Pernahkah menghitung berapa jumlah sampah yang kamu buang setiap hari? Mungkin kamu sudah membuangnya ke tempat sampah dan kemudian didaur ulang. Tapi apakah sudah aman untuk lingkungan?
Secara umum, jenis tempat sampah ada tempat sampah organik, tempat sampah daur ulang, dan tempat sampah kompos. Selama ini, banyak dari kita akan memilih tempat sampah daur ulang, tapi itu seringkali pilihan yang salah.
Faktanya, opsi yang paling ramah lingkungan tidak tersedia di tempat sampah. Tapi seharusnya, tidak pernah memakai bungkus atau barang sekali pakai.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Krisis Limbah Global
Melansir Science Alert, para ahli secara luas setuju bahwa manusia menghasilkan limbah di seluruh dunia pada tingkat yang tidak dapat dikelola dan tidak berkelanjutan. Mikroplastik telah mencemari wilayah paling terpencil di Bumi dan menumpuk di tubuh manusia dan hewan.
Memproduksi dan membuang barang merupakan sumber utama emisi gas rumah kaca dan ancaman kesehatan masyarakat, terutama bagi masyarakat rentan yang menerima limbah dalam jumlah besar.
Penelitian baru menunjukkan bahwa bahkan ketika plastik didaur ulang, itu menghasilkan polusi mikroplastik dalam jumlah yang mengejutkan.
Mengingat cakupan dan urgensi masalah ini, pada Juni 2023, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengadakan pembicaraan dengan perwakilan pemerintah dari seluruh dunia untuk mulai menyusun pakta yang mengikat secara hukum yang bertujuan membendung limbah plastik berbahaya.
Sementara itu, banyak kota dan negara bagian AS melarang produk plastik sekali pakai atau membatasi penggunaannya.
Bagaimana Solusinya?
Para ahli telah lama merekomendasikan untuk mengatasi masalah limbah dengan memprioritaskan strategi pengurangan sumber yang mencegah terciptanya limbah sejak awal, daripada berusaha mengelola dan mengurangi dampaknya nanti.
Badan Perlindungan Lingkungan A.S. dan organisasi lingkungan terkemuka lainnya seperti Program Lingkungan PBB menggunakan kerangka kerja yang disebut hierarki pengelolaan limbah yang mengurutkan strategi dari yang paling disukai lingkungan hingga yang paling tidak disukai.
Hierarki pengelolaan sampah yang akrab mendorong orang untuk melakukan urutan tiga hal yakni "Mengurangi, Menggunakan Kembali, Mendaur Ulang".
Membuat barang yang dapat didaur ulang lebih baik dari perspektif keberlanjutan daripada membakarnya di insinerator atau menguburnya di TPA, tetapi tetap menghabiskan energi dan sumber daya.
Sebaliknya, mengurangi timbunan limbah menghemat sumber daya alam dan menghindari dampak lingkungan negatif lainnya selama masa pakai produk.
Mendaur Ulang dengan Buruk
Sebagai contoh, dalam sebuah studi di AS, peserta gagal mendaur ulang sebagai strategi pengelolaan limbah, karena mereka tidak melakukannya dengan baik.
Hal ini tidak mengherankan, karena sistem daur ulang AS saat ini membebankan tanggung jawab kepada konsumen untuk memisahkan bahan yang dapat didaur ulang dan menjauhkan kontaminan dari tempat sampah.
Ada banyak variasi dalam hal apa yang dapat didaur ulang dari komunitas ke komunitas, dan standar ini dapat sering berubah saat produk baru diperkenalkan dan pasar untuk bahan daur ulang bergeser.
Studi kedua kami meminta peserta untuk menyortir barang-barang konsumsi umum ke dalam daur ulang virtual, kompos, dan tempat sampah, lalu mengatakan seberapa yakin mereka dengan pilihan mereka.
Banyak orang menempatkan kontaminan daur ulang yang umum, termasuk kantong plastik (58%), cangkir kopi sekali pakai (46%), dan bola lampu (26%), secara keliru dan seringkali dengan percaya diri menempatkan di tempat sampah daur ulang virtual.
Untuk beberapa bahan, seperti karton dan aluminium foil, jawaban yang tepat dapat bervariasi tergantung pada kapasitas sistem pengelolaan sampah setempat.
Ini dikenal sebagai wish cycling yakni menempatkan barang-barang yang tidak dapat didaur ulang ke aliran daur ulang dengan harapan atau keyakinan bahwa barang-barang tersebut akan didaur ulang.
Wish cycling menimbulkan biaya dan masalah tambahan bagi pendaur ulang, yang harus menyortir bahan, dan terkadang mengakibatkan bahan yang dapat didaur ulang ditimbun atau dibakar.
Meskipun peserta kami sangat bias terhadap daur ulang, mereka tidak yakin itu akan berhasil. Peserta dalam survei pertama kami diminta untuk memperkirakan berapa fraksi plastik yang telah didaur ulang sejak produksi plastik dimulai. Menurut perkiraan yang banyak dikutip, jawabannya hanya 9%.
Responden beralasan bahwa sebagian besar telah berakhir di tempat pembuangan sampah dan lingkungan.
Menurut ahli, ada pendekatan lain yang menempatkan lebih banyak tanggung jawab pada produsen. Caranya adalah dengan meminta mereka untuk mengambil kembali produk mereka untuk dibuang, menutupi biaya daur ulang dan merancang serta memproduksi barang yang mudah didaur ulang secara efektif.
Pendekatan ini digunakan di beberapa sektor di AS, termasuk aki mobil asam timbal dan elektronik konsumen, tetapi sebagian besar bersifat sukarela atau diamanatkan di tingkat negara bagian dan lokal.
(faz/pal)