Makan nasi lazim dilakukan orang Indonesia. Sejumlah guru besar dan ahli menjelaskan hubungannya dengan ketahanan pangan di RI.
Dirjen Kebudayaan Kemendikbudristek Hilmar Farid, PhD menjelaskan, ada homogenisasi selera konsumsi pangan pada beras di RI selama 30 tahun terakhir.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di sisi lain, konsumsi gandum di Indonesia mengalahkan konsumsi beras, sementara RI tidak memproduksi gandum sebanyak beras.
Lebih jauh, konsumsi jagung, kentang, sorgum, dan lainnya sebagai bahan makanan pokok di Indonesia juga tidak setinggi beras dan gandum.
"Masalah (ketahanan pangan) muncul ketika kita bergantung pada pangan tersebut," kata Hilmar dalam webinar Komisi IV Dewan Guru Besar UI, dilansir Rabu (10/5/2023).
Kenapa Banyak Orang Indonesia Makan Nasi?
Prof Dr Semiarto Aji Purwanto dari Universitas Indonesia (UI) mengatakan, kebijakan homogenitas pangan di masa lalu mengakibatkan makanan pokok orang Indonesia terpusat pada beras alias terbiasa makan nasi.
Aji menjelaskan, kebiasaan makan nasi atau roti menunjukkan peristiwa budaya yang sangat dekat dengan keseharian. Ada pengalaman makan dan merasakan kekayaan rasa, yang disebut sebagai khasanah rasa
Khasanah rasa, sambung Aji, diekspresikan secara berbeda di berbagai daerah. Namun dengan kebijakan terpusat untuk makan nasi atau konsumsi beras, khasanah rasa terkikis.
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UI ini menjelaskan, anak muda perlu ikut mengubah kembali kebiasaan dan pola makan. Dengan begitu, khasanah rasa dapat muncul kembali di masyarakat.
Hilmar mencontohkan, kampus dan anak mudanya dapat mengenalkan lagi produk-produk lokal. Kemudian, kolaborasi antara produsen pangan dan ahli gastronomi untuk menghasilkan karya yang dapat diterapkan warga.
Bahan Pangan & Kurang Gizi
Prof Sandra Fikawati dari UI menambahkan, di samping soal rasa, konsumsi makanan bergizi mikro dan mengatasi kelebihan gizi penting orang Indonesia.
Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat UI ini menjelaskan, Indonesia mengalami masalah defisiensi zat gizi mikro dan kelebihan gizi.
Kekurangan hingga defisiensi gizi rentan dialami balita, ibu hamil, dan remaja. Sementara itu, anak sekolah dan dewasa memiliki risiko mengalami kelebihan gizi, seperti overweight dan obesitas.
Alternatif Bahan Pangan Pokok
Menyoal alternatif nasi dan olahan gandum, Rektor IPB University Prof Arif Satria mengatakan, Indonesia punya 5 juta hektar kebun sagu yang belum dimaksimalkan. Menurutnya, sumber pangan lokal seperti sagu butuh pengentasan stigma negatif agar disukai lebih banyak orang.
Arif menjelaskan, penghapusan stigma dapat dilakukan dengan kampanye, revolusi meja makan, hingga revolusi pendidikan di bidang pangan.
Upaya ini, sambungnya, turut dapat mengatasi soal impor gandum, ketahanan pangan, dan berkurangnya devisa negara dalam jangka panjang.
"Hal ini dapat menguntungkan kedua pihak, baik konsumen maupun petani," kata Arif.
Ketua Dewan Guru Besar (DGB) UI Prof Harkristuti Harkrisnowo menjelaskan, isu ketahanan pangan dan perbaikan gizi menjadi masalah krusial di Indonesia karena berkaitan dengan upaya meningkatkan kualitas hidup warga.
Meski berhasil memenuhi 69,16% dari keseluruhan SDGs berdasarkan Sustainable Development Report 2022, Indonesia masih belum mencapai SDGs pada bagian ketahanan pangan dan hidup sehat.
"Indonesia nampaknya harus belajar dari negara-negara tetangga kita untuk bisa menyediakan lahan pertanian produktif, infrastruktur pertanian yang memadai, serta memastikan distribusi pangan yang merata, terutama saat terjadi permasalahan global-seperti perang Rusia dan Ukraina-yang memengaruhi ketahanan pangan Indonesia," pungkasnya.
(twu/pal)