3 Tingkat Tutur Bahasa Jawa: Ngoko, Madya, Krama Beserta Contohnya

ADVERTISEMENT

3 Tingkat Tutur Bahasa Jawa: Ngoko, Madya, Krama Beserta Contohnya

Baladan Hadza Firosya - detikEdu
Minggu, 10 Des 2023 07:00 WIB
Ratusan siswa SMP 5 Purwokerto memperingati hari sumpah pemuda dengan menggelar lomba isi TTS berbahasa Jawa dan ditulis dengan aksara Jawa, Jumat (27/10/2017).
Ilustrasi bahasa Jawa Foto: Arbi Anugrah/detikcom
Jakarta -

Bahasa Jawa merupakan bahasa rumpunan Austronesia yang berdampingan dengan bahasa-bahasa seperti, Melayu, Sunda, Bali, Madura, Bugis, Ngaju, Iban, serta beberapa bahasa di Sulawesi Utara dan Filipina.

Bahasa Jawa juga memiliki kemiripan dengan bahasa Indonesia, di mana memiliki tata kalimat yang serupa dan banyak kata-kata yang sama (cognate), sebagaimana yang dikutip dari buku Tingkat Tutur Bahasa Jawa oleh Soepomo Poedjosoedarmo dkk.

Selain itu, bahasa Jawa juga memiliki beberapa tingkatan yang digunakan oleh penurut untuk menyesuaikan dengan siapa ia berbicara. Bagaimana penggunaannya?

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bahasa Jawa

Bahasa Jawa adalah bahasa asli bagi masyarakat yang mendiami pulau Jawa, seperti Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur. Selain itu, bahasa ini juga tersebar ke daerah transmigrasi karena sebagian masyarakat Jawa bermigrasi, sehingga menjadikannya sebagai bahasa minoritas di sana sebagaimana yang dijelaskan dalam karya Purwa Lalita Nurjayanti yang berjudul Tingkat Tutur Bahasa Jawa.

ADVERTISEMENT

Bahasa Jawa juga memiliki ragam dialek yang dapat dijumpai di wilayah-wilayah seperti di Yogya, Solo, Tegal, Banyumas, dan Surabaya yang memiliki ciri khasnya masing-masing karena faktor geografis.

Selain ragam dialeknya, bahasa Jawa juga memperlihatkan ragam formal dan informal dalam fonologi, morfologi, sintaksis, dan leksikon. Ragam ini tercermin dalam tingkat tutur bahasa yang menunjukkan perbedaan kesopanan penutur terhadap lawan bicara.

Etika yang ditekankan dalam masyarakat Jawa tercermin dalam prinsip unggah-ungguh (aturan bertatakrama) yang dijunjung tinggi sehari-hari. Bagi masyarakat Jawa, bahasa Jawa tidak hanya sebagai sarana komunikasi lisan dan tertulis, melainkan juga sebagai alat untuk melakukan tindakan berbicara, menunjukkan peristiwa tindak tutur.

Tingkat Tutur Bahasa Jawa

Tingkat tutur bahasa Jawa memiliki tiga tutur tingkatan, yakni ngoko, krama , dan madya. Berikut adalah penjelasan dari ketiganya yang dikutip dari buku Tingkat Tutur Bahasa Jawa oleh Soepomo Poedjosoedarmo dkk.

1. Tingkat Tutur Ngoko

Tingkat tutur ngoko menunjukkan kedekatan antara penutur dengan orang kedua tanpa jarak sosial, memungkinkan komunikasi tanpa canggung. Penggunaannya cocok saat ingin mengekspresikan kedekatan dengan Orang Kedua, seperti di antara teman akrab.

Dalam situasi di mana orang memiliki status sosial lebih tinggi, seperti majikan kepada pembantu, guru kepada murid, atau orang tua kepada anak, keponakan, penggunaan tingkat ngoko umumnya diterima. Namun, dalam keluarga, kecuali pada masa sebelum perang, biasanya bahasa formal (krama atau madya) digunakan antara suami-istri dan saudara kandung.

