Kini Bumi Disebut Alami Pendidihan Global Bukan Lagi Pemanasan, Apa Itu?

ADVERTISEMENT

Kini Bumi Disebut Alami Pendidihan Global Bukan Lagi Pemanasan, Apa Itu?

Nograhany Widhi Koesmawardhani - detikEdu
Jumat, 04 Agu 2023 16:00 WIB
People run to get sunset photos at Zabriskie Point on Saturday, July 8, 2023, in Death Valley National Park, Calif. July is the hottest month at the park with an average high of 116 degrees (46.5 Celsius). (AP Photo/Ty ONeil)
Foto: AP/Ty ONeil
Jakarta -

Istilah 'global boiling' alias pendidihan global dilontarkan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa (Sekjen PBB) Antonio Guterres.

"Era pemanasan global telah berakhir, era pendidihan global telah tiba," ujar Antonio Guterres dalam jumpa pers di PBB pada Kamis, 27 Juli 2023 lalu dilansir dari situs PBB.

Dalam jumpa pers saat itu Guterres baru saja merilis data terbaru dari Organisasi Meteorologi Dunia/World Meteorological Organization (WMO) dan Layanan Perubahan Iklim Copernicus Komisi Eropa/European Commission's Copernicus Climate Change Service (C3S).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Data yang baru dirilis itu mengatakan bahwa Juli 2023 menjadi bulan terpanas yang pernah terekam dalam sejarah manusia.

"Udara tidak bisa dihirup. Panas tak tertahankan. Dan tingkat keuntungan bahan bakar fosil dan kelambanan iklim tidak dapat diterima. Pemimpin harus memimpin. Tidak ada lagi keraguan. Tidak ada lagi alasan. Tidak perlu lagi menunggu orang lain bergerak lebih dulu. Tidak ada lagi waktu untuk itu. Masih mungkin untuk membatasi kenaikan suhu global hingga 1,5 derajat Celcius dan menghindari perubahan iklim yang paling buruk," imbuh Guterres.

ADVERTISEMENT

"Kita tak perlu menunggu sampai akhir bulan untuk mengetahui ini. Semacam versi mini Zaman Es beberapa hari ke depan, Juli 2023 akan memecahkan rekor secara keseluruhan. Menurut data yang dirilis hari ini, Juli telah ada tiga pekan terpanas yang pernah tercatat dalam sejarah, tiga hari terpanas dalam sejarah dan suhu lautan tertinggi untuk tahun ini," tutur Guterres.

Seberapa Panas Suhu Juli 2023?

Dilansir dari arsip detikEdu mengutip CNN, suhu pada 23 hari pertama bulan Juli secara global rata-rata adalah 16,95 derajat celsius. Temperatur ini di atas rekor sebelumnya yang 16,63 derajat Celsius pada Juli 2019. Banyak ilmuwan nyaris yakin bahwa temperatur saat ini adalah yang paling panas dalam 120 ribu tahun terakhir.

"Ini adalah suhu terpanas dalam sejarah manusia," kata Deputi Direktur Layanan Perubahan Iklim Copernicus Komisi Eropa, Samantha Burgess, dikutip dari CNN.

Suhu terpanas ini mengakibatkan musim panas yang terik di belahan bumi utara menjadi semakin parah. Suhu naik di atas 120 derajat Fahrenheit atau 50 derajat Celsius di beberapa bagian Amerika Serikat.

Di Mediterania, lebih dari 40 orang meninggal ketika kebakaran hutan melanda yang dipicu oleh suhu tinggi.

Burgess menambahkan perubahan iklim akibat ulah manusia adalah pemicu utama dari panas ekstrem ini. Sebuah studi baru-baru ini juga menemukan bahwa perubahan iklim memainkan peran penting terhadap gelombang panas di AS, China, dan Eropa bagian selatan pada musim panas ini.

Menurut Burgess, kedatangan El Nino belum berdampak besar pada suhu global karena masih dalam fase perkembangan. Kendati begitu, akan lebih berperan tahun depan dan kemungkinan memicu suhu lebih tinggi lagi.

Sementara menurut data Copernicus, Juni 2023 lalu tercatat sebagai Juni terpanas dengan margin yang substansial. Kemudian, pada Juli ini dunia mengalami rekor hari terpanas.

Pada 6 Juli 2023 lalu, suhu rata-rata global naik jadi 17,08 derajat Celsius, sehingga mengalahkan rekor suhu sebelumnya 16,8 derajat Celsius pada Agustus 2016, menurut data Copernicus.

"Hampir setiap bulan tahun ini berada di lima besar rekor terpanas," kata Burgess.

Menurutnya, jika tren suhu ini berlanjut pada musim gugur dan musim dingin, maka 2023 kemungkinan menjadi tahun terhangat yang pernah tercatat.

Langkah Mengatasi Pendidihan Global

Menurut Guterres berikut langkah-langkah untuk mengatasi pendidihan global:

1. Mengurangi Emisi

"Kami membutuhkan target pengurangan emisi nasional baru yang ambisius dari anggota G20," jelas Guterres.

Negara maju ditargetkan mencapai nol emisi pada 2040, dan negara berkembang pada 2050. Kemudian mempercepat transisi dari bahan bakar fosil ke energi terbarukan.

Energi dari batubara juga harus dialihkan pada tahun 2030 untuk negara Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi/Organization for Economic Co-operation and Development (OECD), dan 2040 untuk seluruh dunia.

2. Adaptasi

"Cuaca ekstrem menjadi hal normal baru. Semua negara harus menanggapi dan melindungi rakyatnya dari panas yang membakar, banjir yang mematikan, badai, kekeringan, dan amukan api yang diakibatkannya," tutur Guterres.

Negara-negara maju, lanjutnya, harus menyajikan peta jalan yang jelas dan kredibel untuk menggandakan pendanaan adaptasi pada tahun 2025 sebagai langkah pertama menuju pengalokasian setidaknya setengah dari seluruh pendanaan iklim untuk adaptasi.

"Setiap orang di bumi harus dilindungi oleh sistem peringatan dini pada tahun 2027 - dengan menerapkan Rencana Aksi yang kami luncurkan tahun lalu. Dan negara-negara harus mempertimbangkan serangkaian tujuan global untuk memobilisasi aksi internasional dan mendukung adaptasi," jelasnya.

3. Percepatan Aksi dan Pendanaan

"Janji yang dibuat tentang pendanaan iklim internasional harus ditepati. Negara-negara maju harus menghormati komitmen mereka untuk memberikan $100 miliar per tahun kepada negara-negara berkembang untuk dukungan iklim dan mengisi kembali Dana Iklim Hijau sepenuhnya," jelas Guterres.

Menurutnya, masih banyak bank, investor dan pelaku keuangan lainnya memberi penghargaan kepada para pencemar dan memberi insentif para perusak planet.

"Kita membutuhkan koreksi arah dalam sistem keuangan global agar mendukung percepatan aksi iklim," imbuhnya.

Soal pendanaan itu, lanjut Guterres, termasuk memberi harga pada karbon dan mendorong bank pembangunan multilateral untuk merombak model bisnis dan pendekatan mereka terhadap risiko.

"Kami membutuhkan bank pembangunan multilateral yang memanfaatkan dana mereka untuk memobilisasi lebih banyak keuangan swasta dengan biaya yang masuk akal bagi negara-negara berkembang -- dan meningkatkan pendanaan mereka untuk energi terbarukan, adaptasi, serta kerugian dan kerusakan," jelas dia.




(nwk/faz)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads