebasan," katanya mengulangi pernyataannya. Tapi kemudian ia tidak mampu melanjutkan. Hanya matanya saja yang berkejap-kejap seperti hendak menangkap sesuatu. Ateng kembali turun tangan.
"Oke, Bu, kalau kemerdekaan adalah kebebasan. Kebebasan itu apa?"
"Kebebasan?"
"Ya, apa arti kebebasan buat ibu?"
"Ya, kemerdekaan!"
Ateng tiba-tiba merasa dipermainkan. Tetapi, mantan pembantu itu cuma ketawa. Ketika Ateng mau bertanya lagi, wanita itu menadahkan tangan. Sambil menyumpah-nyumpahi dunia bahwa segalanya sudah serba mata duitan, Ateng terpaksa mengeluarkan selembar ribuan lagi. Wanita itu menolak. Dia mengacungkan dua jari. Terpaksa Ateng mengulurkan satu lembar lagi.
"Itu sudah semuanya," katanya. "Jadi, apa arti kebebasan buat ibu?"
"Kebebasan?"
Ateng diam sejenak, tak menanggapi. Wanita itu mulai merasa Ateng kesal. Kemudian ia menjawab dengan lebih sungguh-sungguh.
"Apa arti kebebasan itu, apa ya? Ya kebebasan, begitu. Seperti biasanya saja. Ya bebas. Bebas, artinya ya merdeka. Ya kan?" Ateng tidak menjawab. Dia mendengarkan saja.
"Kebebasan itu apa ya? Masak di situ tidak tahu? Kan mestinya lebih tahu. Kebebasan itu kan kemerdekaan. Apa iya? Contohnya saja, kalau Tuan dan Nyonya kita lagi tidak di rumah, kita baru merasa diri kita merdeka," kata wanita itu mulai lancar berbicara. "Sebab kalau mereka tidak ada, kita bisa bangun jam berapa saja. Kita bisa makan apa saja. Kita bisa duduk di atas sofa di mana mereka biasanya duduk nonton film-film. Kita bisa nyetel kaset dangdut sambil goyang-goyang. Kita bisa bebas memukuli anjing piaraannya yang manja tidak ketulungan itu. Bahkan kita bisa tidur di atas tempat tidurnya. Pokoknya kita bisa melakukan apa saja yang kita mau. Tapi ini semua rahasia, jangan bilang-bilang sama mereka, nanti kita bisa kontan dipecat."
"Jadi menurut ibu, kebebasan dan kemerdekaan itu berarti, kamu dapat berbuat semena-mena?"
Sekarang wanita itu bengong. "Apa?"
"Jadi ibu baru merasa merdeka dan bebas, kalau ibu bisa berbuat seenak perut ibu sendiri?"
Pembantu itu tercengang. Ateng jadi penasaran. "Lho, itu kan baru saja ibu katakan sendiri tadi. Ini, kalau tidak percaya dengerin lagi!"
Ateng mengeluarkan tape yang sejak tadi disembunyikannya. Memutar ulang pitanya. "Itu suara kita?"
"lya, suara ibu."
Mantan pembantu itu merebut tape recorder dari tangan Ateng, lalu memegang lebih dekat ke kupingnya. Beberapa lama kemudian ia tertawa kesenangan.
"Lucu ya suara kita, kok cemeng begitu," katanya sambil terus menikmati suaranya sendiri. Ateng merebut kembali tape itu.
"Jadi buat ibu kebebasan dan kemerdekaan itu adalah kalau ibu bisa berbuat sesuka ibu sendiri?"
Wanita itu senyum-senyum. "Ya atau tidak?"
"Nggak tahu!"
"Lha, itu di rekaman tadi ibu bicara begitu!" "Habis direkam sih, siapa yang suruh. Jadi lucu begitu."
"Kok bisa cemeng sekali. Genit, kenes lagi, Ha-ha-ha. Coba dengerin sekali lagi!"
Sebelum Ateng sempat berkelit, wanita itu merebut tape itu dan menyetelnya. Lalu ia tertawa terbahak-bahak. Tiba-tiba saja ia lari masuk ke dalam rumah memanggil temannya.
Tak lama kemudian terdengar sepasang ketawa berderai-derai. Ateng yakin mereka hanya menertawai bunyi yang keluar dari tape itu. Mereka sama sekali tidak peduli apa artinya.
(Dikutip dari Cendekia Berbahasa: Bahasa dan Sastra Indonesia oleh Erwan Juhara, dkk.)
Cerpen 2: Akang Gambang Tukang Becak
Karya: Saleh Sastrawinata
Namanya yang asli, artinya nama pemberian orang tuanya, ialah Kasur.
Mengapa begitu?
Ah, itu urusan orang tuanya. Kasur sendiri merasa tak perlu menuntut atau menggugatnya.
"Apakah gunanya?" demikian pikir Kasur, "Menggugat nama yang sudah ditakdirkan oleh Tuhan untuk kupakai? Menyesali orang tuaku yang telah meninggal tidak pula ada faedahnya."
Memang, ketika ia masih kecil badannya luar biasa gemuknya seperti gulungan kasur. Demikian cerita yang didengar olehnya dari mulut orang tuanya dahulu sebelum meninggal.
Akan tetapi, pada suatu ketika nama itu menimbulkan pertanyaan orang juga karena keadaan sebenarnya tidak sesuai lagi dengan makna nama panggilan itu.
Sang Alam dan sang Waktu kiranya sudah kuasa memengaruhi keadaan isi dunia ini dan tidak terkecualikan pula makhluk seperti Kasur itu.
Konon ceritanya tersiar, ketika Kasur pulang kembali dari kerja paksa sebagai Romusha di daerah Banten badannya rusak karena penyakit malaria.
Mukanya pucat, matanya cekung, rambutnya kerdil: tulang rusuknya jelas kelihatan berleret-leret rapi seperti bilahan gambang layaknya.
Jepang datang menjajah Indonesia dengan membawa kebudayaannya sendiri untuk mendesak kebudayaan yang sudah lama ada di sini. Diadakannya pelbagai perubahan dalam segala macam hal.
Dengan sekaligus, disuruhnya kita mengganti semua yang lama dengan yang baru yang serasi dengan kebudayaan nenek moyangnya sendiri.
Nama kantor, nama jalan, nama ini dan itu, semua harus diganti dan tidak dikecualikan nama Kasur.
Hanya bedanya, pergantian nama Kasur itu tidak terjadi atas perintah Gunseikan, melainkan atas kehendak kawan kenalannya sekampung yang juga sudah kena pengaruh ingin mengubah apa- apa yang lama dengan yang baru.
Maka sekembali Kasur dari Banten, ia dapat gelaran baru, yaitu Akang Gambang.
Yang menjadi pokok alasan pergantian nama itu, tak lain dan tak bukan, ialah tulang iganya yang berleret-leret di dadanya itu seperti bilahan gambang laiknya.
Karena semangat nrimo, sudah menjadi adat tabiatnya sejak ia dilahirkan ke dunia yang fana ini, maka Kasur tidak protes tidak membantah melainkan menerima semata.
Pekerjaan di kantor-kantor di Jakarta, pada waktu itu tertutup semua bagi Akang Gambang, oleh karena ia buta huruf dan buta bahasa Nippon.
Dari kata-kata Nippon yang sebanyak dan seindah (untuk Nippon sendiri tentu) hanya dua perkataan saja yang tak dapat dilupakan Akang Gambang.
Yaitu kata-kata: "bagero" dan "arigato". Mungkin selama hidup kedua perkataan Nippon itu tetap melekat pada otaknya dan kemudian akan menjadi kenang-kenangan yang pahit bagi anak cucunya.
Sebabnya begini: Dengan kawan-kawannya Setonarigumi Akang Gambang menuntut kursus Nipponggo, oleh karena pada masa itu bahasa Nippon berkuasa dan berpengaruh.
Akan tetapi, otak Akang Gambang agaknya sudah tumpul. Betapa pun besarnya kegiatan Nipponsan mengajar bahasa yang bertuah itu, namun pelajaran Akang Gambang tidak maju-maju juga.
Karena jengkelnya, tangan tuan Nippon itu menyambar kepala Akang Gambang dengan diikuti kata bagero, berulang-ulang.
Sesudah menerima tamparan sebagai pencairan otak itu, Akang Gambang disuruh pula mengucapkan arigato, sambil membungkukkan badan sembilan puluh derajat.
"Nasibku sendiri yang jelek," pikir Akang Gambang.
la tak melawan, tidak berontak. Malahan la mengucap syukur kepada Yang Maha Adil Penyayang dan Pengasih, karena otaknya tidak hancur.
"Tuhan masih adil," demikian pikir Akang
Gambang, karena ia masih dapat mendayung becak. Untuk menjadi pendayung becak tidak perlu ijazah Nipponggo yang hanya berharga lima rupiah itu.
"Kalau Nippon mau," begitulah olok Akang Gambang sambil mendayung, "biarlah kubeli lima rupiah setiap otak orang Nippon yang ada di sini buat lauk pauk anak biniku, daripada aku disuruh daripada mengorbankan otakku sendiri kepada mereka!"
Kawan-kawannya suka benar mendengarkan senda gurau Akar. Gambang yang jenaka itu.
Akan tetapi, alangkah kasihan mereka, jika Akang Gambang kelihatan payah mendayung becaknya yang memuat tuan-tuan Nippon yang gemuk-gemuk itu.
Urat kaki Akang Gambang tampak membendul seperti usus ayam membelit-belit betisnya. Napasnya sesak dan mendengus-dengus seperti desus lokomotif sedang langsir. Bola matanya membelalak seperti mata kerbau yang baru disembelih: tulang rusuknya bergerak-gerak turun naik menurut irama nafasnya yang hampir habis itu. Sekujur badannya basah kuyup, oleh keringat. Dengan sabar tawakal Akang Gambang mendayung, terus mendayung dan sekali lagi mendayung sampai pada tempat yang dituju.
Pada getaran hawa panas yang naik ke udara dari jalan aspal yang kena sinar matahari itu, seolah-olah tampak olehnya tiga pasang mata manusia yang kurus kerdil.
Dari mulut ketiga manusia setengah hidup itu, seolah-olah keluar kata-kata: "lapar, lapaar, lapaaaaaaar!"
Bini dan dua orang anaknya, menanti-nanti kedatangan Akang Gambang membawa uang hasil penjualan keringat.
Kata-kata yang mengerikan itulah mendorong Akang Gambang bermandi keringat di panas matahari.
Kalau Akang Gambang sedang melepaskan lelah di dekat hotel-hotel atau restoran, di mana- mana tuan Nippon sedang beriang gembira makan minum maka terbayanglah lagi ketiga pasang mata tadi di mukanya. Bayangan ketiga makhluk itu seolah-olah menyuruh dia menjulurkan tangan minta makanan pada tuan-tuan itu.
Maka segeralah ia memalingkan muka, lalu mendayung lagi, supaya hilang rasa dirinya hina.
Akang Gambang merasa dirinya masih berharga sebagai manusia, apabila ia melihat orang-orang berkerumun di tempat sampah, mengais- ngais kotoran seperti ayam, menjilat-jilat daun seperti anjing jalang.
"Alhamdulillah, nasibku tidak seperti orang- orang itu," kata Akang Gambang dalam hatinya.
Otak Akang Gambang yang sesederhana itu belum lagi kuasa memecahkan soal-soal yang pelik seperti: apa sebab ia hidup melarat, apa sebab orang-orang Belanda dan Jepang hidup senang sedang bangsanya tetap melarat seumur hidup..
Pusat pikiran dan titik tujuan usahanya pun sederhana saja: sesuap nasi untuk hari ini!
la tidak mengerti soal menjajah atau dijajah; apalagi soal kapitalisme, imperialisme atau kolonialisme.
Oh, tidak, tidak, ia tidak mengerti soal itu semua!
Yang menjadi soal terpenting baginya ialah: bagaimana cara mendapat duit untuk membeli nasi!
Bukan ia tidak ingin hidup, senang seperti tuan-tuan Belanda dulu atau seperti tuan-tuan Nippon pada waktu itu! Oh, hidup senang semacam itu selalu termimpi-mimpikan olehnya setiap malam. Tetapi impian seindah itu bagi dia tetap menjadi impian belaka.
"Sekarang tak kualami sendiri, mudah- mudahan' besok atau lusa oleh anak cucuku!' Demikianlah la menghibur hatinya ia belum berputus asa roda zaman terus berputar dengan tidak menghiraukan manusia yang sedang atau masih mimpi!
Sampailah jarum sejarah itu pada titiknya yang tertentu.
Pada suatu hari Akang Gambang melepaskan lelah sehabis mendayung becaknya dekat radio umum yang sering membohong; sering menganjur anjurkan menanam jarak; bekerja gotong royong, dan kerja sama dengan Dai Nippon.'
Demikianlah alhasil pendapat Akang Gambang tentang radio itu.
Biasanya, Akang Gambang tidak pedulikan omong kosong radio itu. Akan tetapi, kali ini ia terpaksa juga mendengarkannya, karena ajakan teman-temannya tukang becak.
Pada roman muka teman-temannya kelihatan sinar getaran jiwa yang mengandung pengharapan.Pengharapan apa?
Entah Akang Gambang belum lagi kuasa menebaknya!
"Proklamasi. Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia!" Demikian antara lain terdengar oleh Akang Gambang dari corong pesawat radio umum itu.
Seperti kerbau yang kebingungan jalan, Akang Gambang melihat berkeliling, menatap muka teman-temannya itu.
Ada seorang temannya yang mula-mula. kelihatan kuyu, mendadak mengepalkan tangan dengan penuh semangat sambil berteriak: "Merdeka Bung! Akur, merdeka Bung!"
"Hahahaha, merdeka; merdeka Bung!" sahut temannya yang lain, sambil ngluyur mendayung becaknya.
Topi peci, saputangan beterbangan ke udara disertai pekik sorak. Topi jok becaknya dipukul- pukul, belnya didering-deringkan sehingga menjadi hiruk pikuk.
Akang Gambang merasa malu kalau disebut ketinggalan kereta api oleh teman-temannya.
Maka ia pun turut tertawa, turut berjingkrak- jingkrak, turut mengacungkan tangannya seperti tingkah
orang yang tenggelam minta tolong. la pun turut berteriak, "Merdeka!" Apakah merdeka itu berarti tambahnya lapar
atau hilangnya bahaya lapar, entah ia belum yakin. Namun ia merasa bangga, karena sudah turut menggembirakan hari proklamasi kemerdekaan tanah airnya.
Beberapa hari kemudian sesudah peristiwa itu, tampak oleh Akang Gambang serdadu-serdadu Nippon bermobil-mobil, bertruk-truk lengkap dengan senjata mereka menuju ke jurusan Bogor. Gaya dan roman muka tuan-tuan Nippon itu tidak segagah dan segalak dulu lagi, waktu mereka mendarat dan mengusir Belanda.
Romannya seperti ayam kalah bersabung. Bendera merah putih berkibar di muka rumah Presiden Soekarno, di gedung Pegangsaan Timur. Juga becak Akang Gambang dihiasi dengan bendera kertas merah putih.
Waktu mobil presiden keluar dari halaman rumahnya, kebetulan sekali Akang Gambang ada di tepi jalan di sana Bung Karno mengacungkan tinjunya sambil berteriak: "Merdeka!"
Akang Gambang berjingkrak seperti anak kecil baru dibelikan balon-balonan. la pun berteriak sekuat tenaga.
"Merdeka; merdeka Bung Karno!" Kesenangan hati Akang Gambang diberi salam merdeka oleh Bung Karno, tiada tara bandingannya. Semangatnya memberi salam merdeka sekarang bertambah hebat. Setiap orang diberi salam merdeka.
Sambil mendayung, bel becaknya didering- deringkannya dengan irama diiringi dendang lagu es lilin.
"Tarik suara sendiri?" seru empok-empok di tepi jalan yang geli melihat kelakuan Akang Gambang.
"Siapa ketawa di sana?" sahut Akang Gambang dengan tersenyum kecil.
"Boleh korting sedikit, Bung! Kan merdeka," kata Akang Gambang dengan sikap seperti milyuner, kepada penumpangnya yang turun.
Penumpang hatinya lega, Akang Gambang hatinya bangga karena merasa turut berjasa pada perjuangan nusa dan bangsa.
Seperti tingkah laku seorang pahlawan yang menang dalam pertempuran, Akang Gambang melangkahkan kaki menuju ke gubuknya.
Mukanya bersinar-sinar. Sinar hatinya gembira, disebabkan peristiwa-peristiwa istimewa itu. Dadanya penuh dengan keinginan hendak menceritakan kepada anak dan istrinya tentang berita penting di radio, salam merdeka dengan Bung Karno, gedung istana Bung Karno, bendera merah putih, dan tentang Indonesia merdeka!
Dalam khayalnya sudah tampak kelihatan anak bininya mengerumuni dia dengan muka gembira dan dengan pekik merdeka yang bersemangat, meriah. Tampak juga dirinya sendiri berdiri di depan mereka itu dengan sikap dan gaya Bung Karno ketika angkat bicara.
Makin dekat ia ke gubuknya yang sudah doyong akan roboh itu, makin berdebar dadanya karena ingin segera bercerita kedua orang anaknya telanjang bulat dan kotor karena lumpur menyambut kedatangan Akang Gambang dengan teriakan, "Hore Bapak datang! Bawa duit Pak?"
Kakaknya menyambungi: "Mak nangis, Pak! Bapak bawa beras?"
Hati Akang Gambang menjadi agak kecut karena sambutan anak-anaknya yang tak diduga akan demikian macam. Namun, seperti laku diplomat yang hendak menghindarkan ketegangan, Akang Gambang tersenyum, lalu mengacungkan tinjunya: "Merdeka!"
Kedua orang anak itu melihat dengan keheran- heranan, seperti melihat tukang sulap sedang memainkan kartu. Mulut mereka menganga. Kakaknya melihat kepada adiknya sambil mengedipkan mata dan menyeringai.
Istri Akang Gambang keluar dari dapur. Rambutnya kusut, matanya kelihatan kuyu. la duduk di tanah menunggu suaminya menyerahkan uang pendapatan narik becak.
Dengan tidak menghiraukan sedikit juga pada suasana yang agak buruk itu, Akang Gambang mulai juga dengan ceritanya seperti yang sudah direncanakan. Dengan gembira perkataannya meluncur dari mulutnya; dengan penuh semangat tangannya bergerak-gerak menggambarkan orang- orang bersalam merdeka dengan Bung Karno yang memberi salam merdeka kepada dia sendiri.
"Aku sendiri gembira, karena dapat turut berjasa dalam perjuangan. Setiap penumpang becakku ku beri korting," katanya sambil menyerahkan segulung kecil uang kertas, yang jumlahnya jauh lebih kurang dari setoran biasanya.
Muka bini Akang Gambang mendadak menjadi merah, matanya melotot, uang di tangannya diremas: "Jadi, jadi...!" Katanya dengan geram. "Jadi karena merdeka, Abang korting juga makan anak bini Abang. Apa Abang sudah gila?! Sudah gila, hah!" Caci maki dan kata yang pedas-pedas meluncur dengan derasnya dari mulut bini Akang Gambang, seperti peluru lepas dari mulut mitraliyur....
(Dikutip dari buku Bahasa Indonesia untuk Kelas IX oleh Agus Supriatna dari Kisah Sewajarnya, Balai Pustaka, Jakarta: 1952)
Cerpen 3: Polusi Kemerdekaan
Karya: Abdul Hadi, S.Pdi
Di antara murid-murid MA Al Huda, ada salah satu murid yang bernama Legiman yang paling pintar bahkan setiap tahunnya peringkat satu madrasah diraih olehnya. Mungkin Legiman tidak seperti dengan teman-teman lainnya yang setiap pagi sebelum berangkat sekolah sarapan pagi dahulu, tapi dia mempunyai keunggulan yang membuat namanya menjadi perbincangan di kalangan cewek-cewek primadona madrasah. malah dengar cerita beberapa cewek ada yang membuat sayembara untuk mendapatkan hati Legiman. Kata Paijah yang satu kelas dengan Legiman.
"Kata Paijah, Legiman itu orangnya pintar dan humble," cerita lik Bejo penjaga kantin madrasah kepada anak-anak yang sedang menunggu tempe mendoan yang sedang digoreng. "Legiman memang mempunyai nilai lebih dengan anak-anak pintar lainnya," sahut lek Juminten, istri lek Bejo yang sedang mencuci piring.
"Tapi, Legiman memang luar biasa," kata de Rosi, tukang kebun yang sering melihat Legiman berangkat pagi ke sekolah dengan berjalan kaki. "Melihat anak zaman sekarang mana ada anak berangkat sekolah berjalan kaki kecuali Legiman. saya saja sebagai orang tua belum bisa menerapkan hidup sederhana seperti itu," lanjut de Rosi menceritakan kekagumannya pada Legiman.
"Iya.. setiap pelajaran hampir semuanya Legiman mendapatkan nilai sepuluh," timpal guru olahraga yang sedang merokok di pojok kantin sembari menunggu kopi yang telah dipesan. "Kalian kan tahu sendiri ketika Legiman ditanya guru matematika yang terkenal galak banget itu, dia bisa menjawab semua pertanyaan bahkan pelajaran yang belum diajarkan pun dia bisa menjawab."
"Betul.. seolah-olah dia itu punya ilmu yang misterius," sahut guru sosiologi. "Seperti ilmu orang-orang kuno zaman dulu."
"Ilmu laduni maksudnya?" kata pak Zen, guru fikih yang sudah selesai sarapan.
"Bagaimana dia bisa mendapatkan ilmu seperti itu?" tanya guru olahraga.
"Ilmu laduni bisa didapatkan dengan dua cara!" jawab pak Zen. Mendengar jawaban pak Zen, guru olahraga semakin penasaran.
"Cara pertama didapatkan dengan cara keturunan artinya ilmu itu diwarisi dari bapaknya atau kakeknya atau mbah-mbahnya yang mana memang memiliki ilmu tersebut," kata pak Zen yang sedang menerangkan.
"Yang kedua apa pak Zen?" suara dari guru sosiologi yang masih menikmati kopi dan rokoknya.
"Cara kedua dengan belajar yang rajin dan ibadah yang giat, cara ini mungkin lebih berat karena orangnya sendiri yang berusaha mendapatkannya. Tiada hari tanpa belajar dan ibadah mendekatkan diri pada yang maha tahu segalanya. Karena dengan ketekunan dan kegigihannya dalam belajar serta tingkat spiritualitas yang tinggi, Allah akan membuka gudang ilmu yang ada dalam dirinya, " lanjut pak Zen menerangkan.
"Jadi setiap orang punya gudang ilmu iya pak?" tanya pak Bejo yang juga ikut mendengarkan.
"Iya.. betul, tinggal kita bisa menemukan kuncinya atau tidak!" jawab pak Zen.
Ketika kemudian 17 Agustus, madrasah mengadakan lomba tentang makna kemerdekaan, Legiman tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk ikut lomba. Hadiah yang disediakan lumayan besar berupa beasiswa sebesar sepuluh juta rupiah dikarenakan tahun itu bertepatan dengan hari ulang tahun madrasah yang ke-100.
