Pada 3 Februari 2023 lalu media sosial Twitter dihebohkan oleh rekaman video matahari merah. Hal itu disampaikan oleh Tamitha Skov, seorang komunikator sains dan ilmuwan riset di The Aerospace Corporation di California.
Dilansir melalui laman Live Science, Senin (13/2/2023) Tamitha Skov memposting rekaman video dari peristiwa yang ditangkap oleh NASA's Solar Dynamics Observatory. Peristiwa itu disebut dengan fenomena 'polar vortex' Matahari yang terjadi pada 2 Februari 2023.
Fenomena itu memperlihatkan sebuah serabut plasma besar yang pecah di atmosfer Matahari. Sebelum jatuh, serabut plasma itu mengitari kutub utara Matahari dengan kecepatan ribuan mil per menit lalu menghilang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lalu apa sebenarnya fenomena polar vortex? Berikut penjelasannya dilansir melalui sumber yang sama.
Fenomena 'Polar Vortex' Matahari
Di Bumi, polar vortex adalah area bertekanan rendah dengan bentangan luas udara dingin yang berputar-putar, yang terparkir di wilayah kutub, demikian dilansir dari National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA/Badan Nasional Kelautan dan Atmosfer AS-red). Selama musim dingin, pusaran kutub di Kutub Utara mengembang, mengirimkan udara dingin ke selatan. Ini terjadi secara teratur dan sering dikaitkan dengan wabah suhu dingin di Amerika Serikat.
Bagaimana bila 'polar vortex' itu terjadi di Matahari? Pada dasarnya fenomena polar vortex terjadi ketika serabut plasma (gas bermuatan listrik yang membentuk bintang) ditembakkan atau pecah dari permukaan Matahari dan menciptakan keadaan yang terus berulang yang disebut prominensa Matahari atau solar prominence.
Dilansir dari laman Itera, prominensa atau biasa dikenal sebagai lidah api Matahari adalah fitur besar yang membentang dan membentuk loop (untai) keluar dari permukaan Matahari (fotosfer) hingga ke atmosfer terluar Matahari (korona). Diketahui bahwa Matahari memiliki medan magnet yang tidak merata di setiap bagiannya. Meski Matahari tetap memiliki kutub utara dan selatan, namun akibat rotasi serta medan magnet yang ada dimana-mana dan tidak stabil, mengakibatkan terjadinya sunspot (bintik Matahari). Bila terdapat sunspot, berarti ada medan magnet Matahari yang masuk atau keluar dengan membawa plasma. Karena terbentuknya di beberapa tempat, maka mengakibatkan terjadinya puntiran, tabrakan di antaranya dan jadilah prominensa.
Saat plasma Matahari pecah ke sepanjang garis medan magnet, hal tersebut dapat berputar di luar angkasa sejauh ratusan ribu mil. Mereka akan berputar-putar di sekitar kutub Matahari. Tamitha Skov menjelaskan siklon yang berisi serabut plasma akan menyerupai fenomena polar vortex di Bumi.
Karena kejadian yang membuat heboh ini, para ilmuwan ikut angkat bicara dan penasaran. Seperti Scott McIntosh, fisikawan Matahari dan wakil direktur di National Center for Atmospheric Research di Boulder, Colorado.
Ia menjelaskan kalau dirinya belum pernah melihat serabut plasma yang pecah seperti kejadian di fenomena 'polar vortex' Matahari itu. Namun, Scott McIntosh menjelaskan bila serabut plasma memang secara teratur meletus di daerah garis lintang 55 derajat Matahari.
Di tempat itu pula yang terekam melalui kamera NASA's Solar Dynamics Observatory yang kemudian dibagikan oleh Tamitha Skov. Menurut Scott McIntosh, serabut yang pecah dalam fenomena 'polar vortex' Matahari bukan hal yang umum terjadi.
Dampak 'Polar Vortex' Matahari, Berbahaya Bagi Bumi?
Filamen atau serabut Matahari seperti ini muncul lebih umum saat siklus aktivitas 11 tahunan Matahari, saat Matahari mengalami fenomena solar maximum atau dalam periode paling aktifnya. Selama solar maximum, garis medan magnet Matahari kusut dan pecah dengan frekuensi tinggi, menciptakan banyak bintik Matahari dan menyemburkan aliran besar plasma jauh ke luar angkasa. Solar maximum berikutnya diperkirakan akan dimulai pada tahun 2025, dan aktivitas Matahari jelas meningkat dalam beberapa bulan terakhir.
Filamen atau serabut plasma yang pecah dari Matahari itu tidak menimbulkan ancaman bagi Bumi. Namun, filamen yang meletus dapat menyebabkan pelepasan gumpalan besar plasma dan medan magnet yang bergerak cepat yang disebut coronal mass ejections (CMEs), menurut Pusat Prakiraan Cuaca Luar Angkasa NOAA. Jika salah satu dari gumpalan bermuatan listrik ini kebetulan melewati Bumi, itu dapat merusak satelit, memicu kegagalan jaringan listrik yang meluas dan mendorong aurora warna-warni terlihat di garis lintang Bumi yang jauh lebih rendah dari biasanya.
Untungnya, fenomena 'polar vortex' Matahari pada 2 Februari 2023 lalu tidak mengarah ke Bumi dan tidak melepaskan CME.
"Namun, penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengetahui dengan tepat bagaimana dan mengapa pusaran Matahari yang langka ini terbentuk - dan konsekuensi apa, jika ada, yang dapat dihasilkan," demikian kata McIntosh.
(nwk/nwk)