Sebutan tiga serangkai ditujukan pada dr. Cipto Mangunkusumo, dr. Douwes Dekker, dan Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Ketiganya berperan besar dalam membangun nasionalisme dan patriotisme Indonesia.
Peran tersebut dilakukan melalui Indische Partij yang didirikan pada 25 Desember 1912. Sebelum mendirikan organisasi tersebut, anggota tiga serangkai dikenal memiliki karakter kuat dan tidak setuju pada penjajahan.
Profil Tiga Serangkai
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
1. E.F.E Douwes Dekker
- Lahir: Pasuruan, 8 Oktober 1879.
- Meninggal: Lembang, 28 Agustus 1950.
- Makam: TMP Cikutra, Bandung.
Dikutip dari situs Ensiklopedia Sejarah Indonesia (ESI) Kemdikbud, Ernest Francois Eugene (E.F.E) Douwes Dekker yang kerap disapa Ernest adalah seorang keturunan Indo-Eropa. Dia adalah adik Eduard Douwes Dekker atau Multatuli penulis Max Havelaar.
Selama hidupnya, Ernest sempat mengalami diskriminasi dan menunjukkan ketidaksukaannya pada sikap tersebut. Ernest yang bersekolah di HBS Gymnasium Koning Willem III sempat merasakan rasisme karena darah campurannya.
Ketika bekerja perkebunan kopi Soember Doeren, Malang dan pabrik gula Pajarakan, Probolinggo, Ernest menyaksikan tindakan sewenang-wenang penjajah pada pribumi. Ernest yang menentang sikap tersebut, terlibat konflik dengan atasannya hingga kehilangan pekerjaan.
Sikap tersebut terus dipertahankan Ernest hingga bertemu dengan dua anggota tiga serangkai lainnya. Di usia senja, Ernest memperoleh nama Danudirja Setiabudi dari presiden pertama RI Ir Soekarno. Hingga akhir hidupnya, Ernest konsisten membela Indonesia.
2. dr Tjipto Mangoenkoesoemo
- Lahir: Pecangakan, 4 Maret 1886.
- Meninggal: Jakarta, 8 Maret 1943.
- Makam: TMP Kupang, Ambarawa.
Tjipto terlahir di keluarga berada dengan sang ibu, RA Suratmi, berasal dari keluarga tuan tanah. Sementara ayahnya, Mangunkusumo, adalah pejabat pemerintahan di Jepara. Keluarga Tjipto tidak masuk dalam birokrasi, meski terkemuka.
Sejak kecil, Tjipto sudah dikenal pintar hingga berhasil masuk sekolah kedokteran STOVIA di Batavia. Dia bahkan dijuluki een begaafd leerling atau murid yang berbakat, selain rajin dan berpikiran tajam.
Tjipto juga dikenal sebagai pribadi yang peka pada ketimpangan sosial antara golongan bangsawan, dan rakyat biasa. Dia tak segan berselisih dengan pemimpin daerah setempat, jika dirasa kurang menghargai bawahan atau bertindak sewenang-wenang.
Selain aktif di bidang politik, Tjipto ikut serta dalam pemberantasan wabah pes di Kepanjen, Malang. Dia menerima bintang Orde van Oranje-Nassau (kepahlawanan Belanda) dengan jasa tersebut. Nama Tjipto diabadikan menjadi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) salah satu fasilitas kesehatan terbesar di Indonesia.
3. Ki Hadjar Dewantara
- Lahir: Kadipaten Paku Alam, Yogya, 2 Mei 1889.
- Meninggal: Yogya, 26 April 1959.
- Makam: Taman Wijaya Brata, Celeban, Yogyakarta.
Terlahir dengan nama Raden Mas Suwardi Suryaningrat, Ki Hadjar Dewantara adalah bangsawan dari Yogyakarta. Dia berasal dari keluarga Paku Alam dengan ayah merupakan keturunan Sultan Hamengkubuwono II.
Suwardi bersekolah di Europeesche Lagere School (ELS), lalu sekolah guru Kweekschool di Yogyakarta. Suwardi sempat meneruskan ke sekolah kedokteran Batavia, namun keluar karena masalah kesehatan.
Kendati begitu, STOVIA memberikan banyak pengalaman bagi Suwardi. Dia bergaul dengan banyak orang dari beragam latar belakang, sehingga bisa memperluas wawasan. Dia juga mengerti pentingnya kesadaran nasional, untuk memperjuangkan nasib melawan penjajah.
Suwardi lalu bertemu dua tiga serangkai lainnya hingga mendirikan Indische Partij. Dia sempat menerbitkan tulisan berjudul Als ik een Nederlander was atau Seandainya Aku Seorang Belanda, yang berupa sindiran tajam atas ketidakadilan di daerah jajahan.
Tahun 1913, Suwardi dibuang ke Timor, NTT, yang digunakannya untuk belajar seputar pendidikan. Dia lalu merumuskan asas pendidikan nasional dan mendirikan perguruan Taman Siswa. Perguruan ini terus bertahan hingga sekarang.
Peran dan semangan Suwardi dalam dunia sekolah, membuatnya menjadi menteri pendidikan pertama RI. Suwardi membuat semboyan pendidikan Tut Wuri Handayani yang masih dikenal hingga sekarang.
Secara umum, tiga serangkai terdiri dari masyarakat kelas menengah ke atas yang peduli bangsanya. Mereka bersama-sama membangun kesadaran berbangsa, hingga Indonesia akhirnya bebas dari penjajahan.
(row/row)