Terkadang dalam situasi emosional, orang cenderung menggunakan tingkat ngoko. Orang dengan hubungan akrab yang tetap saling menghormati dapat menggunakan tingkat tutur ngoko yang halus (antya basa dan basa antya), seperti teman dekat di kalangan pegawai negeri, priayi, atau guru. Kadang-kadang, istri priayi juga menggunakan tingkat tutur yang halus.

2. Tingkat Tutur Krama

Tingkat tutur krama adalah tingkat yang mengandung arti penuh dengan sopan santun. Pentingnya krama terletak pada nilai sopan-santun yang tercermin dan menciptakan jarak yg harus dihormati antara generasi satu dengan yang lain.

Tingkat ini menandakan adanya perasaan segan (pekewuh) penutur terhadap orang kedua yang belum dikenal, atau berpangkat, atau priayi, berwibawa, dan lain-lain.

Dalam unggah ungguh bahasa Jawa versi lama, krama dibagi dalam 3 jenis yakni mudha krama, kramantara, dan wredha krama. Sementara versi baru hanya dibagi dua yakni krama lugu dan krama alus.

Penggunaan krama lugu menurut Haryana Harjawiyana dalam buku Kamus Unggah-ungguh Basa Jawa yaitu tuturan orang yang memiliki kedudukan sama, tetapi masih ada rasa sungkan. Seperti teman, tetapi tidak begitu akrab.

Contoh krama lugu:

  • Sampeyan sampun mendhet sekul?
  • Benjing siyos mbekta jajan?
  • Sekulipun sampun mateng, mangga dipunnedha

Adapun krama alus atau krama inggil memiliki kadar kesopanan paling tinggi. Krama ini digunakan kepada orang yang lebih tua, tinggi kedudukan, dan dihormati. Seperti, anak kepada orang tua, siswa kepada guru, bawahan kepada petinggi, warga kepada sesepuh desa.

Krama alus juga dipakai untuk pidato yang membutuhkan unggah-ungguh, seperti pranatacara (pembawa acara) dan pidato dalam penghargaan. Contoh krama alus misalnya:

  • Pak, panjenengan dhahar ngriki?
  • Bu Lurah sampun kondur tabuh 10 enjing.
  • Pak guru boten saged rawuh amergi gerah.

3. Tingkat tutur Madya

Dalam unggah ungguh bahasa Jawa versi lama tingkat tutur madya berada di tengah-tengah antara krama dan ngoko, menunjukkan tingkat kesopanan yang sedang. Awalnya berasal dari tutur krama, namun mengalami tiga perkembangan penting, yakni informalisasi, penurunan tingkat, dan ruralisasi.

Tingkat ini sering dianggap sebagai tingkat yang sedikit sopan dan sedikit tidak sopan oleh sebagian besar orang.

Biasanya, penutur menggunakan tingkat ini terhadap orang desa yang perlu dihormati. Misalnya, teman sekelas yang masih berinteraksi secara santai biasanya menggunakan tingkat madya.

Kepala kantor juga menggunakan tingkat madya kepada rekan yang lebih muda atau dari latar belakang desa. Banyak juga yang menggunakan tingkat madya terhadap orang yang lebih tua namun tak memiliki pangkat.

Penggunaan tingkat madya ini terbagi menjadi dua kelompok orang. Kelompok pertama menganggap penggunaan madya sebagai tanda bahwa pengguna tersebut berasal dari desa. Mereka menggunakan ngoko ketika berbicara dengan mereka yang memiliki status sosial rendah, seperti orang desa miskin, pembantu, pengemis, kuli, dan anak-anak.

Kelompok kedua melihat madya sebagai tingkat tutur yang cukup seimbang, menggunakan tingkat ini dalam berkomunikasi dengan orang-orang tersebut. Mereka dianggap lebih ramah dan bisa menjalin hubungan yang baik dengan orang desa dan mereka yang bukan dari kalangan elit.




(pal/pal)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads