Prof Dr Edi Sedyawati membaktikan hidupnya di bidang arkeologi Indonesia. Tidak kurang dari 169 arca Ganesa diteliti perempuan arkeolog ini dalam disertasinya.
Sosok Edi Sedyawati akan dirayakan dalam The 12th Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) 2023, Tribute to Edi Sedyawati (1938-2022), di Malang, 23-27 November 2023.
Perayaan tersebut bertepatan dengan wafatnya Edi pada 11 November tahun lalu di usia ke-84 tahun. Dikutip dari keterangan resminya, peluncuran film dokumenter dan buku, kuliah, bazar buku, pidato kebudayaan, serta workshop arkeologi hingga tari yang digeluti Edi dibuka untuk mengajak warga mengenang sosoknya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Spektrum pemikiran Edi Sedyawati menjadi tema utama BWCF tahun ini. Seperti apa Edi semasa hidupnya, dan mengapa ia dirayakan?
Edi Sedyawati, Perempuan Arkeolog RI
Edi Sedyawati dikenal dengan penelitiannya tentang arca Ganesa. Ahli ikonografi dan pakar bahasa Jawa Kuno-Sansekerta ini juga punya minat pada arkeologi Hindu-Buddha di Jawa. Pengetahuan akademis Edi yang luas memungkinkannya menganalisis berbagai temuan arca, prasasti, hingga manuskrip kuno.
Perempuan ini juga menyenangi diskusi tentang paham keagamaan di zaman Majapahit, yakni teologi Siwa-Buddha. Di zaman itu, sinkretisme antara paham Siwa dan Buddha yang memunculkan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Dalam buku Civa dan Buddha oleh arkeolog JHC Kern dan WH Rasser, Edi memberi pengantar. Berdasarkan dokumen Edi, kedua arkeolog tesebut belum sependapat tentang dokumen sinkretisme Siwa-Buddha di zaman Majapahit.
JHC Kern menjelaskan, ada percampuran keyakinan atas Siswa dan Buddha di Jawa, tetapi agamanya tetap dibedakan. Dalam kitab Sutasoma, dijelaskan bahwa Buddha dan Siswa tidak berbeda. Untuk itu, BWCF 2023 mengundang pakar dari Jawa dan Bali untuk membahas penelitian terbaru tentang Siwa-Buddha.
Arkeolog Edi Sedyawati dan Ganesa
Disertasi Edi Sedyawati berjudul Pengarcaan Ganesa Masa Kadiri dan Singhasari: Sebuah Tinjauan Sejarah Kesenian. Ganesa adalah dewa pengetahuan sekaligus dewa perwira dalam ajaran Hindu, yang bisa mengatasi musuh dan alang rintang.
Menyusun disertasinya, Edi melakukan penelitian pada 169 arca Ganesa. Dialah yang menyimpulkan bahwa arca Ganesa periode Singosari punya ciri khas tangan kanan belakang memegang kapak, tangan kiri belakang menggenggam tasbih, kedua tangan depan memegang mangkuk tengkorak, dan kaki menginjak tengkorak (asana tengkorak).
Ia mendapati, Ganesa periode Singosari juga mengenakan anting-anting tengkorak dan pita di belakang kepala. Elemen aksesoris tengkorak yang mendominasi tersebutnya menjadi ciri khas Ganesa periode ini.
Penelitian orang Indonesia tentang Ganesa pun berlanjut hingga hari ini. Warga-warga maupun peneliti tidak jarang menemukan arca Ganesa yang masih terpendam.
Pada 2019 misalnya, muncul warga Dusun Genengan, Desa Bangsri, Kecamatan Ngariboyo, Kabupaten Magetan menemukan arca Ganesa batu relatif besar dengan ikonografi tidak biasa. Rambut panjang ikal terurai, yang dijuluki warga menjadi Ganesa gimbal. Bagian belakangnya juga unik karena terdapat ukiran naga.
Memperingati penelitian Edi tentang Ganesa, BWCF 2023 menghadirkan pakar dari Jawa, Bali, dan luar negeri untuk membicarakan Ganesa dan misteri-misterinya yang belum terungkap. Bersamaan dengan diskusi ini, dirilis buku tentang Ganesa dan seni pertunjukan yang ditulis para peneliti.
Melanjutkan Studi Edi
Peneliti mendapati, ada beragam misteri Ganesa yang belum ditelusuri Edi dan dapat dilanjutkan peneliti saat ini. Misalnya, kemungkinan Ganesa Singosari kerap punya atribut tengkorak karena Kertanegara menganut Tantrayana.
Di samping itu, ritual Ganesa di Bali dan India yang hingga kini masih berlangsung juga dinilai menarik untuk ditelusuri. Warga India hingga kini masih merayakan Festival Ganesha Chaturthi atau Vinayaka Chavithi, yakni perayaan kedatangan Ganesa dan ibunya ke Bumi dari gunung dewata Kailash sepanjang 10 hari di Agustus dan September.
Edi dan Tari
Edi juga dikenal sebagai ahli dunia tari, mulai dari kajian relief hingga kajian dunia seni pertunjukan Indonesia. Dalam buku kumpulan tulisan tarinya, Pertumbuhan Seni Pertunjukan (Sinar Harapan, 1981), Edi menjelaskan jalan perkembangan tari Indonesia.
Dalam buku itu, Edi juga menuliskan kajian arkeologi tari yang menganalisis relief-relief candi Indonesia yang memiliki visual adegan tari. Ia dinilai cemerlang membedah relief tari Prambanan dan Borobudur.
Berbekal ketelitian akademisnya, Edi membandingkan sikap dasar berdiri, motif-motif gerak tungkai kaki, serta motif-motif gerak tangan adegan-adegan tari yang ada di relief kedua candi dengan pose-pose tari baku yang ada di dalam buku klasik standar Natya Sastra dari India. Sosoknya dinilai sebagai arkeolog langka yang mampu membedah gerak tari di relief sangat detail.
Edi juga mempelajari sejarah musik, tari dan teater, hingga problem-problem tari kontemporer yang berbasis tradisi sampai "bilingualism" teater tradisi untuk menguatkan pemahamannya akan sejarah seni Indonesia.
Ilmunya mengantarkan Edi juga menjadi kritikus tari dalam negeri dan internasional yang aktif menulis di majalah dan surat kabar nasional. Sesi documente BWCF 2023 sedianya akan membahas kontribusi Edi Sedyawati dalam mengarungi dunia tari Indonesia.
Edi sebagai Birokrat
Perempuan ini juga tercatat sempat menjabat sebagai Dirjen Kebudayaan. Di masa jabatannya , ia menggelar festival-festival seni di dalam negeri, progam-progam diplomasi kebudayaan, serta misi-misi kesenian ke luar negeri. Ia juga mengagas tata seni dari pusat sampai daerah.
Edi sebagai Dirjen Kebudayaan di masanya juga mendukung arkeolog Indonesia mengikuti ITASA, atau Indonesian Technical Assistance for Safeguarding Angkor. Di program ini, arkeolog Indonesia berangkat ke Kamboja untuk memugar empat gerbang situs Royal Palace Kawasan Angkor Wat.
Berdasarkan catatan BWCF dalam kunjungan ke empat gerbang Royal Palace, Angkor, hingga kini pondok bekas tempat bekerja sehari-hari arkeolog Indonesia tidak dirobohkan.
Di dunia seni, Edi juga tercatat pernah menginisiasi progam Art Summit. Program ini mendatangkan tokoh seni dunia ke Jakarta, mulai dari Butoh dan Kazuo Ohno.
Dalam diskusi BWCF 2023, soal kekuatan pemerintah untuk diplomasi kebudayaan, bicara dengan pihak museum-museum luar, dan kesiapan museum untuk merawat dan memamerkan artefak-artefak publik secara menarik akan turut dibahas.Salah satunya juga menyinggung pemeliharaan artefak yang belakangan dikembalikan dari Belanda hingga ragam arca, prasasti, dan tengkorak hominin yang belum pulang dari mancanegara ke Indonesia.
Ceramah hingga Pertunjukan
Melengkapi perayaan atas pemikiran Edi Sedyawati, pengunjung BWCF ke-12 akan dapat mengikuti ceramah-ceramah arkeologi dan seni, pemutaran film tentang arkeologi, tari, sampai pertunjukan seni dan sastra.
Seluruh acara perayaan Edi digelar 5 hari di kampus Universitas Negeri Malang (UM). Malang, kota kelahiran Edi, juga dinilai lekat dengan identitas arca-arca Ganesa yang ditemukan dari sekitar Malang, Kediri, dan Singosari.
Pada siang 23 November 2023, akan ada pre-opening berisi pemutaran film Nia Dinata berjudul Unearthing Muara Jambi di Gedung Heritage KPPN Malang. Film ini akan menyajikan subyek situs arkeologi Buddhis terbesar Muara Jambi.
Sementara malam hari di UM, 23 November 2023 pukul 19.00 WIB, BWCF akan dibuka dengan Pidato Kebudayaan Prof Dr Arlo Griffiths tentang Prasasti Minto yang kini ada di Skotlandia.
Di rangkaian BWCF, pengunjung juga dapat berjumpa novelis seperti Leila S Chudori dan puluhan penyair muda. Malam pertunjukan tari kontemporer berbasis tradisi, pemutaran film tari, workshop tari, dan pertunjukan musik juga terbuka untuk umum.
Pertunjukan tari BWCF diisi pertunjukan Kecak Teges dari I Ketut Rina bersama puluhan warga Desa Teges , Peliatan Ubud, Gianyar, Bali. Diciptakan oleh Sardono W Kusumo, ia semula pada 1971 mengajak para petani Desa Teges Bali untuk membuat sebuah cak eksprimental. Ketut Rina, yang saat itu jadi warga anak-anak dan anggota terkecil, kini melanjutkan nafas Kecak Teges.
Malam sastra BWCF akan diisi pembacaan sajak oleh Sutardji Calzoum Bachri, penyair legendaris yang kini berusia 80-an tahun. Ia akan didampingi Afrizal Malna, Jose Rizal Manoa, dan penyair Malang, Tengsoe Tjahyono.
Penutupan BWCF pada 27 November 2023 diisi Pidato Kebudayaan Prof Dr Cecep Eka Permana, Membaca Ulang Seni Indonesia Purba: Gambar Cadas di Goa-Goa Maros Sulawesi dan Sangkulirang Kalimantan. Malamnya, BWCF ditutup dengan pertunjukan musik Lordjhu dan Nova Ruth, band pop eksprimental yang mengolah unsur tradisi.
(twu/nwk)