Sejak kapan orang Indonesia menaruh perhatian pada isu-isu terkait Palestina? Jawabannya mungkin adalah sejak Indonesia masih bernama Hindia Belanda (Nederlandsch Indie). Menurut Greg Barton dan Colin Rubenstein, dalam "Indonesia And Israel: A Relationship In Waiting", Jewish Political Studies Review 17:1-2 (Spring 2005), tema mengenai masa depan Palestina sudah menjadi bahasan rutin dalam pertemuan tahunan Muhammadiyah dan Nadhatul Ulama (NU) pada 1920-an.
Barton dan Rubensein tidak memberi detail kapan tepatnya pada tahun 1920-an itu. Tidak menyebut bulan ataupun tanggal, pun tidak menyebut tahun tepatnya. Ia juga tidak menjelaskan di mana dan apa nama acara NU dan Muhammadiyah yang membahas topik tentang Palestina tersebut.
Bila menelisik buku sejarah, pada tahun 1920-an, Indonesia dan Palestina adalah bangsa terjajah. Palestina dijajah Inggris setelah pada tahun 1917, dalam Perang Dunia I, direbut dari Kesultanan Utsmaniyah. Indonesia juga pernah dijajah Inggris pada tahun 1811-1816. Namun tahun 1920-an itu Indonesia dalam penjajahan Belanda. Pada tahun itu, sebagai bangsa terjajah, Indonesia memasuki masa pergerakan nasional, di mana perjuangan bersenjata ditinggalkan dan beralih menggunakan organisasi modern yang bersifat nasional.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Masa pergerakan nasional ditandai dengan berdirinya organisasi-organisasi pergerakan yang dimulai dengan berdirinya Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908. Dan kemudian banyak berdiri organisasi-organisasi lainnya termasuk organisasi pergerakan Islam. Pada tahun 1912, HOS Tjokroaminoto mendirikan Sarekat Dagang Islam di Surabaya dan kemudian mengubah namanya menjadi Sarekat Islam. Lalu ada Muhammadiyah yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan pada 18 November 1912. Pada 25 Desember di tahun yang sama juga berdiri Indische Partij yang didirikan oleh E.F.E Douwes Dekker, Tjipto Mangoenkoesoemo dan Ki Hajar Dewantara. Kemudian Nadhatul Ulama didirikan oleh KH Hasyim Asyari pada 31 Januari 1926.
Pendiri Muhammadiyah Ahmad Dahlan dan pendiri Nahdlatul Ulama Hasyim Asyari, merupakan dua orang bersahabat. Saat remaja, mereka menuntut ilmu pada ulama yang sama yaitu Kiai Soleh Darat dari Semarang, Jawa Tengah. Pada tahun 1890, Ahmad Dahlan naik haji dan belajar pada Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Syekh Ahmad Khatib pada waktu itu adalah ulama yang sangat berwibawa di Tanah Suci. Sejak 1876, ia menjabat imam besar Masjidil Haram sekaligus pengajar utama fiqih mazhab Syafii. Syekh Ahmad Khatib ini sejatinya adalah orang Minangkabau. Ia merupakan paman Kiai Haji Agus Salim, yang juga pendiri Sarekat Islam yang kemudian setelah Indonesia merdeka diangkat Soekarno menjadi wakil menteri luar negeri dan ditugasi untuk melobi negara-negara Timur Tengah untuk mendukung kemerdekaan Indonesia.
Syekh Ahmad Khatib mendidik para muridnya termasuk Ahmad Dahlan dan Hasyim Asy'ari, untuk mempelajari ide-ide cendekiawan Muslim modernis yaitu Rasyid Ridha, Jamaluddin al-Afghani, dan Muhammad Abduh. Jamaluddin al-Afghani adalah guru Muhammad Abduh. Al-Afghani terkenal dengan gerakan Pan-Islamisme yaitu gerakan menentang penjajahan bangsa Eropa di negara-negara Asia dan Afrika. Ajaran dalam Pan-Islamisme ada tiga. Pertama, musuh utama adalah penjajahan Barat; Kedua, umat Islam harus menentang penjajahan di mana dan kapan saja; Ketiga, untuk mencapai tujuan itu, umat Islam harus bersatu atau Pan-Islamisme. Dalam pengertian yang luas, Pan-Islamisme berarti solidaritas antara seluruh muslim di dunia internasional.
Pemikiran Muhammad Abduh ini banyak menginspirasi organisasi Islam di Indonesia, salah satunya adalah Muhammadiyah. Abduh termashur dengan pernyataannya, bahwa Islam akan maju bila umatnya mau belajar, tidak hanya ilmu agama, tetapi juga ilmu sains. Inilah maka Muhammadiyah bergerak di pendidikan dengan banyak mendirikan lembaga pendidikan. Sementara Sarekat Islam bergerak di bidang politik dan mempelopori Pan Islamisme di Indonesia.
Dalam penelitian Abdul Somad (2015), Sarekat Islam aktif menginisiasi dilakukan konggres yang kemudian dinamai Konggreds Al-Islam untuk membahas semangat Pan Islamisme yakni membebaskan diri dari penjajahan. Konggres pertama digelar di Cirebon pada 31-2 November 1922. Konggres dihadiri antara lain perwakilan Sarekat Islam, Muhammadiyah dan Al-Irsyad. Pendiri Sarekat Islam Agus Salim menyatakan Konggres tersebut memiliki arti penting sebab menjadi satu usaha untuk mendorong persatuan segala golongan orang Islam di Hindia Belanda atau orang Islam di seluruh dunia dan bantu membantu.
Pada 4-5 Oktober 1924, Sarekat Islan dan Muhammadiyah menggelar Konggres Al-Islam Hindia III. Seperti diberitakan Hindia Baru pada 22 Januari 1925, konggres ini membuat keputusan organisasi pergerakan Islam di Indonesia akan terlibat dalam pergerakan khilafah Islam dalam rangka mewujudkan Pan Islamisme dan akan mengirim utusan ke Kairo.
Jasa Mufti Palestina untuk Kemerdekaan RI
Dalam semangat Pan-Islamisme, organisasi pergerakan Islam dari bangsa-bangsa berpendudukan muslim ataupun negara Muslim yang sedang berjuang membebaskan diri dari penjajahan, sering mengorganisasikan pertemuan. Pada tahun 1931, dilangsungkan Muktamar Alam Islami yang pertama di Yerusalem. Muktamar ini membicarakan masalah Palestina saat itu dijajah Inggris dan Zionis. Muktamar ini dilakukan atas prakarsa Mufti Palestina, Amin Al-Husaini. Indonesia diwakili Prof. Kahar Muzakkir. Kahar Muzakkir pernah belajar di Kairo, Mesir, dan terkenal sangat gigih memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan juga sangat gigih membantu perjuangan rakyat Palestina.
Adararelief.com mengungkap dalam konggres tersebut Syekh Muhammad Amin al-Husaini dipilih sebagai ketua (rais), sementara Abdul Kahar Mudzakkir tepilih sebagai sekretaris (katib). Barangkali inilah pertemuan pertama Muhammad Amin al-Husaini dengan putra Indonesia sekaligus mengenal perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia melawan penjajah Belanda. Muktamar Islam di Palestina itu pun menyatakan dukungannya terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia. Kemudian muktamar selanjutya senantiasa menyatakan dukungan kepada bangsa Indonesia.
Dukungan yang sangat berani dari Mufti Besar Palestina untuk Indonesia kembali dilakukan pada 7 September 1944. Dalam buku Sukarno Penyambung Lidah Rakyat, diceritakan pada tanggal itu, Perdana Menteri Jepang Kuniaki Koiso berjanji kepada rakyat Indonesia akan memberikan kemerdekaan. "7 September 1944, Tokyo mengumumkan janji kemerdekaan Indonesia dengan segera, dan tanggal yang baik (untuk pengumuman kemerdekaan Indonesia) akan ditentukan lebih lanjut. Lalu disiapkanlah sebuah badan baru Bernama Djawa Hokokai yang berada di bawah pimpinanku dan akan bekerja sebagai aparat pemerintahan kami yang pertama." Demikian tulis Sukarno dalam buku : Sukarno Penyambung Lidah Rakyat.
M. Zein Hassan Lc dalam buku 'Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri '(1980) menceritakan Syekh Al Husaini yang sedang dalam persembunyian di Jerman karena diburu Inggris, mempertaruhkan keselamatannya demi menyatakan pengakuan terhadap kemerdekaan Indonesia. Ia mengumumkan pengakuan dan ucapan selamat atas kemerdekaan Indonesia melalui siaran di Radio Berlin berbahasa Arab. Itulah mengapa, Palestina secara de facto disebut sebagai negara pertama yang mengakui kemerdekaan RI. Alasan Palestina mendukung Indonesia adalah karena perasaan senasib dan sepenanggungan.
Peran besar Syekh Amin Al Husaini juga dikisahkan buku 'Mata Air Keteladanan' karya Yudi Latif. Mufti Palestina ini aktif melobi banyak pemimpin negara Arab untuk mengakui dan membela kemerdekaan Indonesia. Dengan pengaruhnya sebagai Mufti yang diperhitungkan di dunia Arab, dukungan Syek Amin Al Husaini, membuat misi diplomasi ke Timur Tengah dipimpin oleh Haji Agus Salim sukses melobi Mesir untuk mengakui kemerdekaan Indonesia secara de jure. Saat Mesir memberi pengakuan tersebut, Syekh Amin Al Husaini juga hadir menemani Agus Salim. Setelah Mesir, kemerdekaan Indonesia kemudian diakui Suriah, Lebanon, serta beberapa negara Timur Tengah lainnya.
Saling Bantu Sebagai Saudara Senasib Sepenanggungan
Orang Indonesia yang mengetahui dukungan dan bantuan Palestina terhadap Indonesia pun tidak tinggal diam. Pada 23 November tahun 1937, KH Hasyim Asy'ari mengonsolidasi puluhan organisasi Islam di Indonesia untuk mendukung perjuangan Rakyat Palestina. Pendiri NU itu mengajak umat Islam untuk mengumpulkan dana yang diberikan kepada Rakyat Palestina melalui Palestina Fons dan Majelis Rajabiyah. Sejarawan Aguk Irawan mengungkap penggalangan dana itu menghasilkan 600 ribu gulden dan dikirimkan ke Palestina untuk perjuangan umat Islam di sana.
Sebelas tahun kemudian, saudagar kaya Palestina Ali Taher gantian menyumbangkan uang untuk Indonesia ketika bangsa ini kesulitan menghadapi agresi Militer II Belanda. Tahun 1948, menurut M.C. Ricklefs, dalam buku Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, keadaan Republik Indonesia sangat kacau. Menghadapi Belanda yang ingin menjajah kembali, Indonesia yang dipimpin Sukarno-Hatta terdesak ke wilayah pedalaman Jawa Tengah, kekurangan beras, dan penderitaan semakin meningkat akibat blockade Belanda.
Ali Taher yang juga sebagai raja media Palestina tidak ragu menyumbangkan uangnya kepada Ketua Panitia Pusat Perkumpulan Kemerdekaan Indonesia, Mohamed Zein Hassan, pada Desember 1948. Zein bercerita, suatu hari Ali Taher mengajaknya ke Bank Arabia lalu menarik semua uangnya dari bank tersebut dan memberikannya kepada Zein tanpa minta bukti tanda terima.
Anti Israel Sejak dari Awal Kemerdekaan
Bila Indonesia sangat dekat dan akrab dengan Palestina, sebaliknya terhadap Israel tidak demikian. Indonesia sudah anti terhadap Israel sejak masa awal kemerdekaan. Bahkan pengakuan dan ucapan selamat atas kemerdekaan Indonesia dari Presiden Israel Chaim Weizmann dan Perdana Menteri David Ben Gurion yang disampaikan lewat telegram pada Desember 1949 pun disambut dingin. Barton dan Colin Rubenstein mengungkap Bung Hatta hanya membalas mengucapkan terimakasih saja. Wakil Presiden Indonesia itu tidak memberikan timbal balik berupa pengakuan diplomatic untuk Israel.
Pada Januari 1950, Menteri Luar Negeri Israel Moshe Sharett menegaskan lewat telegram kepada Bung Hatta bahwa Israel telah memberikan pengakuan penuh kepada Indonesia. Mendapat tanggapan dingin, Sharett lalu menulis surat kepada Hatta soal rencana pengiriman misi persahabatan ke Indonesia. Hatta bersikap lamban merespon rencana Israel tersebut. Ketika akhirnya memberi respond, pada Mei 1950, Hatta menyarankan misi tersebut sebaiknya ditunda sampai waktu yang tidak dapat ditentukan.
Sikap Indonesia anti terhadap Israel semakin jelas disampaikan Presiden Sukarno. Pada pidato di depan DPR tahun 1962, Sukarno kembali mempertegas sikap Indonesia yang menghendaki penjajahan di atas dunia harus dihapuskan. Sukarno berkata, selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itulah bangsa Indonesia berdiri menantang penjajahan Israel.
Iin Yumiyanti
Penulis adalah mahasiswa magister komunikasi Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta
(iy/erd)