Sapardi Djoko Damono adalah seorang sastrawan terkenal di Indonesia. Sosoknya telah melahirkan banyak karya sastra, di antaranya adalah puisi.
Dilansir dari laman Ensiklopedia Kemdikbud, Sapardi Djoko Damono lahir di Solo, Jawa Tengah pada tanggal 20 Maret 1940. Ia dikenal sebagai dosen, pengamat sastra, kritikus sastra, juga ahli sastra.
Perannya dalam bidang sastra Indonesia begitu besar. Terbukti dari sejumlah buku yang ditulisnya mengenai kesastraan, yakni Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas (1978), Novel Sastra Indonesia Sebelum Perang (1979), Kesusastraan Indonesia Modern: Beberapa Catatan (1999), Novel Jawa Tahun 1950-an:Telaah Fungsi, Isi, dan Struktur (1996), Politik, Ideologi, dan Sastra Hibrida (1999), Sihir Rendra: Permainan Makna (1999), dan Puisi Indonesia Sebelum Kemerdekaan: Sebuah Catatan Awal.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, Sapardi juga banyak menciptakan karya sastra seperti puisi. Sajak karangannya ini termuat dalam buku; Duka-Mu Abadi (1969), Mata Pisau (1974), Akuarium (1974), Perahu Kertas (1983), Sihir Hujan (1984), Hujan Bulan Juni (1994), Arloji (1998), Ayat-Ayat Api (2000), Mata Jendela (2000), Ada Berita Apa Hari Ini, dan Den Sastro (2003).
A. Teeuw melalui bukunya Sastra Indonesia Modern II (1989) mengungkapkan bahwa Sapardi Djoko Damono merupakan penyair yang orisinil dan kreatif. Sajak susunannya disebutkan berbeda dengan puisi-puisi lain.
Sosok Sapardi tutup usia pada tanggal 19 Juli 2020. Meski demikian, karya-karyanya selalu terkenang dan menjadi kontribusi besar bagi dunia literasi Indonesia.
Untuk mengetahui puisi karya Sapardi Djoko Damono, detikers bisa simak pada uraian di bawah ini.
Kumpulan 10 Puisi Sapardi Djoko Damono
Mengutip berbagai sumber, berikut sejumlah puisi karya Sapardi Djoko Damono yang paling terkenal:
1. Hatiku Selembar Daun
Hatiku selembar daun melayang jatuh di rumput
nanti dulu, biarkan aku sejenak terbaring di sini
ada yang masih ingin kupandang, yang selama ini senantiasa luput
sesaat adalah abadi sebelum kausapu tamanmu setiap pagi.
2. Yang Fana adalah Waktu
Kita abadi memungut detik demi detik
merangkainya seperti bunga
sampai pada suatu hari
kita lupa untuk apa
"Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?" tanyamu
Kita abadi
3. Aku Ingin
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
4. Hujan Bulan Juni
Tak ada yang lebih tabah
Dari hujan bulan Juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
Kepada pohon berbunga itu
Tak ada yang lebih bijak
Dari hujan bulan Juni
Dihapuskannya jejak-jejak kakinya
Yang ragu-ragu di jalan itu,
Tak ada yang lebih arif
Dari hujan bulan Juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan diserap akar pohon bunga itu
5. Duka-Mu Abadi
Dukamu adalah dukaku
Air matamu adalah air mataku
Kesedihan abadimu
Membuat bahagiamu sirna
Hingga ke akhir tirai hidupmu
Dukamu tetap abadi
Bagaimana bisa aku terokai perjalanan hidup ini
Berbekalkan sejuta dukamu
Mengiringi setiap langkahku
Menguji semangat jituku
Karena dukamu adalah dukaku
Abadi dalam duniaku!
Namun dia datang
Meruntuhkan segala penjara rasa
Membebaskan aku dari derita ini
Dukamu menjadi sejarah silam
Dasarnya 'ku jadikan asas
Membangunkan semangat baru
Biar dukamu itu adalah dukaku
Tindakanku biarkan ia menjadi pemusnahku!
6. Sajak Tafsir
Kau bilang aku burung?
Jangan sekali-kali berkhianat
kepada sungai, ladang, dan batu.
Aku selembar daun terakhir
yang mencoba bertahan di ranting
yang membenci angin.
Aku tidak suka membayangkan
keindahan kelebat diriku
yang memimpikan tanah,
tidak mempercayai janji api yang akan
menerjemahkanku ke dalam bahasa abu.
Tolong tafsirkan aku sebagai daun terakhir
agar suara angin yang meninabobokan
ranting itu padam.
Tolong tafsirkan aku sebagai hasrat
untuk bisa lebih lama bersamamu.
Tolong ciptakan makna bagiku,
apa saja - aku selembar daun terakhir
yang ingin menyaksikanmu bahagia
ketika sore tiba.
7. Sementara Kita Saling Berbisik
Sementara kita saling berbisik
untuk lebih lama tinggal
pada debu, cinta yang tinggal berupa
bunga kertas dan lintasan angka-angka
Ketika kita saling berbisik
di luar semakin sengit malam hari
memadamkan bekas-bekas telapak kaki,
menyekap sisa-sisa unggun api sebelum fajar
Ada yang masih bersikeras abadi
8. Sihir Hujan
Hujan mengenal baik pohon, jalan,
dan selokan - suaranya bisa dibeda-bedakan;
kau akan mendengarnya meski sudah kau tutup pintu dan jendela.
Meskipun sudah kau matikan lampu.
Hujan, yang tahu benar membeda-bedakan, telah jatuh
di pohon, jalan dan selokan -
menyihirmu agar sama sekali tak sempat mengaduh
waktu menangkap wahyu yang harus kau rahasiakan
9. Sajak Kecil tentang Cinta
Mencintai angin harus menjadi siut
Mencintai air harus menjadi ricik
Mencintai gunung harus menjadi terjal
Mencintai api harus menjadi jilat
Mencintai cakrawala harus menebas jarak
Mencintaimu harus menjelma aku
10. Ia Tak Pernah
Ia tak pernah berjanji kepada pohon
untuk menerjemahkan burung
menjadi api
Ia tak pernah berjanji kepada burung
untuk menyihir api
menjadi pohon
Ia tak pernah berjanji kepada api
untuk mengembalikan pohon
kepada burung
Itulah 10 puisi karya Sapardi Djoko Damono yang paling populer dan bisa detikers nikmati hingga sekarang. Semoga menjadi informasi bermanfaat!
(fds/fds)