Pacaran virtual atau proses menjalin hubungan secara online dengan seseorang lazim terjadi. Fenomena ini juga berkembang kala pandemi Covid-19.
Keterbatasan ruang untuk sosialisasi secara langsung membuat sejumlah orang beralih menggunakan internet untuk menambah teman. Berbagai fitur aplikasi dan situs tampak mampu membuat asmara tumbuh di ranah maya. Namun, tidak jarang orang terlibat jadi lupa diri dan menyesal, seperti dikutip dari laman Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Senin (5/6/2023).
Dosen Ilmu Komunikasi sekaligus peneliti bidang Gender dan Anak Unesa, Putri Aisyiyah Rachma Dewi, S Sos M Med Kom menjelaskan, pacaran virtual bisa diartikan sebagai hubungan yang terjalin di dunia maya tanpa adanya pertemuan di dunia nyata.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia menambahkan, pacaran virtual juga dapat berarti hubungan dengan komunikasi-interaksi secara maya yang lebih banyak ketimbang pertemuan langsung di ruang nyata.
Proses Terbentuknya Fenomena Pacaran Virtual
Putri berpendapat bahwa fenomena pacaran virtual tak bisa dihindarkan seiring berkembangnya teknologi dan komunikasi. Proses terbentuknya fenomena pacaran virtual sendiri bisa melalui chat, panggilan telepon, hingga video call.
Ia menjelaskan, rasa nyaman yang timbul karena kegiatan berulang itu mendorong seseorang memilih pacaran virtual.
"Rasa nyaman ini disebabkan karena konsep diri yang merasa kurang di lingkungannya. Di ranah virtual, orang bisa lebih leluasa menciptakan karakter dirinya sesuai yang diinginkan lewat berbagai fasilitas yang memang dibuat untuk itu seperti filter wajah dan sebagainya," kata Putri
dalam webinar 'Lorong Gelap Pacaran Virtual' oleh Sub Direktorat Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual (PPKS) Unesa baru-baru ini.
Selain itu, seseorang bisa menjadi apapun dan memilih lingkungan yang sesuai dengan minat dan hobinya. Hal ini, sambung Putri, bisa menjadi tempat pelarian dari kehidupan di dunia nyata.
"Di lingkungan virtualnya itu mereka bisa nonton atau game bareng tanpa harus ditanya kapan nikah, kapan wisuda, kapan kerja," ujar Putri.
Risiko Fenomena Pacaran Virtual
Putri mengakui, ada beberapa pasangan yang berkenalan melalui dunia maya lalu berhasil melangkah ke dunia nyata hingga menikah. Meski begitu, bak dua sisi koin, berbagai risiko juga bisa timbul dari pacaran virtual.
Ia mengatakan, berbagai kasus pacaran virtual memiliki risiko jejak digital yang membahayakan. Lebih jauh, dalam pacaran virtual juga berisiko timbul tindakan kekerasan seksual.
Pada kesempatan yang sama, Iman Pasu Marganda Hadiarto Purba SH MH, Kepala Sub Direktorat PPKS Unesa menuturkan pengalamannya menerima klien akibat fenomena pacaran virtual. Beberapa di antaranya mengeluhkan jejak digital yang masih tertinggal di pasangan mereka.
Iman menjelaskan, akibatnya, jejak digital itu menjadi sebuah beban. Jejak digital sendiri bisa foto, video, atau lainnya yang kemudian dijadikan sebagai alat pemerasan atau ancaman lain. Bahaya tindak pelaku mengekspos dan jejak digital yang tersebar ini, tegasnya, perlu dihindari.
"Menurut saya, jejak digital karena pacaran virtual inilah yang sangat berbahaya yang harus dipikirkan anak-anak muda sekarang," ucapnya.
Di sisi lain, ia menegaskan, orang yang menyimpan dan menyebarkan foto atau video tak senonoh pasangan maupun bukan pasangan ke publik terancam UU PPKS, UU Pornografi,dan UU ITE. Dengan begitu, Iman mengingatkan muda-mudi yang melakukan pacaran virtual untuk waspada, memahami batasan dan bahayanya.
"Jangan mudah percaya dan berani katakan tidak atau menolak terhadap perbuatan yang tidak nyaman atau berisiko. Intinya waspada, yang fotonya tersebar bahaya, yang nyebarin juga bahaya," tutup Iman.
(twu/twu)











































