"Pengen ngumpulin orang-orang yang dulu mati-matian masuk sekolah NEGRI, tapi sekarang malah mati-matian kerja, cari uang supaya anaknya bisa sekolah SWASTA. Dan sering pula ngancam anaknya, "Ayo, belajar yang rajin, kalo males-malesan Mamah sekolahin negri loh!!"
Kalimat di atas adalah postingan kawan penulis di laman Facebooknya pada akhir Juni 2024 kemarin. Dulunya dia sekolah dari SD sampai kuliah di sekolah negeri di Solo, Jawa Tengah. Setelah lulus dari sebuah jurusan favorit di perguruan tinggi ternama di Jawa, dia bekerja di sebuah bank swasta besar. Dia memiliki dua anak, putra dan putri yang keduanya kini menempuh pendidikan di sekolah swasta. Tentu dengan biaya yang tidak murah.
Di lain kota pada bulan yang sama, sejumlah kawan penulis berjuang agar anaknya diterima di sekolah negeri favorit. Beragam pengalaman mereka, ada yang unik dan menarik. Terutama terkait dengan diterapkannya sistem zonasi dalam penerimaan peserta didik baru atau PPDB.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dadang, sebut saja begitu namanya. Dia adalah kawan penulis yang tinggal di salah satu kota di Provinsi Banten. Tahun ini anak sulungnya mendaftar ke salah satu SMA favorit tak jauh dari rumahnya, sekira 3 sampai 5 kilometer.
Secara teori, peluang anak Dadang diterima di sekolah itu cukup besar. Sebab, jarak rumahnya dengan SMA favorit tersebut berada dalam satu zonasi. Namun, apakah secara otomatis anak Dadang bisa diterima di SMA favorit idaman keluarga?
Ternyata tak segampang itu. Dari pantauan melalui sistem PPDB Online selama proses pendaftaran, Dadang menemui aneka rupa kejanggalan. Tiba-tiba, banyak calon siswa pendaftar yang jarak antara rumah dengan sekolahnya hanya ratusan meter. Tak hanya satu atau dua siswa, jumlahnya bisa mencapai puluhan.
Keanehan selanjutnya, setelah dilakukan survei atau pengamatan langsung, dalam radius 1 kilometer di sekeliling sekolah rupanya tak banyak permukiman penduduk. "Yang ada gedung perkantoran dan warung-warung. Dan kalau pun ada anak mereka yang mendaftar sekolah, apa iya jumlahnya sampai puluhan?," gerutu Dadang suatu ketika.
Pada akhirnya anak sulung Dadang tak diterima di sekolah negeri impian yang satu zonasi dengan rumahnya. Meski menemukan sejumlah kejanggalan dalam PPDB online dengan sistem zonasi ini dia memilih untuk tak melakukan protes keras. Toh sejak diterapkan sistem zonasi, kasus dugaan manipulasi jarak rumah dengan sekolahan atau pindah kartu keluarga selalu terjadi dan seperti dibiarkan saja. Rupa-rupa protes pun seperti tak pernah ditanggapi.
Salah satu kawan penulis yang tinggal di Depok, Jawa Barat, Fitri juga mengalami hal serupa. Anaknya gagal diterima di sekolah negeri karena sistem zonasi. Tak mau ambil pusing, karyawan di Jakarta Selatan ini memilih menyekolahkan putra sulungnya di salah satu SMA swasta unggulan di Jakarta Selatan.
Sepekan setelah pengumuman PPDB 2024, Pemerintah Provinsi Jawa Barat melalui Dinas Pendidikan membatalkan penerimaan 31 calon peserta didik karena terbukti melanggar aturan domisili. Awalnya, ke-31 calon siswa itu diterima di sejumlah SMA negeri di Jawa Barat. Namun dalam proses verifikasi setelah pengumuman penerima, mereka diketahui terbukti memanipulasikan domisili.
Mengapa pelanggaran itu baru diketahui setelah pengumuman penerimaan siswa baru? Bukankah verifikasi bisa dilakukan saat proses seleksi sebelum pengumuman penerimaan sehingga tidak merampas hak calon siswa yang mestinya diterima?
Wallahu a'lam bishawab.
Sistem Zonasi
Penulis mencoba melihat kembali kilas balik penerapan sistem zonasi dalam penerimaan peserta didik baru yang mulai digulirkan sejak tahun 2017 atau 7 tahun yang lalu. Para pengambil kebijakan ketika itu menerapkan sistem zonasi dengan harapan agar proses penerimaan calon siswa baru bisa lebih transparan dan terjadi pemerataan sesuai domisili siswa.
Dalam sistem zonasi, jarak antara tempat tinggal atau domisili siswa dengan sekolah menjadi salah satu faktor penentu diterima atau tidak. Calon siswa yang bertempat tinggal dekat dengan sekolah memiliki peluang lebih besar diterima.
Melalui sistem ini, pemerintah berusaha menghadirkan pemerataan akses pada layanan serta pemerataan kualitas pendidikan nasional. Setelah sistem zonasi diterapkan, semua sekolah negeri diharapkan bisa memberikan layanan pendidikan yang bermutu dan berkualitas. Dengan begitu, tak ada lagi dikotomi sekolah favorit dan sekolah tidak favorit. Sebab, semua sekolah negeri akan memiliki kualitas setara dan fasilitas yang juga sama.
Tujuh tahun setelah diterapkannya sistem zonasi dalam penerimaan siswa baru, tujuan dan cita-cita agar terjadi pemerataan SDM dan kualitas sekolah juga pendidikan sepertinya belum terwujud. Hampir setiap tahun, masih sering terjadi orang tua siswa berebut memasukkan anaknya ke sekolah negeri favorit. Aneka cara dilakukan untuk menyiasati sistem zonasi. Salah satunya dengan mengakali lokasi domisili.
Bagi orang tua calon siswa yang mampu secara ekonomi, sekolah swasta menjadi pilihan ketimbang memasukkan anaknya ke sekolah negeri dekat rumah. Namun, kualitasnya bukan yang terbaik. Akibatnya, beberapa sekolah negeri terpaksa kekurangan siswa. Tak hanya tingkat SD, bahkan SMA dan SMK Negeri pun ada yang kekurangan siswa.
Memang, belum ada bukti ilmiah atau hasil penelitian yang membuktikan adanya hubungan antara sistem zonasi dengan kekurangan jumlah siswa di beberapa sekolah negeri. Pun belum ada juga riset yang membuktikan bahwa penerapan sistem zonasi dalam penerimaan siswa baru berkorelasi positif dengan pemerataan kualitas pendidikan di Indonesia.
Namun kiranya sederet kecurangan dalam tujuh tahun penerapan sistem zonasi bisa dijadikan evaluasi. Sudah saatnya sistem penerapan siswa baru dibenahi. Sistem zonasi bisa diterapkan ketika semua sekolah di negeri ini memiliki kualitas dan fasilitas yang sama sehingga tak ada lagi emak-emak protes anaknya gagal diterima sekolah negeri karena ada akal-akalan domisili.
Jika masih ada gedung sekolah rusak bahkan nyaris roboh, atau sekolah yang kekurangan guru, sementara di sisi lain guru honorer diberhentikan secara sepihak, jangan salahkan jika masih ada yang bertanya, "Mau dibawa ke mana dunia pendidikan kita?"
Erwin Dariyanto
Penulis adalah Redaktur Pelaksana detikEdu
Pemerhati Kebijakan Publik Alumnus Magister Perencanaan Ekonomi dan Kebijakan Pembangunan (MPKP) Universitas Indonesia
Artikel ini adalah pendapat pribadi penulis, tidak mewakili institusi di mana penulis bekerja. Seluruh isi artikel menjadi tanggungjawab penulis penulis. (Terimakasih - Red)
(erd/erd)