Kuntilanak pernah diteliti antropolog Jerman, Timo Duile berkaitan dengan hubungan sosial masyarakat dengan narasi yang telah menjadi kepercayaan. Sebelum itu, ternyata ada antropolog yang telah meneliti kepercayaan terhadap makhluk halus tuyul pada tahun 1950-an.
Catatan penelitian mengenai tuyul tersebut, dilakukan oleh Clifford Geertz, antropolog asal Amerika Serikat (AS). Ia melakukan kajian antropologi klasik mengenai agama di Jawa dengan menghasilkan buku berjudul "Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa."
Penciptaan buku Clifford Geertz ini bermula ketika di awal tahun 1950-an, enam orang calon PhD dari Harvard University dikirim ke Indonesia untuk meneliti berbagai aspek kehidupan masyarakat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Geertz berpendapat bahwa sebagian masyarakat Jawa memiliki kepercayaan terhadap makhluk halus.
Kemudian ia dan ilmuwan lain mengambil sebuah kota kecil yang disamarkan dengan nama 'Mojokuto' di wilayah Jawa Timur dan memilih aspek-aspek tertentu dari kehidupan sosial.
Kota itu dijelaskan, terletak di ujung paling timur dari sebuah persawahan yang besar dan beririgasi. Sebagai pusat perdagangan, pendidikan dan pemerintahan untuk 18 desa di sekitarnya, kota Mojokuto berpenduduk sekitar 20.000 orang.
Mereka terdiri atas 18.000 orang Jawa, 1.800 orang Cina dan selebihnya orang-orang Arab, India serta minoritas lainnya.
Catatan Penelitian tentang Tuyul pada Era 1950-an
Dalam bukunya, "Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa", Geertz menekankan bahwa ia tidak membahas apakah tuyul itu nyata atau rekaan.
Namun, ia lebih tertarik memahami fungsi keyakinan tersebut bagi masyarakat Mojokuto, yang ia teliti.
Dalam beberapa kepercayaan yang ia dengar, ia kemudian menyebutkan ada tiga jenis makhluk halus yang utama yakni memedi (secara harfiah berarti tukang menakut-nakuti), lelembut (makhluk halus) dan tuyul.
Untuk tuyul, ia mendefinisikan sebagai makhluk halus anak-anak (anak-anak yang bukan manusia). Mereka tidak mengganggu, menakuti orang atau membuatnya sakit.
"Sebaliknya, mereka sangat disenangi manusia, karena membantu manusia menjadi kaya," ujar Geertz.
Menurut narasumber yang ia dengar, bagi orang yang ingin berhubungan dengan tuyul, maka orang itu harus berpuasa serta bersemadi.
Kemudian banyak orang Mojokuto beranggapan bahwa seseorang perlu membuat semacam perjanjian dengan setan, supaya tuyul mau menerima tawarannya.
Setelah itu, orang itu akan bisa melihat tuyul dan untuk selanjutnya, bisa mempekerjakan mereka buat kepentingannya sendiri. Tidak hanya uang, ada banyak anggapan bahwa tuyul juga mencuri pada di desa-desa.
"Kalau orang mau kaya, ia bisa menyuruh mereka mencuri uang. Mereka bisa menghilang dan bepergian jauh hanya dalam sekejap mata hingga tidak akan mengalami kesulitan dalam mencari uang untuk tuannya," tulisnya.
Namun, Geertz menjelaskan bahwa dalam penelitiannya, tidak ada ajaran mengenai hal ini. Pendapat yang dijelaskan tersebut adalah pendapat narasumber sendiri dan pendapat tersebut secara kasar mirip dengan orang-orang lain tentang makhluk halus.
Pendapat dan Pengalaman Pribadi Beberapa Orang
Dalam penelitiannya di masyarakat Jawa di Mojokuto, Geertz menjelaskan bahwa pembicaraan dan perdebatan tentang dunia makhluk halus cukup banyak.
Termasuk adanya beberapa kesepakatan tentang keberadaan dan pentingnya makhluk adikodrati (yang sebagai suatu kelompok, disebut bangsa alus).
"Tetapi setiap orang tampaknya mempunyai pendapat sendiri mengenai sifat dasarnya serta pengalaman pribadi untuk membuktikannya," jelas Geertz.
Meski ada kesepakatan, tapi kepercayaan kalangan 'abangan' di Mojokuto terhadap makhluk halus bukanlah bagian dari sebuah skema yang konsisten, sistematis dan terintegrasi.
"Lebih berupa serangkaian imaji yang berlainan, konkret, spesifik serta terdefinisikan secara agak tajam, metafora-metafora visual yang tidak terkait satu sama lain memberi bentuk kepada berbagai pengalaman yang kabur dan yang kalau tidak demikian, tidak akan dapat dimengerti," ungkap antropolog Amerika tersebut.
Bagi Geertz, dunia makhluk halus termasuk tuyul adalah dunia sosial yang ditransformasikan secara simbolik.
Kepercayaan terhadap makhluk halus itu juga memberikan makna yang lebih luas dan lebih umum daripada sekadar penjelasan terpisah yang biasa orang dapatkan mengenai luka yang tak tersembuhkan, gangguan psikologis serta hal yang tak masuk akal.
(faz/nwk)