Ada Daratan Tenggelam di Australia yang Dulu Bisa untuk Migrasi dari Indonesia

ADVERTISEMENT

Ada Daratan Tenggelam di Australia yang Dulu Bisa untuk Migrasi dari Indonesia

Novia Aisyah - detikEdu
Kamis, 18 Jan 2024 19:00 WIB
Daratan Tenggelam di Australia yang Dulu Bisa untuk Migrasi dari Indonesia
Foto: Carley Rosengreen/Griffith University via Live Science. Lanskap Tenggelam di Australia yang Dulu Bisa untuk Migrasi dari Indonesia
Jakarta -

Sekitar 70.000 tahun lalu ada tanah luas yang kini terendam di lepas pantai Australia dan daya tampungnya setengah juta orang.

Menurut penelitian yang diterbitkan pada 15 Desember 2023 lalu dalam jurnal Quaternary Science Reviews, wilayah terendam itu begitu luas sehingga bisa berfungsi sebagai loncatan untuk migrasi dari Indonesia ke Australia.

"Kami membahas tentang lanskap yang terendam lebih dari 100 meter (330 kaki) di bawah permukaan laut saat ini," ujar Kasih Norman, arkeolog di Griffith University, Australia sekaligus penulis utama studi ini kepada Live Science.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Atlantis" Australia ini terdiri dari hamparan luas landas kontinen yang jika berada di atas permukaan laut, akan menghubungkan wilayah Kimberley dan Arnhem Land, yang saat ini dipisahkan oleh teluk yang luas. Daratan kuno Australia ini pernah menjadi bagian dari benua paleo yang menghubungkan Australia, New Guinea, dan Tasmania modern menjadi satu kesatuan yang dikenal sebagai Sahul.

Terlepas dari luasnya, hingga saat ini hanya ada sedikit penelitian mengenai apakah manusia bisa menghuni landas kontinen yang sekarang tenggelam itu.

ADVERTISEMENT

"Ada asumsi yang mendasari di Australia bahwa batas benua kita mungkin tidak produktif dan tidak benar-benar dimanfaatkan oleh manusia, meskipun faktanya kita mempunyai bukti dari berbagai belahan dunia bahwa orang-orang pasti pernah berada di landas kontinen ini di masa lalu," jelas Norman.

Terjangkau dari Indonesia dan 1,6 Kali Inggris

Studi barunya membalikkan asumsi tersebut. Penelitian tersebut membawa data regional mengenai permukaan laut antara 70.000 dan 9.000 tahun yang lalu, bersama dengan peta rinci fitur dasar laut dari landas kontinen yang tenggelam.

Pertama, data menunjukkan bahwa antara 71.000 dan 59.000 tahun yang lalu, permukaan air laut kira-kira 130 kaki (40 m) lebih rendah dibandingkan saat ini, sebuah penurunan yang memperlihatkan rangkaian pulau-pulau melengkung di tepi barat laut terluar Benua Australia. Kepulauan tersebut terletak dalam jarak yang dapat dijangkau dengan kapal-kapal pelayaran, dari Pulau Timor di Asia Tenggara, yang tidak jauh dari Indonesia.

Kemudian, antara 29.000 dan 14.000 tahun yang lalu, terjadi penurunan permukaan laut yang lebih drastis lagi, bertepatan dengan puncak zaman es terakhir. Ini adalah masa ketika sejumlah besar air tersuspensi dalam es, yang selanjutnya menurunkan permukaan laut. Penurunan ini memperlihatkan sebagian besar landas kontinen tepat di samping Australia modern.

"Kami benar-benar melihat daratan yang luasnya sekitar 1,6 kali luas Inggris," kata Norman.

Menutnya jika itu dikombinasikan dengan gugusan pulau-pulau yang sebelumnya terbuka, berarti pada dasarnya terdapat kawasan kepulauan yang berdekatan untuk berpindah dari Indonesia, menyeberang ke Sahul, dan dari kepulauan itu ke benua super itu sendiri. Hal ini memungkinkan terjadinya apa yang disebutnya sebagai migrasi bertahap antara Indonesia dan Australia saat ini.

Mendukung Kehidupan Manusia

Sementara itu, pemetaan sonar mengungkap lanskap itu tempat manusia dapat hidup dengan baik. Pasalnya terdapat sebuah lereng curam yang tinggi dan terlindung, berisi laut pedalaman yang berdekatan dengan danau air tawar yang besar. Ada juga bukti dasar sungai berkelok-kelok yang terukir di daratan.

Norman menghitung bahwa lanskap besar tersebut dengan fitur pendukung kehidupannya, dapat menampung antara 50.000 hingga setengah juta orang.

"Penting untuk diingat bahwa yang kita bicarakan bukanlah jumlah populasi sebenarnya, ini adalah proyeksi daya dukung lanskap kita," katanya.

"Kami pada dasarnya mengatakan bahwa tempat tersebut bisa menampung banyak orang," imbuhnya.

Meski demikian, memang terdapat petunjuk dari penelitian lain bahwa dataran tinggi yang pernah terekspos ini memang dihuni oleh ratusan ribu orang. Ironisnya, hal ini terjadi pada masa ketika calon penghuninya terpaksa mengungsi karena naiknya air pasang dari daratan baru mereka.

Ketika zaman es terakhir mulai berkurang, lapisan es yang mencair menyebabkan air laut naik. Antara sekitar 14.000 dan 14.500 tahun yang lalu permukaan laut naik dengan kecepatan yang semakin cepat, dari sekitar 3,2 kaki (1 m) per tahun menjadi satu meter (3,2 kaki) selama 100 tahun, lalu menjadi 16 kaki.

"Dalam periode 400 tahun ini, lebih dari 100.000 kilometer persegi daratan terendam air," kata Norman.

Antara 12.000 dan 9.000 tahun yang lalu, pola tersebut terulang kembali dan 100.000 kilometer persegi lainnya ditelan oleh laut.

"Orang-orang (pada masa lalu) akan benar-benar melihat perubahan lanskap di hadapan mereka dan terdesak ke depan karena menyentuh garis pantai dengan cukup cepat," kata Norman.

Diperkuat Penelitian Lain

Hipotesis ini didukung oleh penelitian lain. Sebuah studi baru-baru ini yang diterbitkan dalam jurnal Nature menganalisis genetika orang-orang yang tinggal di Kepulauan Tiwi, yang saat ini berada di tepi dataran tersebut. Terungkap bahwa pada akhir zaman es terakhir, terdapat perubahan tanda genetik yang mengindikasikan masuknya populasi baru di sana.

Terlebih lagi, sekitar 14.000 tahun yang lalu dan antara 12.000 dan 9.000 tahun yang lalu, catatan arkeologi di wilayah tepian Australia modern menunjukkan peningkatan dalam simpanan perkakas batu. Hal ini biasanya diartikan tiba-tiba ada lebih banyak orang di daerah itu, menurut Norman.

Sekitar waktu ini di Kimberly dan Arnhem Land, seni gua juga berubah dengan memasukkan gaya dan subjek baru, termasuk lebih banyak figur manusia dalam campurannya. Norman menilai ini mungkin berasal dari orang-orang baru yang tiba di daerah tersebut.

Dia berharap penelitiannya akan memotivasi orang lain untuk lebih memperhatikan pentingnya arkeologi landas kontinen Australia yang tenggelam.




(nah/nwk)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads