Jepang merupakan negara yang terkenal dengan budaya disiplinnya yang tinggi. Banyak kebiasaan positif dari warga negara Jepang yang bisa menjadi panutan, mulai dari tepat waktu, menjaga kebersihan hingga tertib dan sopan.
Meski begitu, ternyata, Jepang mengalami penurunan jumlah penduduk. hal tersebut terjadi karena apa ya? Simak jawabannya berikut ini.
Penyebab Penurunan Jumlah Penduduk di Jepang
Jepang menjadi negara maju di Asia yang mengalami masalah kependudukan. Berikut beberapa penyebabnya
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
1. Angka Kelahiran yang Lebih Rendah Dari Kematian
Mengutip Repository Unsada, jumlah bayi yang lahir di Jepang beberapa dekade terakhir terus menurun. Akibatnya, populasi penduduk di Jepang sangat rendah bila dibandingkan dengan negara maju lainnya.
Pada tahun 2018 misalnya, Jepang tercatat mempunyai populasi sekitar 126.420.000 penduduk. Mengutip Lazuardi Global Compassionate School, pada tahun 2017, sebanyak 900.000 bayi lahir di Jepang, namun, pada tahun itu juga 1,3 juta penduduk meninggal dunia. Sehingga, populasi kematian di Jepang lebih tinggi dibandingkan dengan angka kelahirannya.
Sementara itu, mengutip CNN, jumlah penduduk Jepang mencapai 124,49 juta jiwa pada tahun 2022. Jumlah ini turun 556.000 jiwa dibandingkan dengan tahun sebelumya.
Belum lagi, tingkat kasus bunuh diri di Jepang cukup tinggi. Negara ini menempati peringkat ke 30 dalam daftar negara dengan tingkat bunuh diri terbanyak di dunia.
2. Ketidaktertarikan untuk Menikah
Sebuah survei yang dilakukan oleh National Institute of Population and Social Security Research pada tahun 2022 menyatakan, hampir seperlima pria dan sekitar 15% wanita Jepang menyatakan ketidakertarikannya pada pernikahan. Jumlah ini merupakan yang tertinggi sejak 1982.
3. Sedikitnya Peluang Kerja
Menurut tulisan yang diterbitkan oleh The Atlantic, alasan menurunnya jumlah penduduk dan sedikitnya angka kelahiran adalah keterbatasan peluang kerja. Khususnya untuk kaum muda laki-laki, yang dianggap sebagai pencari nafkah keluarga. Akibatnya para pria tidak menikah dan tak punya anak.
4. Pandemi COVID-19
Di samping itu, faktor terkait COVID-19 ikut berperan dalam mempercepat penurunan populasi di Jepang. Pertama, memburuknya perekonomian Jepang, kedua orang-orang menghindari kunjungan tidak penting ke dokter karena takut tertular COVID-19. Ketiga, turunnya kegiatan kencan dan pernikahan sebab seruan pemerintah Jepang mengurangi interaksi tatap muka.
Sejak Kapan Jepang Mengalami Penurunan Penduduk?
Jepang mulai mengalami penurunan angka kelahiran sejak terjadinya peristiwa Perang Dunia II. Pertumbuhan penduduk Jepang juga mulai mengalami penurunan sejak Perang Dunia II ini, adalah tercatat penurunan dalam angka kematian.
Setelah memuncak 1,27% pada tahun 1974, pertumbuhan penduduk berangsung berkurang hingga mencapai 0,54% pada tahun 1987. Penurunan ini agaknya memiliki kaitan dengan penurunan tajam dalam angka kelahiran dari 18,6 per 1.000 jiwa pada 1974 menjadi 11,4 per 1.000 jiwa pada tahun 1986. Sehingga, penurunan pertumbuhan penduduk Jepang menyebabkan perubahan populasi setiap tahun.
Setelah Perang Dunia II, populasi di Jepang mulai berkurang akibat perang. Jumlah bayi telah menurun selama 25 tahun. Hal ini menyebabkan komposisi demografi penduduk mengalami perubahan, sehingga lansia 65 tahun ke atas lebih banyak dibandingkan anak-anak usia 15 tahun ke bawah.
Populasi Jepang pada tahun 2021 berjumlah 126.050.796 jiwa. Populasi usia muda berjumlah 15.502.774 jiwa atau 12,30% dari total jumlah populasi. Populasi usia produktif sebesar 74.373.021 jiwa atau 59% dari total jumlah populasi. Sementara, populasi usia lansia berjumlah 36.175.001 jiwa atau 28,70% dari total jumlah populasi di Jepang.
Populasi lansia ini dua kali lipat lebih banyak dari populasi muda. Bahkan populasi lansia diprediksi akan mencapai sebesar 38,32% dari populasi Jepang di tahun 2060. Rendahnya populasi usia muda di Jepang menunjukkan bahwa negara ini sulit melakukan regenerasi.
Perihal ekonomi, Jepang memiliki tradisi 'pekerjaan tetap' sejak bertahun-tahun pasca perang. Tapi, menurut Jeff Kingston dari Temple University Jepang, pada tahun 2017, terdapat 40 persen tenaga kerja di Jepang yang bekerja di sektor pekerjaan tidak tetap. Mereka mendapatkan upah yang rendah dan tanpa tunjangan.
Peningkatan pekerja tidak tetap di Jepang dimulai pada tahun 1990-an. Hal tersebut terjadi saat pemerintah merevisi undang-undang perburuhan yang memungkinkan penggunaan pekerja sementara lebih luas, serta pekerja kontrak yang dipekerjakan perusahaan perantara. Ini diperparah dengan tren global yang memberi tekanan lebih besar pada perusahaan untuk memangkas biaya, sehingga orang-orang semakin mengandalkan pekerjaan sementara.
Dalam budaya yang menekankan laki-laki sebagai pencari nafkah, fenomena ini pun menghasilkan implikasi yang serius soal pernikahan dan memiliki keturunan. Seorang profesor di Tokyo Institute of Technology mengatakan bahwa ketika ada pasangan yang ingin menikah dan keduanya punya pekerjaan tidak tetap, orang tua akan cenderung tidak mengizinkan.
"Jepang memiliki pemahaman bahwa laki-laki seharusnya memiliki pekerjaan tetap," ujar Nishida. Dia menambahkan, ketika seseorang lulus dan tidak menemukan pekerjaan tetap, orang akan melihatnya sebagai sebuah kegagalan.
Itulah beberapa alasan turunnya populasi penduduk Jepang. Mulai dari turunnya angka pernikahan hingga pandemi COVID-19. Semoga artikel ini membantumu ya.
(elk/row)