Murid-murid yang tahu kalo Legiman ikut lomba, mereka pada khawatir dan takut. "Kenapa Legiman ikut?! Kalo dia ikut pasti dia pemenangnya," kata Kirun, seorang murid yang melihat Legiman ikut mengantri di pendaftaran.
"Enggak usah takut, belum tentu dia menang," balas teman yang mengantri di belakang Kirun.
"Memangnya ada apa?" tanya Kirun yang merasa aneh.
"Sudah sebulan ini kan Legiman setiap ulangan mendapatkan nilai yang jelek terus," jawab teman kirun.
"Jangan-jangan ilmu Legiman sudah hilang," komentar Kirun dengan penuh keheranan. "Wah, sayang sekali! Apa gerangan yang terjadi pada Legiman?"
Di kala sudah tiba hari perlombaan, satu persatu peserta maju dan menyampaikan pendapat mereka tentang makna kemerdekaan. Karya yang dibuat murid-murid hampir semuanya bagus-bagus. Kemudian setelah beberapa peserta maju, saatnya giliran Legiman dipanggil. "Selanjutnya mari kita saksikan Peserta No 78: Legiman, waktu dan tempat dipersilahkan!" kata pembawa acara.
Legiman lalu maju kedepan menuju panggung. Semua mata tertuju padanya baik guru, murid, panitia dan tamu undangan karena selama 2 tahun ini dia memang menjadi primadona sekolah MA Al Huda.
"Ini to yang namanya Legiman?!" tanya seorang tamu undangan dari sekolah lain.
"Iya pak.. ini yang namanya Legiman, salah satu putra terbaik sekolah MA Al Huda sepanjang sejarah" jawab pak Zen yang kebetulan duduk disampingnya.
Di atas panggung Legiman mulai memperkenalkan diri dan menampilkan karyanya.
"Karena bodoh segala maksiat dikerjakan
Karena bodoh terjadi kemusyrikan
Karena bodoh kufur dianggap syukur
Karena bodoh, boros borosan dianggap kedermawanan
Karena bodoh budaya salah dianggap kewajaran
Karena bodoh agama dianggap ketinggalan
Karena bodoh fatwa ulama dianggap menyulitkan
Karena bodoh setumpuk gelap dianggap bukan permasalahan
Karena bodoh kemerdekaan di balas joget jogetan
Karena bodoh sejarah dilupakan
Karena bodoh perjuangan dibalas foya-foya di jalanan.
Merdeka seharusnya terbebas dari segala perbudakan akal pikiran, tubuh ataupun hati dan sadar akan kesalahan agar benar benar tahu dan paham makna bersyukur.
Apakah bendera merah putih itu tidak ada kesuciannya?!
Apakah bendera merah putih itu tidak ada ruhnya?!
Dikira merah putih itu tidak ada ruh nya sehingga banyak zaman sekarang memperingati Hari Kemerdekaan dengan kesenangan-kesenangan yang tidak memperlihatkan kesucian merah putih. Ruhnya merah putih itu ada tiga hal yang perlu kita ketahui dan kita jaga:
1. Kehormatan bangsa
2. Jati diri bangsa
3. Harga diri bangsa
Semuanya itu ada dalam merah putih, wajar saja kalau kita harus kirapkan. Untuk apa? agar supaya membangkitkan rasa memiliki republik ini.
Peringatan 17 Agustus mirip peringatan hijrah, hijrah mengingatkan perjuangan nabi, sepak terjang nabi. Agustus mengingatkan perjuangan para leluhur-leluhur kita yang berjuang. Maka kalau acara syukuran 17-an Agustus, seyogyanya agar mengadakan haul akbar para pahlawan kemerdekaan Republik Indonesia ini. Tidak lebih condong hanya kepada kesenangan atau kebahagian kita, lalu joget-joget. Kan ada momen-momen lainlah, kalau mau joget- joget. Nah untuk moment peringatan Agustusan ini, kan kita mengingatkan darah yang mengalir, kan kita mengingat pengorbanan yang mana para leluhur kita sudah:
Tidak menganggap nyawanya berharga,
Tidak menganggap jasadnya berharga,
Tidak menganggap daerahnya berharga.
Mereka tidak peduli saya mau mati dimana, mereka tidak peduli anak saya di mana, mereka tidak peduli istri saya dimana. Demi apa?? DEMI MEWUJUDKAN KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA..... INDONESIA...... INDONESIA.
Wassalamualaikum Wr. Wb." Legiman mengakhiri penampilannya.
(Dikutip dari buku Antologi Cerpen Al Manshur Ranting Kering Bersemi Kembali oleh Adhimas Surat an, dkk.)
Cerpen 4: Hari Kemerdekaan
Karya: Iska Bunga Ramadhani
Sudah hampir 76 tahun Indonesia dinyatakan merdeka sejak hari itu 17 Agustus 1945 dikumandangkannya proklamasi kemerdekaan. 17 Agustus yang ditetapkan sebagai hari kemerdekaan, dimana setiap tahunnya pasti di peringati dengan perayaan yang sangat ramai dan meriah. Namun, tahun ini tak ada keramaian tapi ada jarak. Indonesia masih belum terlepas dari masa pandemi karena adanya virus dimana-mana. Kami tak bisa beraktivitas dengan bebas seperti biasanya dan tak boleh lengah akan bahaya virus yang bisa menyerang kapan saja. Tak apa, anggap saja tahun ini perayaan Hari Kemerdekaan menjadi lebih istimewa.
Aku sudah lama sekali tak berkumpul dengan teman-temanku, dan kami memutuskan untuk berkumpul hari ini sambil mengerjakan tugas bersama. Kami yang kumaksud adalah aku Juwita Ayu, dan Zea. Kami bersekolah di tempat yang sama dan juga duduk di kelas yang sama Jarak rumah kami memang berdekatan, kali ini kami berkumpul di rumahku. Meskipun rumah kami berdekatan, aku tetap mengingatkan mereka agar tetap menggunakan masker demi kebaikan bersama. Topik pembicaraan kami pun tak jauh-jauh tentang virus dan hari kemerdekaan yang sebentar lagi tiba.
"Tahun ini ada lomba seperti biasa nggak, ya? Tahun kemarin kan sudah nggak ada," tanya Ayu.
"Kurasa nggak ada deh, Yu. Lagian masih pandemi juga, kalau lomba kaya biasa yang ramai-ramai gitu sama aja mengundang penyakit. Kita sekolah aja sampe daring kan belajar di rumah, mau ke tempat ibadah juga banyak peraturannya, percuma saja kita selama ini di rumah tapi pas lomba malah berkerumun," sahutku.
"lya bener, sih. Tapi jaman sekarang kan udah canggih, ada yang namanya media sosial. Bisa digunain buat keperluan begini juga tahu," kata Ayu.
"Eh bentar, deh. Tadi aku sempet buka Instagram akun OSIS SMP kita. Ada lomba, kok. Tapi ya melalui online," kata Zea di tengah-tengah pembicaraan kami.
"Serius? bagus, dong. Jarak bukan penghalang buat berkreativitas. Aku mau ikut! kalian gimana?" kata Ayu.
"Wah...tumben, Yu. Biasanya kamu gak ikut Iomba-lomba begini. Aku sih ngikut aja, kalian ikut aku juga ikut," jawab Zea
"Tahun ini istimewa soalnya, lombanya gak kayak tahun-tahun sebelumnya. Jadi anggap aja nambah pengalaman baru juga," sahut Ayu.
"Aku ikut, deh. Siapa tau iseng-iseng berhadiah hehehe," kataku.
"Sebenarnya aku ragu-ragu, sih mau ikut tapi takut kalah," kata Zea.
"Loh kenapa gitu, Ze? Kalah menang nya itu urusan belakangan kaya yang Ayu bilang juga sekedar sekalian nambah pengalaman baru. Lagian kalo belum mulai lomba aja udah takut kalah, kapan bisa menang nya?" sahutku.
"Ah iya, bener juga. Kalau gitu, kalian mau ikut lomba yang mana? Ada lomba menyanyikan lagu 17 Agustus, ada menggambar, ada juga buat puisi. Aku rencana nya ikut lomba nyanyi aja" kata Zea.
"Aku ikut menggambar aja, deh. Terus kamu gimana, Yu?" kataku.
"Yang mana ya.. Ikut Iomba buat puisi aja, deh Lagian pasti banyak di internet, aku jadi ga usah repot-repot mikir lagi," sahut Ayu.
"Ayu.. Ayu.. Nggak bisa gitu, dong. Kita ini generasi penerus bangsa, harus belajar untuk jujur meskipun buat hal-hal kecil kaya gini. Emang apa yang di banggain coba kalau menang tapi puisi hasil contekan karya orang lain?" kata Zea.
"Bener, tuh kata Zea. Makanya kita harus paham dengan baik mengartikan kegunaan internet dengan benar. Diusahain aja dulu, Yu. Di dunia ini gak semuanya instan, banyak yang harus diusahakan supaya bisa dicapai," timpalku.
"lya iya, maaf ya hehehe," jawab Ayu.
Ini yang ku sebut istimewa, karena cara kami merayakan kemerdekaan tahun ini berbeda dengan tahun sebelumnya. Bukan hanya lombanya yang dilaksanakan melalui online, tetapi pendaftaran pun juga sama. Waktu yang kami dapatkan dalam mengikuti lomba juga lebih lama, sehingga aku juga tak tergesa-gesa. Sekitar satu minggu ku habiskan untuk menyiapkan diri mengikuti lomba menggambar, begitu pula dengan teman-temanku yang lain.
Hari yang di nanti-nanti telah tiba. Ya.. Hari Kemerdekaan sudah di depan mata. Cahaya matahari berhasil lolos melalui celah-celah jendelaku. Membuatku terbangun dan rasanya dipenuhi semangat yang luar biasa untuk menjalani hari ini. "Berkibarlah Sang Merah Putih," gumamku sambil menatap keluar jendela melihat indahnya pemandangan rumah-rumah warga dipenuhi bendera yang terkibar oleh hembusan angin.
Bergegas diriku menyiapkan diri, mengenakan seragam biru putih yang sudah lama tak ku sentuh. Tak ada upacara bersama di sekolah, kali ini hanya sekedar melalui pertemuan Zoom. Tentunya tak tertinggal menyanyikan lagu kebangsaan kita Indonesia Raya dan pastinya Hari Merdeka.
"Hiduplah tanahku, Hiduplah negeriku, Bangsaku rakyatku semuanya, Bangunlah jiwanya, Bangunlah badannya, Untuk Indonesia Raya."
Itulah salah satu potongan lirik lagu Indonesia Raya yang berhasil membuat ku merinding ketika menyanyikan nya. Terlintas di benakku perasaan sedih namun juga bersyukur, setidaknya kami masih bisa merayakan Hari Kemerdekaan ini bersama-sama di masa pandemi. Bagiku sejarah tetaplah sejarah, tak bisa ubah dan tak boleh dilupakan. Bagaimanapun keadaannya tak akan membuat rasa semangat ku berkurang sebagai orang yang terlahir di tanah air tercinta untuk merayakan hari spesial ini dalam bentuk salah satu caraku untuk mengenang jasa para pejuang-pejuang kemerdekaan.
"Selamat Hari Kemerdekaan, cepat sembuh negeriku yang tercinta.. Indonesia," ucapku dengan segenap harapan untuk Indonesia yang Iebih ke depannya.
(Dikutip dari publikasi Scribd oleh Nayla Cahaya Fadillah.)
Cerpen 5: Lomba 17 Agustus
Karya: Ni Nyoman Trifena Febriana
Pagi hari yang menyenangkan. Matahari mulai menampakkan sinarnya. Sekitar 10 menit aku termangu di depan jendela ku. Aku tidak sadar bahwa hari ini adalah Hari Kemerdekaan. Tiba-tiba ibuku memanggil ku dari dapur untuk segera keluar dari kamar untuk sarapan dan mandi sebelum berangkat sekolah.
"Fena,ayo turun! Mandi, sarapan, pergi sekolah nanti kesiangan! lbu sudah siapkan nasi goreng buat kamu," kata ibuku dari dapur. Setelah sarapan ibuku berkata,"Ibu doakan kamu bisa nak." "Terimakasih doa nya bu," jawabku.
Aku pun segera bergegas untuk berangkat ke sekolah, aku melihat jam dinding sudah menunjukkan pukul 06.30 pagi. Aku diantar ayahku untuk berangkat ke sekolah. Setelah sampai di sekolah ayahku berkata, "Kamu pasti bisa nak." "Iya ayah," jawabku.
Bendera merah putih sudah berkibar di sepanjang jalan sekitar sekolah. Perlengkapan untuk lomba pun sudah dipersiapkan seperti kerupuk,! kelereng, dan lain-lainnya. Bel berbunyi pertanda untuk segera berbaris di lapangan. Sebelum lomba 17 Agustus kita mulai upacara terlebih dahulu. Kita menyanyikan lagu-lagu kemerdekaan Indonesia dengan hikmat.
Setelah itu lomba pun dimulai. Lomba pertama yaitu memasukkan paku ke dalam botol, peserta nya cukup banyak. Setelah itu lomba makan kerupuk. Selanjutnya lomba kelereng. Aku pun segera bersiap-siap mengambil sendok dan kelereng. Aku pun bermain sportif dan tidak mau curang.
Kakakku dan teman-temanku memberi semangat kepadaku. Aku bergumam dalam hati, "Aku pasti bisa." Saat aba-aba dibunyikan, aku berjalan pelan-pelan. Kelereng temanku ada yang jatuh, aku di depan temanku, garis finish hampir sampai dan aku pun menang.
"Selamat ya kamu menang," kata temanku. "Iya semoga nanti kamu juga bisa juara ya," jawabku. Tidak terasa waktu telah menunjukkan pukul 11 siang. Lomba telah usai. Setelah itu, aku mendapatkan hadiah berupa kotak pensil berwarna pink. Hadiah ini aku dapatkan karena memenangkan lomba kelereng juara 1.
Suasana gembira menyelimuti perasaanku. Banyak anak-anak mulai pulang ke rumahnya masing-masing. Keluargaku sangat bangga sekali. Aku yakin kemenanganku adalah suatu pelajaran yang berharga.
(Dikutip dari publikasi Scribd oleh Nyoman Gede Suyasa.)
Cerpen 6: Cerita Nenek tentang Perjuangan Kemerdekaan
Karya: Malik Effendi
"Kai ayo kita pergi sekarang." Aku baru ingat bahwa hari ini kami akan pergi ke rumah nenek di desa, hampir setiap hari libur kami berkunjung ke rumah nenek, aku sangat suka suasana di desa, ada banyak pemandangan yang indah. Ya namaku adalah Kai, aku berumur 10 tahun, dan saat ini aku duduk di bangku sekolah kelas 5, aku sekolah di SDIT Al Furqon, salah satu sekolah yang berprestasi di kotaku. "Kai, Kai, ayo cepat keluar nenek sudah menunggu kita," kata ibu. Aku berlari dari kamarku dan mengambil tas yang telah ku isi dengan banyak mainan dan buku. Kemudian kami berangkat menuju rumah nenek, rumah nenek lumayan jauh dari kota, tapi aku sangat senang setiap aku pergi mengunjungi rumah nenek. Nenek selalu menceritakan banyak hal tentang dunia ini, sehingga aku sangat tertarik jika berada di dekat nenek.
Mobil ayah melaju dengan sangat cepat dan kami pun tiba di rumah nenek di saat matahari tepat di atas kepalaku, nenek terlihat bersinar-sinar wajahnya melihat kedatangan kami, nenek tinggal di rumah sendirian dikarenakan kakek telah meninggal dunia tiga tahun yang lalu. "Ayo masuk nenek sudah memasak makanan kesukaan kalian," ucap nenek sambil menarik tangan ku untuk masuk kedalam rumah. Ibu dan ayah hanya tersenyum melihat nenek yang begitu bahagia melihat kedatangan kami, masakan nenek adalah masakan yang sangat lezat bagiku, aku sangat suka ikan bakar yang dimasak oleh nenek beserta daun singkong tumbuk. Setelah makan aku melihat sekeliling desa dan aku melihat bendera merah putih terpasang dimana-mana bahkan ketika aku melewati Gapura desa nenek, itu sangat indah mereka menghiasi Gapura tersebut dengan tema kemerdekaan, tanggal 17 Agustus akan tiba di mana pada tanggal tersebut negara kita yaitu Indonesia merdeka dari penjajahan. Setelah lelah berkeliling sambil mengayuh sepeda, aku kembali ke rumah nenek.
"Nenek, apakah nenek ingin menceritakanku tentang perjuangan para pahlawan untuk kemerdekaan negara kita?" aku bertanya sambil berlari ke arah nenek yang sedang menjahit sarung bantal. "Baiklah Kai, nenek akan menceritakannya untukmu," jawab nenek. Nenek pun menghentikan aktivitas menjahitnya dan duduk di sebelahku sambil menatap sawah yang begitu hijau.
"Pada saat itu negara kita dijajah oleh orang asing sehingga banyak rakyat Indonesia yang menderita, namun sebagai bangsa yang berani dan tak pernah gentar para pahlawan kita bersatu dan berjuang untuk melawan penjajah yang datang ke bumi pertiwi kita ini, perjuangan para pahlawan sangat hebat, Kai," kata nenek sambil memegang pundakku. "Lalu nek, apakah para pahlawan tersebut selamat melawan penjajah?" tanyaku dengan perasaan yang sangat penasaran. "Kai tentu saja para pahlawan yang berjuang untuk kemerdekaan Indonesia banyak yang gugur di medan perang, mereka meninggalkan keluarganya untuk merebut Indonesia dari penjajah," Aku begitu sedih mendengar cerita para pahlawan yang berjuang untuk kemerdekaan, dan aku sangat bangga terhadap para pahlawan yang sudah berjuang, nenek pun mengajakku masuk ke dalam rumah dikarenakan sebentar lagi adzan magrib berkumandang.
Ketika hampir menjelang subuh kami pun pamit kepada nenek untuk kembali ke kota dikarenakan aku harus masuk sekolah, ucapan nenek tentang kemerdekaan membuatku ingin bercerita dengan teman-teman sekolah di Al Furqon, aku selalu menceritakan sesuatu yang kudengar menarik kepada orang lain, itu membuatku sangat senang karena dapat berbagi cerita dan pengalamanku di desa nenek. Setelah sampai di rumah aku bergegas mandi dan berangkat sekolah. Dan pada jam istirahat aku mencari temanku yaitu Faiz dan Sa'id, terlihat mereka sedang membuka bekal yang mereka bahwa dari rumah, aku pun menghampiri mereka dan mulai menceritakan cerita nenek tentang perjuangan kemerdekaan, dan mereka sangat senang mendengarkan ceritaku, aku pun sangat bahagia ketika menceritakan tentang kemerdekaan negara Indonesia. Tiba-tiba bel berbunyi tanda pelajaran akan berlanjut aku pun meninggalkan bangku temanku dan duduk di tempat semula sambil tersenyum bahagia.
(Dikutip dari publikasi Scribd oleh Nanda Dwi Pratama.)
Cerpen 7: Kenanganku di Hari Kemerdekaan
Karya: Jihan Tri Salsabillah
Masih terngiang di ingatanku meriahnya acara 17 Agustus di kampung ku, 2 tahun yang lalu. Saat itu, semua anak-anak seusiaku serta teman-teman mengajiku merasa senang sekali menyambut hari perayaan kemerdekaan.
Bunda Ana, guru mengajiku, sangat semangat sekali. Beliau mengajak kami untuk memeriahkan hari kemerdekaan dengan mengadakan beberapa perlombaan.
Temanku Bella bertanya, "Bunda, 17 Agustus nanti lomba apa saja yang akan kita laksanakan?" Bunda Ana menjawab, "Anak-anak Bunda, untuk memeriahkan perayaan HUT Kemerdekaan Indonesia di tahun ini kita akan mengadakan beberapa perlombaan, diantaranya; lomba lari kelereng, lomba memasukkan benang ke dalam jarum, lomba memasukkan paku ke dalam botol, Iomba membawa balon berpasangan, dan lomba estafet air. Bunda mengharapkan anak-anak bisa mengikuti semua perlombaan yang akan kita laksakan nanti ya. Setuju?". "Setuju, bunda!" teriak kami dengan semangat.
Tanpa terasa hari kemerdekan telah tiba, Kami segera mempersiapkan beberapa peralatan, seperti kelereng, sendok, gelas plastik, balon, benang, paku, dan botol. Kami mulai melaksanakan perlombaan sejak pagi hingga sore. Diawali dengan lomba memasukkan benang ke dalam jarum dan diakhiri dengan estafet air. Perlombaan berjalan dengan lancar, seru, lelah tapi menyenangkan.
Banyak pelajaran yang kami peroleh dari lomba ini. Selain rasa kebersamaan dan kepedulian. Kami juga belajar tentang ketelitian, kesabaran, kerjasama, kekompakkan, keadilan, dan rasa tanggung jawab. "Bunda.. bunda.. Besok kita lomba lagi ya?" tanya Fysi sambil tersenyum. "Besok kita kan sudah sekolah dan mengaji seperti biasa nak.. Insya Allah kita lomba lagi tahun depan ya.." kata Bunda.
Di akhir perlombaan, Bunda Ana berkata, "Bunda ucapkan terima kasih kepada anak-anak yang telah mengikuti lomba hari ini. Senang rasanya bisa berkumpul bersama dan ikut merayakan hari Kemerdekaan kita. Semoga kegiatan ini dapat menambah rasa syukur kita terhadap nikmat yang diberikan oleh Allah SWT. Bunda berharap anak-anak rajin belajar, berperilaku yang baik, dan berakhlak mulia agar dapat menjadi kaum milenial yang mampu menghadapi perubahan zaman."
Sekarang, tahun 2021, keadaannya telah berubah, kami tidak bisa mengulang perayaan seperti 2 tahun yang lalu. Sedih rasanya, bosan di rumah saja. Kita tidak bisa melakukan kegiatan sebagaimana biasa. Banyak peraturan yang mewajibkan kita di rumah dan pembatasan kegiatan di luar. Di era pandemi Covid-19 ini hanya bisa memberikan ucapan Selamat Ulang Tahun ke-76 Republik Indonesia, tanah airku, tanpa perayaan dan berkumpul bersama teman-teman. Walaupun kegiatan hanya dirumah termasuk proses belajar mengajar sekolah menggunakan virtual atau online.
Sekolahku SDIT Al Furqon tetap merayakan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan dengan mengadakan berbagai perlombaan seperti lomba Tahfiz Al-Qur'an, lomba Sains, lomba mendongeng, lomba menulis cerpen, dan lomba foto tema kemerdekaan. Aku merasa senang sekali dan semangat mengikuti setiap lomba. "Selamat Hari Ulang Tahun ke-76 Republik Indonesia, Semoga Indonesia semakin Kuat dan Berjaya." Merdeka!
(Dikutip dari publikasi Scribd oleh Nanda Dwi Pratama.)
Nah, itu tadi sederet cerpen tema kemerdekaan Indonesia 17 Agustus yang bisa dijadikan referensi.
(azn/row)