Kampanye Pemilu 2024 meninggalkan alat kampanye di sudut-sudut jalan. Namun baliho, spanduk, poster calon presiden maupun legislatif tersebut tidak terorganisir dengan baik dan menambah masalah sampah visual.
Pusat Studi Lingkungan Hidup (PSLH) menyoroti produksi sampah visual yang meningkat dalam beberapa bulan terakhir karena kampanye Pemilu 2024. Dosen Fakultas Teknik UGM, Prof. Ir. Bakti Setiawan, mengatakan jika isu sampah visual sebetulnya bukan hal yang baru.
"Saya kira isu sampah visual itu bukan barang baru dan tidak hanya terjadi di tahun politik. Jadi itu isu lama yang belum terpecahkan termasuk khususnya di Kota Yogyakarta ini termasuk contoh yang paling tidak bagus mengenai sampah visual. Tapi di satu sisi bahwa di tahun politik ya wajar kita pasang baliho, karena itu pesta demokrasi. Sampai kapanpun kita akan terus belajar dan berdemokrasi," ujarnya dalam laman UGM, Jumat (19/1/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, saat ini publik atau partai politik mulai mempertanyakan efektivitas pemasangan baliho dan poster di jalanan. Langkah ini mengindikasikan jika demokrasi tetap mengalami evaluasi dan transisi ke cara yang lebih ramah lingkungan.
Butuh Evaluasi Tata Kota
Keberadaan sampah visual tersebut seringkali mengganggu keindahan dari sebuah kota. Menurutnya, evaluasi seputar tata perkotaan perlu dikaji lebih mendalam. Tak hanya tentang letak bangunan yang bersifat permanen, namun juga letak iklan-iklan yang strategis.
"Seharusnya memang diperlukan evaluasi untuk mendapatkan standar dari keindahan kota. Kalau kita menilai keindahan itu kan seringkali subjektif. Selama ini juga evaluasi itu dilakukan sendiri oleh seniman atau pembuat advertising tersebut, padahal akhirnya kan yang mengevaluasi juga masyarakat," ujarnya.
Atribut Kampanye Bisa Lebih Menarik
Iklan visual memiliki unsur seni dan pesan yang penting untuk disampaikan pada audiens. Seni dalam atribut kampanye di sepanjang kota menarik untuk ditelisik lebih dalam.
Menurut Bakti, partai politik dengan ideologi, visi misi, dan tujuannya, bisa dikemas dalam seni visual yang lebih apik dan enak dipandang. Hal ini agar masyarakat tidak hanya tertarik untuk melihat atribut kampanye, namun juga membentuk image dan branding untuk partai politik itu sendiri.
Lebih lanjut, Bakti meyakini setiap individu memiliki hak atas keindahan dan kenyamanan kotanya. Keberadaan sampah visual bukan hal baru, namun jangan sampai dinormalisasi.
"Setiap orang memiliki hak atas kota yang lebih cantik, termasuk dari sisi sampah visual. Jadi karena ini juga mulai diperhatikan, saya kira gerakan ini perlu diteruskan untuk menjaga kota kita," pungkasnya.
(nir/nwy)