Pulau Hashima, Jepang dikenal sebagai area tambang batu bara hingga 1974. Pulau ini salah satu dari 23 area industri era Meiji di Jepang.
Pada 2015, Pulau Hashima sebagai bagian Situs Revolusi Industri Meiji diberi status sebagai Situs Warisan Dunia Organisasi Pendidikan, Ilmiah, dan Budaya PBB (UNESCO). Syaratnya, Pemerintah Jepang harus sepakat untuk mengakui adanya kerja paksa dari Korea, China, dan tempat lain di area tambang tersebut selama Perang Dunia II, sebagaimana kritik yang diajukan Korea Selatan.
Tambang Bawah Laut
![]() |
Tambang batu bara Hashima berada di pulau kecil di lepas pantai Kota Nagasaki. Keberadaan batu bara semula ditemukan di sana pada 1810, dikutip dari Encyclopaedia Britannica.
Pulau berjulukan Pulau Kapal Perang (Battleship Island/Gunkanjima) tersebut dibeli dan dikembangkan oleh perusahaan tambang Mitsubishi Mining Company pada 1890. Saat bisnis berkembang, penduduk Pulau Hashima mencapai sekitar 5.200 jiwa pada akhir 1950-an. Namun seiring pergantian penggunaan batu bara ke bahan bakar minyak, tambang Hashima ditutup dan listrik diputus.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Area industri Meiji ini dianggap menggambarkan cara pemerintah feodal Jepang mentransfer teknologi dan industrialisasi dari Eropa Barat dan Amerika ke non-Barat sejak abad ke-19 usai kelima samurainya kembali dari belajar di luar negeri. Di area tersebut, mereka memproduksi baja dan besi, menambang batu bara, hingga mengembangkan teknologi pembuatan kapal industri untuk kebutuhan domestik dan tradisi sosial tertentu, dikutip dari situs Konvensi Warisan Dunia UNESCO.
Pada 2009, Pulau Hashima kembali dibuka untuk pengunjung. Wisatawan bisa menjangkaunya via laut, dengan memerhatikan ombak dan cuaca yang kerap tidak bersahabat.
Kritik Pengungkapan Kerja Paksa
Sebelum penunjukan Hashima sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO, Pemerintah Jepang berjanji untuk secara terbuka menjabarkan bahwa para pekerja di sana dulunya dibawa dari Semenanjung Korea, dikutip dari Asahi.
Namun pada laporan Juli 2021, para ahli menyatakan Pemerintah Jepang tidak menunjukkan cukup informasi di situs tersebut yang memungkinkan pengunjung memahami apa saja aspek-aspek negatif tentang situs tersebut. Pemerintah Jepang juga dinilai tidak cukup menjelaskan para korban dari area pertambangan itu.
Laporan Pusat Warisan Dunia menyatakan bahwa display informasi-informasi di situs Tambang Batubara Hashima memberikan kesan bahwa para pekerja tidak dibawa secara paksa ke sana. Tidak ada juga informasi yang menjelaskan apa saja yang dialami korban selama tinggal di Hashima.
Komite Warisan Dunia mengeluarkan resolusi yang antara lain meminta Pemerintah Jepang untuk mempertimbangkan langkah-langkah apa yang direncanakan untuk menjaga memori tentang para pekerja di tambang batu bara tersebut. Salah satunya dengan membentuk pusat informasi baru khusus penjelasan tentang yang dialami korban dan menyatakan banyak pekerja dibawa secara paksa ke tambang batu bara dari Semenanjung Korea dan dipaksa bekerja dalam kondisi keras.
Kepala Sekretaris Kabinet Katsunobu Kato menyatakan pihaknya menerima dengan sangat serius resolusi dan rekomendasi yang dikeluarkan oleh Komite Warisan Dunia dan telah menerapkan dengan tulus langkah-langkah yang dijanjikan. Pernyataan tersebut disampaikan pada konferensi pers tanggal 21 Juli 2021 lalu.
(twu/nwk)