Kutu Daun Ini Jadi Sumber Pewarna Alami Karmin, Bagaimana Sejarahnya?

ADVERTISEMENT

Kutu Daun Ini Jadi Sumber Pewarna Alami Karmin, Bagaimana Sejarahnya?

Nimas Ayu Rosari - detikEdu
Sabtu, 30 Sep 2023 11:00 WIB
Pewarna Makanan dari Serangga Halal atau Haram? Ini Kata MUI
Foto: Istimewa
Jakarta -

Makanan atau minuman yang berwarna mencolok memang menarik perhatian. Zat pewarna merah dalam produk olahan yang selama ini kita konsumsi ternyata berasal dari serangga jenis kutu daun Cochineal dan dikenal sebagai pewarna alami karmin.

Lalu, apakah zat pewarna tersebut aman dikonsumsi? Sebelum itu simak dahulu penjelasan terkait serangga Cochineal berikut ini.

Taksonomi Serangga Cochineal

Mungkin masih banyak yang tidak tahu atau pernah mendengar serangga Cochineal. Serangga sebagai penghasil zat pewarna alami karmin ini memiliki nama ilmiah Dactylopius coccus costa. Dilansir dari laman Science Direct, serangga ini masuk dalam ordo Hemiptera dan famili Dactylopiidae yang terdiri dari sembilan spesies berbeda dan biasanya tumbuh di Amerika Utara dan Selatan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Serangga Dactylopius ini masuk dalam jenis kutu daun dengan berat sekitar 45 mg yang biasanya menjadi parasit pada kaktus (genus Opuntia) dengan tubuh berwarna abu-abu. Tak hanya itu, tubuhnya juga dilapisi oleh lilin putih untuk melindungi diri dari kekeringan dan hujan.

Pewarna karmin yang dihasilkan serangga tersebut diketahui digunakan untuk pertahanan diri dari predator. Asam karminat tersebut hanya diproduksi oleh serangga cochineal betina yang terletak di hemolimfa dan telurnya. Asam karminat inilah yang dimanfaatkan untuk sumber penghasil warna merah tua dikenal sebagai Karmin CL 75470.

ADVERTISEMENT

Cochineal betina memiliki panjang kira-kira 6 mm, lebar 4,5 mm, dan tinggi 4 mm. Dilansir dari laman Binus, pewarna karmin yang diproduksi Cochineal betina lebih banyak dari jantan sekitar 18-20%. Serangga ini tidak memiliki sayap dan hanya hinggap di daun kaktus, berbeda dengan Cochineal jantan.

Sejarah Pewarna Karmin

Serangga Cochineal sebagai penghasil zat pewarna alami ini sudah dikenal sejak lama. Pewarna karmin ini pertama kali ditemukan dan digunakan oleh Suku Maya dan Suku Aztec lebih dari lima abad yang lalu di wilayah Amerika Utara, Tengah, dan Selatan, demikian dilansir dari BBC.

Kutu daun tersebut telah digunakan oleh Suku Maya dan Aztec untuk mewarnai tekstil, obat-obatan, dan kosmetik. Untuk menghasilkan pewarna karmin sebanyak 500 gram, diperlukan 70.000 serangga Cochineal betina.

Dilansir dari laman Mcgill, pemanfaatan serangga Cochineal sebagai pewarna merah alami tersebut mulai berkembang sampai wilayah Eropa pada tahun 1518 ketika Hernan Cortes datang ke Amerika dan menggulingkan kekaisaran Aztec. Kemudian pewarna karmin menjadi zat pewarna yang sering digunakan untuk wol dan sutra.

Saat ini Peru dikenal sebagai penghasil karmin terbesar di dunia dengan mencapai 70 ton produksi per tahun. Menurut Kedutaan Besar Peru, produksi karmin tersebut telah menguasai 95% pangsa pasar internasional.

Penggunaan Cochineal sebagai Zat Pewarna

Zat karmin dari serangga Cochineal sampai saat ini masih digunakan sebagai bahan pewarna alami pada beberapa produk, seperti makanan, minuman, produk perawatan tubuh, dan kosmetik.

Dilansir dari laman MUI, beberapa jenis makanan yang biasanya mengandung pewarna karmin adalah es krim, susu, yoghurt, makanan ringan, dan lainnya yang biasanya memiliki warna merah. Selain itu digunakan pula pada produk perawatan tubuh atau kosmetik, seperti shampo, lotion, eyeshadow, lipstik, dan sebagainnya.

Tak hanya itu, dilansir dari laman Thpanorama, secara tradisional pewarna ini digunakan dalam industri tekstil dan industri farmasi untuk mewarnai obat-obatan. Sedangkan dalam tes biologis, zat ini juga dimanfaatkan untuk pewarnaan jaringan.

Dilansir dari laman Binus, untuk menghasilkan pewarna makanan, kutu daun Cochineal dikumpulkan, disortir, dibersihkan, dan dikeringkan dengan sinar Matahari. Setelah kering, maka perlu dihancurkan dengan mesin menjadi bubuk berwarna merah tua. Dalam penggunaannya, pewarna ini bisa ditambahkan dengan larutan alkohol untuk lebih menonjolkan warna, demikian dilansir dari laman MUI.

Kontroversi Penggunaan Karmin

Meski penggunaan serangga Cochineal tersebut biasa digunakan oleh beberapa negara, namun di Indonesia sendiri timbul kontroversi terkait penggunaannya. Hal ini disampaikan oleh PW Lembaga Bahtsul Masail (LBM) NU Jawa Timur yang mengeluarkan sejumlah keputusan, dilansir dari detikJatim yang melakukan wawancara pada 27 September 2023 lalu.

Keputusan yang dikeluarkan tersebut menyatakan bahwa penggunaan karmin sebagai bahan makanan atau minuman itu sifatnya haram dalam hukum Islam. Ketua LBM sendiri mengeluarkan keputusannya sejak 29 Agustus 2023 dan dengan tegas bahwa produk apapun yang mengandung karmin ini haram serta tidak boleh dikonsumsi.

Menanggapi kabar tersebut, dilansir dari laman MUI Digital, pihak Majelis Ulama Indonesia (MUI) menetapkan bahwa pewarna makanan atau minuman yang berasal dari serangga Cochineal (karmin) tersebut hukumnya halal, sepanjang bermanfaat dan tidak membahayakan.

Hal tersebut diperkuat dengan penetapan hukum pewarna makanan karmin dalam Fatwa MUI Nomor 33 Tahun 2011 tentang Hukum Pewarna Makanan dan Minuman dari Serangga Cochineal. Selain itu LPPOM MUI juga memberi keterangan bahwa serangga tersebut tidak berbahaya dan halal karena masuk kategori serangga yang darahnya tidak mengalir.

Sehingga dapat disimpulkan, menurut MUI bahwa penggunaan serangga Cochineal sebagai pewarna makanan atau produk lainnya itu adalah halal dan tidak membahayakan manusia.

Demikian informasi mengenai zat pewarna karmin yang berasal dari serangga kutu daun Cochineal, dari taksonomi, sejarah, penggunaan, hingga kontroversinya. Semoga bermanfaat!




(nwk/nwk)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads