10 Puisi Kemerdekaan 17 Agustus, Ada Karya Chairil Anwar hingga WS Rendra

ADVERTISEMENT

10 Puisi Kemerdekaan 17 Agustus, Ada Karya Chairil Anwar hingga WS Rendra

Novia Aisyah - detikEdu
Minggu, 04 Agu 2024 09:00 WIB
Ilustrasi karya sastra, ilustrasi puisi, ilustrasi cerpen. (Freepik)
Foto: Ilustrasi karya sastra, ilustrasi puisi, ilustrasi cerpen. (Freepik)
Jakarta -

Momen-momen peringatan 17 Agustus menjadi saat yang penuh kemeriahan dalam merayakan hari ulang tahun Republik Indonesia. Salah satu kegiatan yang biasa dilakukan untuk memeriahkannya adalah dengan lomba membaca puisi di sekolah.

Ada banyak puisi karya maestro Indonesia yang mengangkat tema perjuangan dan kemerdekaan Indonesia. Nah, detikers yang akan ikut lomba baca puisi atau akan membacakan puisi di perayaan hari ulang tahun ke-79 Republik Indonesia, detikEdu memiliki beberapa rekomendasi puisi untuk kalian!

Puisi Kemerdekaan 17 Agustus

1. Hari Kemerdekaan

Karya Sapardi Djoko Damono

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Akhirnya tak terlawan olehku
Tumpah di mataku, di mata sahabat-sahabatku

Ke hati kita semua
Bendera-bendera dan bendera-bendera

ADVERTISEMENT

Bendera kebangsaanku
Aku menyerah kepada kebanggan lembut
Tergenggam satu hal dan kukenal

Tanah di mana ku berpijak berderak
Awan bertebaran saling memburu

Angin meniupkan kehangatan bertanah air
Semat getir yang menikam berkali

Makin samar
Mencapai puncak ke pecahnya bunga api
Pecahnya kehidupan kegirangan

Menjelang subuh aku sendiri
Jauh dari tumpahan keriangan di lembah

Memandangi tepian laut
Tetapi aku menggenggam yang lebih berharga

Dalam kelam kulihat wajah kebangsaanku
Makin bercahaya makin bercahaya
Dan fajar mulai kemerahan

2. Gugur

Karya W S Rendra

Ia merangkak di atas bumi yang dicintainya
Tiada kuasa lagi menegak
Telah ia lepaskan dengan gemilang pelor terakhir dari bedilnya
Ke dada musuh yang merebut kotanya

Ia merangkak di atas bumi yang dicintainya
Ia sudah tua luka-luka di badannya
Bagai harimau tua susah payah maut menjeratnya
Matanya bagai saga menatap musuh pergi dari kotanya
Sesudah pertempuran yang gemilang itu lima pemuda mengangkatnya di antaranya anaknya
Ia menolak dan tetap merangkak menuju kota kesayangannya

Ia merangkak di atas bumi yang dicintainya
Belum lagi selusin tindak maut pun menghadangnya
Ketika anaknya memegang tangannya, ia berkata:
Yang berasal dari tanah
kembali rebah pada tanah.

Dan aku pun berasal dari tanah tanah Ambarawa yang kucinta
Kita bukanlah anak jadah Kerna kita punya bumi kecintaan.
Bumi yang menyusui kita dengan mata airnya.
Bumi kita adalah tempat pautan yang sah.
Bumi kita adalah kehormatan.
Bumi kita adalah juwa dari jiwa.
Ia adalah bumi nenek moyang.
Ia adalah bumi waris yang sekarang.
Ia adalah bumi waris yang akan datang.

Hari pun berangkat malam
Bumi berpeluh dan terbakar
Kerna api menyala di kota Ambarawa
Orang tua itu kembali berkata:
Lihatlah, hari telah fajar!
Wahai bumi yang indah,
kita akan berpelukan buat selama-lamanya!

Nanti sekali waktu seorang cucuku akan menancapkan bajak di bumi tempatku berkubur kemudian akan ditanamnya benih dan tumbuh dengan subur
Maka ia pun berkata:
"Alangkah gemburnya tanah di sini!"
Hari pun lengkap malam
ketika menutup matanya"

3. Kita Adalah Pemilik Sah Negeri Ini

Karya Taufik Ismail

Tidak ada pilihan lain
Kita harus berjalan terus
Karena berhenti atau mundur
Berarti hancur

Apakah akan kita jual keyakinan kita
Dalam pengabdian tanpa harga
Akan maukah kita duduk satu meja
Dengan para pembunuh tahun yang lalu
Dalam setiap kalimat yang berakhiran
"Duli Tuanku ?"

Tidak ada lagi pilihan lain
Kita harus berjalan terus

Kita adalah manusia bermata sayu, yang di tepi jalan
Mengacungkan tangan untuk oplet dan bus yang penuh
Kita adalah berpuluh juta yang bertahun hidup sengsara
Dipukul banjir, gunung api, kutuk dan hama
Dan bertanya-tanya, inikah yang namanya merdeka

Kita yang tidak punya kepentingan dengan seribu slogan
Dan seribu pengeras suara yang hampa suara
Tidak ada lagi pilihan lain
Kita harus berjalan terus

4. Menatap Merah Putih

Karya Sapardi Djoko Darmono

Menatap merah putih
Melambai dan menari-nari di angkasa
Kibarannya telah banyak menelan korban nyawa dan harta benda

Berkibarnya merah putih
Yang menjulang tinggi di angkasa
Selalu teriring senandung lagu Indonesia Raya
Dan tetesan air mata

Dulu, ketika masa perjuangan pergerakan kemerdekaan
Untuk mengibarkan merah putih harus diawali dengan pertumpahan darah
Pejuang yang tak pernah merasa lelah untuk berteriak : Merdeka!

Menatap merah putih
Adalah perlawanan melawan angkara murka
Membinasakan penindas dari negeri tercinta Indonesia

Menatap merah putih
Adalah bergolaknya darah demi membela kebenaran dan azasi manusia
Menumpas segala penjajahan di atas bumi pertiwi

Menatap merah putih
Adalah kebebasan yang musti dijaga dan dibela
Kibarannya di angkasa raya
Berkibarlah terus merah putihku dalam kemenangan dan kedamaian

5. Diponegoro

Karya Chairil Anwar

Di masa pembangunan ini
tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api

Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri

Berselempang semangat yang tak bisa mati.

MAJU

Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu.
Sekali berarti
Sudah itu mati.

MAJU
Bagimu Negeri
Menyediakan api.
Punah di atas menghamba

Binasa di atas ditindas
Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai

Maju
Serbu
Serang
Terjang

6. Karawang-Bekasi

Karya Chairil Anwar

Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi
Tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi

Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami
Terbayang kami maju dan berdegap hati?

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu
Kenang, kenanglah kami

Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa

Kami sudah beri kami punya jiwa
Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu jiwa

Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan, kemenangan dan harapan

Atau tidak untuk apa-apa
Kami tidak tahu, kami tidak bisa lagi berkata
Kaulah sekarang yang berkata

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kenang-kenanglah kami
Menjaga Bung Karno
Menjaga Bung Hatta
Menjaga Bung Syahrir
Kami sekarang mayat

Berilah kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian

Kenang-kenanglah kami
Yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi

7. Sebuah Jaket Berlumur Darah

Karya Taufiq Ismail

Sebuah jaket berlumur darah
Kami semua telah menatapmu
Telah pergi duka yang agung
Dalam kepedihan bertahun-tahun.

Sebuah sungai membatasi kita
Di bawah terik matahari Jakarta
Antara kebebasan dan penindasan
Berlapis senjata dan sangkur baja

Akan mundurkah kita sekarang
Seraya mengucapkan 'Selamat tinggal perjuangan'
Berikrar setia kepada tirani
Dan mengenakan baju kebesaran sang pelayan?

8. Atas Kemerdekaan

Karya: Sapardi Djoko Damono

Kita berkata: jadilah
dan kemerdekaan pun jadilah bagai laut

di atasnya: langit dan badai tak henti-henti
di tepinya cakrawala

Terjerat juga akhirnya
kita, kemudian adalah sibuk

mengusut rahasia angka-angka
sebelum Hari yang ketujuh tiba

Sebelum kita ciptakan pula Firdaus
dari segenap mimpi kita

sementara seekor ular melilit pohon itu:
inilah kemerdekaan itu, nikmatkanlah.

9. Sajak Sebotol Bir

Karya W.S Rendra

Menengak bir sebotol,
menatap dunia,
dan melihat orang-orang kelaparan.
Membakar dupa,
mencium bumi,
dan mendengar derap huru-hara.

Kota metropolitan di sini tidak tumbuh dari industri,
Tapi tumbuh dari kebutuhan negara industri asing
akan pasaran dan sumber pengadaan bahan alam
Kota metropolitan di sini,
adalah sarana penumpukan bagi Eropa,
Jepang, Cina, Amerika,
Australia, dan negara industri lainnya.

untuk menjadi orang lain.
Kita telah menjadi asing
di tanah leluhur sendiri.
Orang-orang desa blingsatan, mengejar mimpi,
dan menghamba ke Jakarta.
Orang-orang Jakarta blingsatan, mengejar mimpi
dan menghamba kepada Jepang,
Eropa, atau Amerika.

10. Persetujuan dengan Bung Karno

Karya Chairil Anwar

Ayo Bung Karno kasih tangan,
Mari kita bikin janji
Aku sudah cukup lama dengan bicaramu,
dipanggang di atas apimu, digarami oleh lautmu

Dari mulai tanggal 17 Agustus 1945
Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu
Aku sekarang api aku sekarang laut

Bung Karno, Kau dan aku satu zat satu urat
Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar
Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak dan berlabuh.

Itulah beberapa contoh puisi kemerdekaan 17 Agustus. Detikers ingin membacakan puisi yang mana?




(nah/pal)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads