Dinilai Picu Stres, Apakah Anak SD Tetap Perlu Diberi PR?

ADVERTISEMENT

Dinilai Picu Stres, Apakah Anak SD Tetap Perlu Diberi PR?

Fahri Zulfikar - detikEdu
Senin, 19 Jun 2023 19:30 WIB
ilustrasi anak mengerjakan PR
Foto: iStock/ilustrasi PR
Jakarta -

Keberadaan pekerjaan rumah atau PR bagi anak sekolah kerap menjadi momok dan pemicu stres. Tapi kerap hal ini diabaikan dan orang tua cenderung mengatasinya dengan memotivasi kembali sang anak agar tetap mau belajar tanpa memahami kondisinya.

Alhasil, persoalan PR pun kerap menjadi pro kontra dalam sistem pembelajaran di sekolah. Di luar negeri, seperti Amerika Serikat, siswa tanpa PR mungkin dianggap mengkhawatirkan, terutama bagi orang tua yang memimpikan penerimaan anak mereka di Harvard, Stanford atau Yale University.

Namun, di sisi lain, menghilangkan pekerjaan rumah di tingkat SD sebenarnya dapat memiliki manfaat yang besar, terutama yang berkaitan dengan pemerataan pendidikan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT


PR dalam Kacamata Latar Belakang Ekonomi Orang Tua

Melansir laman University of San Diego, salah satu poin pembicaraan paling mendesak seputar PR anak adalah bagaimana hal itu secara tidak proporsional memengaruhi siswa dari keluarga yang kurang mampu.

The American Psychological Association (APA) menjelaskan bahwa anak-anak dari rumah yang lebih kaya, akan cenderung memiliki sumber daya seperti komputer, koneksi internet, area khusus untuk mengerjakan tugas sekolah.

ADVERTISEMENT

Selain itu, mereka juga memiliki orang tua yang cenderung lebih berpendidikan dan lebih siap membantu anak dalam mengerjakan PR yang dinilai rumit.

Kondisi ini berbanding terbalik dengan anak-anak dari keluarga yang kurang beruntung. Sebab, mereka lebih cenderung membantu pekerjaan sepulang sekolah atau berada di rumah tanpa pengawasan di malam hari, sementara orang tua mereka melakukan banyak pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan.

Menambahkan PR ke dalam aktivitas harian mereka yang kurang beruntung secara ekonomi adalah hal yang memusingkan.

Sementara itu, secara umum semua siswa yang kurang beruntung ini mungkin mengeluh saat menyebutkan PR. Ini sekaligus menunjukkan bahwa PR bisa menjadi gangguan yang harus dipikul dan dihadapi.

Tingkat Stres yang Meningkat pada Jenjang SMP-SMA

Selain masalah ekonomi, PR juga dapat berdampak negatif terhadap kesehatan fisik dan stres. Ini tentu bisa diperparah bagi anak-anak dalam ekonomi yang kurang beruntung.

Sebuah penelitian yang dilaporkan CNN tahun 2014, mensurvei lebih dari 4.300 siswa dari 10 sekolah menengah atas negeri dan swasta.

Penelitian menunjukkan bahwa PR yang berlebihan dikaitkan dengan tingkat stres yang tinggi, masalah kesehatan fisik, dan kurangnya keseimbangan dalam kehidupan anak-anak.

Sebanyak 56% siswa dalam penelitian tersebut menyebut pekerjaan rumah sebagai pemicu stres utama dalam hidup mereka.

PR yang Diberikan Terlalu Berlebihan?

National Education Association dan National Parent Teacher Association, AS, merekomendasikan agar siswa menghabiskan 10 menit per tingkat kelas per malam untuk PR.

Artinya, siswa kelas satu harus menghabiskan 10 menit untuk PR, siswa kelas dua 20 menit, dan seterusnya.

Tetapi sebuah penelitian yang diterbitkan oleh The American Journal of Family Therapy menemukan bahwa nyatanya siswa mendapatkan lebih dari itu.

Pusat Statistik Pendidikan Nasional menemukan bahwa siswa sekolah menengah mendapat rata-rata 6,8 jam PR per minggu. Angka ini terlalu tinggi menurut Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD).

Perlu juga dicatat bahwa angka ini tidak mempertimbangkan kebutuhan populasi siswa yang kurang mampu.

PR Bisa Menyakiti Fisik dan Emosional Anak

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh OECD ditemukan bahwa dengan meminta anak-anak menyisihkan satu jam atau lebih per hari waktu khusus PR, itu bisa menyakiti anak-anak, baik secara fisik maupun emosional.

Sebab, secara psikologis, tugas utama anak-anak hingga usia tujuh tahun adalah bermain. Jika waktu bermain terus dikurangi karena PR, hal itu menjadi kurang baik bagi pertumbuhannya.

Terlebih lagi, jika PR harus diselesaikan di rumah. Padahal mereka baru saja seharian belajar selama enam hingga tujuh jam di sekolah.

Kapan PR Bisa Membantu Anak dalam Belajar?

Beberapa peneliti mengatakan persoalan yang perlu digarisbawahi bukanlah apakah anak-anak harus memiliki pekerjaan rumah atau tidak. Sebab, PR juga bisa menjadi waktu latihan anak untuk terus mengasah kemampuan belajarnya.

Menurut peneliti, persoalan PR harusnya lebih tentang jenis pekerjaan rumah yang dimiliki siswa dan berapa banyak. Agar efektif, pekerjaan rumah harus memenuhi kebutuhan siswa.

Para peneliti di Universitas Indiana berpendapat bahwa PR tidak menghasilkan lebih banyak penguasaan konten, tetapi lebih mengenal jenis pertanyaan yang muncul pada tes standar.

"Hasil kami mengisyaratkan bahwa mungkin pekerjaan rumah tidak digunakan sebaik mungkin," kata Profesor Adam Maltese, salah satu penulis studi tersebut.

Jadi, semua guru harus memikirkan dengan hati-hati tentang kebijakan PR mereka. Dengan membatasi jumlah pekerjaan rumah dan meningkatkan kualitas tugas, guru mungkin dapat meningkatkan hasil belajar siswanya.

Antara Anak dan Orang Tua: Buat Rencana Pengerjaan PR

Menurut psikolog anak Kenneth Barish dalam situs Western Governors University, pertengkaran soal PR jarang menghasilkan perbaikan anak di sekolah.

Anak-anak yang tidak mengerjakan pekerjaan rumahnya tidak berarti malas. Tetapi mereka mungkin frustasi, putus asa, atau cemas.

Barish menyarankan agar orang tua dan anak-anak memiliki 'rencana pekerjaan rumah' yang membatasi waktu yang dihabiskan untuk pekerjaan rumah.

Rencana tersebut harus mencakup mematikan semua perangkat, bukan hanya milik siswa, tetapi milik semua anggota keluarga. Setelahnya, anak-anak bisa kembali ke dunia mereka yang seharusnya, yakni dunia bermain.




(faz/nwy)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads