Pemeran Harry Potter Alami Dyspraxia, Apa Itu?

ADVERTISEMENT

Pemeran Harry Potter Alami Dyspraxia, Apa Itu?

Trisna Wulandari - detikEdu
Jumat, 14 Jun 2024 10:00 WIB
Daniel Radcliffe saat tampil di Harry Potter and the Chamber of Secret (2002).
Daniel Radcliffe di Harry Potter and the Chamber of Secrets. Foto: Dok. Warner Bros
Jakarta -

Pernahkah kamu mengalami kesulitan mengikat tali sepatu? Bagi pemeran Harry Potter, Daniel Radcliffe, itu satu dari berbagai kesulitannya sehari-hari sebagai orang dengan dyspraxia.

Dyspraxia adalah gangguan pergerakan atau koordinasi gerak yang memengaruhi proses belajar, seperti apa yang harus dilakukan dan bagaimana cara melakukannya. Radcliffe menuturkan, developmental coordination disorder (DCD) ini mengganggu keterampilan motorik, termasuk menulis di sekolah.

"Saya mengalami kesulitan di sekolah, banyak tidak bisa dalam berbagai hal," ucapnya, dikutip dari ABC News.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Radcliffe pun menyiasati dyspraxia dengan mengenakan sepatu tanpa tali seperti sepatu kancing rekat (velcro). Sayangnya, sepatu velcro menurutnya tidak tampak keren di dunia fashion.

"Duh, kenapa velcro tidak jadi tren?" ujarnya berkelakar.

ADVERTISEMENT

Jawatan Kesehatan Nasional UK (NHS) menjelaskan dyspraxia atau DCS menyasar saraf dan bagian otak yang mengatur proses koordinasi gerak. Hambatan dalam proses tersebut dapat menyulitkan seseorang bergerak atau mengoordinasikan geraknya.

Kesulitan Matematika hingga Olahraga

Sementara Radcliffe mengalami kesulitan menulis dan mengikat, dyspraxia rupanya bisa muncul dalam berbagai rupa. Pada proses belajar, berpikir, dan mengingat, orang dengan dyspraxia dapat kesulitan membuat perencanaan, berkonsentrasi, dan mengelola pikiran, seperti dijelaskan dalam Dyspraxia Fact Sheet University of Oxford.

Orang dengan dyspraxia juga dapat kesulitan mengingat, memahami matematika, membaca, mengeja, sampai mengikuti instruksi. Mereka juga berisiko sulit melakukan kegiatan dan olahraga yang butuh koordinasi mata dengan tangan, kecepatan, berat, jarak, dan waktu.

Di bidang bahasa dan berbicara, orang dengan dyspraxia juga dapat kesulitan mengutarakan isi pembicaraan dengan jelas dan berkesinambungan. Mereka juga bisa mengalami kesulitan menyimak dengan baik, memahami nada bicara seseorang, atau memahami kode-kode lawan bicaranya.

Kesulitan tersebut membuat orang dengan dyspraxia menangkap makna pembicaraan secara literal atau harfiah ketimbang memahami sarkasme atau kode di dalamnya. Mereka juga jadi berisiko lebih lambat beradaptasi dengan situasi baru atau situasi yang tidak terprediksi.

Sampai saat ini, belum diketahui penyebab pasti gangguan perkembangan pada orang dengan dyspraxia. Sejumlah faktor risiko yang diketahui antara lain lahir prematur sebelum 37 minggu kehamilan, berat lahir rendah, memiliki garis keturunan dyspraxia, dan ibu minum alkohol atau narkoba saat hamil sang anak.

NHS menekankan dyspraxia tidak memengaruhi kecerdasan seorang anak. Namun, ia butuh waktu dan bantuan tertentu untuk belajar dengan lancar, termasuk di sekolah. Di Oxford, contohnya, terdapat layanan fasilitasi bagi orang dengan dyspraxia agar lancar berkegiatan selama kuliah.

Orang dengan dyspraxia juga bisa menjalani terapi untuk mengatasi kondisinya. Contohnya, kegiatan yang dianggap sulit dipecah-pecah jadi langkah-langkah kecil, lalu sang anak dilatih mengerjakannya setiap hari.

Bagi yang kesulitan menulis atau menggenggam, karet pada bagian pena atau karet tambahan pada pensil bisa dipakai untuk bantu posisi jari lebih kokoh. Cara-cara ini bisa dilakukan secara variatif, sesuai kondisi tiap orang dengan dyspraxia.




(twu/faz)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads