Kemerosotan jumlah penduduk di Jepang tentunya berbuntut pada jumlah pelajar di Negeri Sakura. Berdasarkan perkiraan terbaru Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Olahraga, Ilmu Pengetahuan, dan Teknologi Jepang, jumlah pelajar yang masuk kuliah pada 2040 di Jepang akan merosot kira-kira sebanyak 130 ribu dari tahun 2022.
Jumlahnya diperkirakan masih mengalami penurunan lagi sebanyak 11 ribu pada 2050. Menurut Thomas Brotherhood dari Rikkyo University, gambaran tersebut memang memprihatinkan, tetapi seharusnya tidak mengejutkan.
"Kampus-kampus akan tahu bahwa kita sudah lama melewati puncak populasi berusia 18 tahun," kata dia, dikutip dari Times Higher Education.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Proyeksi pemerintah Jepang berasumsi bahwa meski tingkat kelahiran di Jepang turun, proporsi mahasiswa internasional di sana akan tetap stabil yakni sebesar 3 persen. Namun, menurut Dr Brotherhood, hal ini perlu diubah.
Menurutnya, para kepala sektor pendidikan bisa belajar dari universitas-universitas yang melawan tren pada beberapa dekade terakhir. Universitas-universitas ini menurutnya berkembang, meski tidak punya prestise atau memiliki posisi sentral pada jajaran kampus terbaik di Jepang.
Beberapa contoh universitas yang dia maksud adalah Ritsumeikan Asia Pacific University (APU), perguruan tinggi swasta di Prefektur Oita. Ada juga Akita International University di Pulau Honshu yang mencontoh perguruan tinggi liberal arts di Amerika.
"Pendekatan mereka sedikit berbeda, tetapi mereka dikenal sebagai perguruan tinggi baru, kecil, dan di pelosok yang tergolong sukses dan mempertahankan mahasiswa dengan relatif stabil," ujarnya.
Disarankan Tiru Korsel
Dr Brotherhood menambahkan, Jepang bisa meniru Korea Selatan yang bahkan menghadapi penurunan demografi lebih curam pada dekade mendatang. Korea Selatan dinilai mampu meningkatkan pendaftaran dengan cara mempromosikan pembelajaran seumur hidup.
Direktur Kantor Perencanaan Internasional Tohoku University, Akiyoshi Yonezawa setuju bahwa kampus-kampus di Korea memiliki langkah yang strategis dan agresif dalam penerimaan mahasiswa internasional. Meski demikian, kata dia, Jepang mempunyai sejumlah keunggulan yang berbeda dari Korea Selatan.
"Keterlibatan pemerintah lokal dengan universitas-universitas di Jepang lebih aktif. Beberapa perguruan tinggi swasta di kota kecil telah bertransformasi menjadi kampus lokal negeri. Ini bisa menjadi contoh yang bagus," kata Yonezawa.
Universitas-universitas swasta yang cenderung bertumpu pada biaya kuliah, menempati tiga perempat sektor pendidikan tinggi di Jepang. Maka dari itu, kampus swasta adalah bagian penting strategi masa depan.
Walau begitu, intervensi lokal disebut barangkali tak cukup. Profesor Yonezawa mengatakan perkiraan jumlah mahasiswa yang ada sekarang dapat menjadi pertanda atas pendekatan yang lebih berat oleh para pembuat kebijakan Tokyo dalam beberapa tahun mendatang.
"Perkiraan ini dapat diinterpretasikan sebagai keinginan pemerintah untuk membangun konsensus dan menjustifikasi intervensi pendidikan tinggi," kata dia.
Dosen Sosiologi Masyarakat Jepang di University of Oxford, Takehiko Kariya sepakat bahwa perkiraan jumlah mahasiswa dalam tahun-tahun mendatang itu dapat menyiratkan keterlibatan Tokyo yang lebih langsung ke depannya.
"Tentu saja, hal itu tidak diutarakan langsung," kata dia. "Bukan urusan pemerintah (Jepang) untuk mengontrol universitas swasta atau bahkan universitas negeri," sebutnya.
Hikmah di Balik Kemerosotan Jumlah Mahasiswa
Namun, Kariya juga mendesak para pembuat kebijakan agar tidak melewatkan hikmah yang bisa berharga.
"Satu hal yang belum dibicarakan adalah, apabila jumlah mahasiswa menurun, tetapi pemerintah berinvestasi lebih, maka artinya rasio mahasiswa-dosen meningkat," ujarnya.
Dia mengatakan, kelas yang lebih kecil bisa meningkatkan kualitas pendidikan di universitas Jepang secara substansial, khususnya kampus swasta yang cenderung memiliki rasio mahasiswa-dosen yang tinggi. Meningkatkan kualitas, yang pada akhirnya dapat meningkatkan kinerja institusi Jepang dan menarik lebih banyak mahasiswa ke institusi yang tak terjangkau.
"Mengapa tidak memanfaatkan penyusutan populasi untuk meningkatkan kualitas pendidikan?" kata dia. "Ini bisa menjadi peluang, bukan risiko," imbuhnya.
(nah/twu)