Gagasan itu punya dimensinya. Dua, jumlahnya. Waktu dan tempat. Zaman dan makan. Itu istilah Arabnya. Disingkatnya zamkaniyah. Waktu menjadi konteks yang menunjuk kepada dimensi kapan gagasan dikeluarkan. Tempat merujuk kepada konteks wiayah atau area yang menjadi lahan tumbuhnya gagasan itu.
Maka, membaca gagasan, opini, pikiran, atau bahkan cuitan dan serpihan angan sekalipun tidak bisa dilepaskan dari dimensi zamkaniyah itu. Bahkan, kata "harus" merupakan amanah suci yang wajib ditegakkan terhadap prinsip zamkaniyah itu saat semua kita dituntut untuk mendapatkan kejernihan dalam memahami gagasan, opini, pikiran, cuitan atau bahkan serpihan angan itu.
Melepaskan dimensi zamkaniyah hanya akan menjauhkan kita dari kemuliaan diri. Jika itu terjadi, bukan kejernihan yang muncul, tapi dekil akademik yang menyolok. Kebusukan akademik juga akan mengemuka. Karena, melepaskan gagasan, opini, pikiran, cuitan atau bahkan serpihan angan sekalipun dari konteks zamkaniyah akan serta merta menjauhkan kita dari substansi yang dikandung. Bias pun akan lahir. Kekacauan berpikir pun akan mengalir. Ujungnya, umpatan dan cacian akan lebih mendominasi daripada pemahaman yang penuh apresiasi. Penggunaan kata-kata pejoratif hanya menjadi akibat saja dari gambaran atas umpatan dan cacian dimaksud.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Semua kita diajari untuk menjauhi prinsip anakronisme sejarah (historical anachronism). Sebuah fakta jangan dilepaskan dari konteks sejarahnya, baik dalam dimensi sosial, politik, dan bahkan kebatinan saat fakta itu terjadi. Agar memotretnya penuh dengan kearifan. Agar memahaminya bisa lebih utuh. Jika dilepaskan dari konteks sosial, politik, dan bahkan kebatinan itu, sebuah fakta akan tercerabut dari dimensi zamkaniyah-nya. Pemahaman yang ditarik darinya pun akan bermasalah. Ia akan kehilangan basis sejarah yang mewadahi realitasnya.
Maka, membaca respon dalam bentuk gagasan, opini, pikiran, cuitan, atau bahkan serpihan angan terhadap mekanisme pengangkatan dan pemberhentian rektor dan ketua pada perguruan tinggi keagamaan (PTK) yang kini mengemuka juga harus diletakkan ke dalam konteks zamkaniyah-nya. Gagasan, opini, pikiran, cuitan atau bahkan serpihan angan yang mempermasalahkan mekanisme pengangkatan dan pemberhentian rektor dan ketua pada PTK yang kini meramaikan jagad maya harus diletakkan dalam konteks politik lokal kampus PTK yang sedang menghangat dalam proses seleksi pada pemilihan rektor. Ini penting dicatat agar komen, cuitan atau apapun serpihan angan apapun yang keluar tidak terlepas dari konteksnya. Intinya, politik lokal kampus harus diberi catatan tebal. Politik lokal tidak boleh digunakan untuk melihat konteks nasional yang gambarnya lebih besar dan kompleks.
Regulasi Itu, Salahkah?
Bukankah regulasi soal pengangkatan dan pemberhentian rektor dan ketua pada PTK bukan sesuatu yang baru? Bukan lahir kemarin sore? Coba tengok regulasi itu. Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 68 Tahun 2015 yang mendasari kebijakan pengangkatan dan pemberhentian rektor dan ketua pada PTK sudah berusia delapan tahun. Artinya, sudah dua masa jabatan rektor atau ketua telah melewati mekanisme itu untuk proses pengangkatan dan pemberhentian pimpinan pucuknya.
Pertanyaannya lalu, kenapa mengemuka hari-hari ini? Dimensi zamkaniyah dari serpihan angan atau cuitan itu harus diletakkan dalam konteks dan posisi politik lokal saat opini, gagasan, serpihan angan atau cuitan muncul hari-hari belakangan ini. Padahal, lahirnya PMA Nomor 68 Tahun 2015 di atas memiliki latar belakang tersendiri, khususnya menguatnya polarisasi kampus di PTK. Pertimbangan "tidak sesuai dengan perkembangan dan dinamika perguruan tinggi" yang menggambarkan fakta-fakta di lapangan atas polarisasi warga kampus menjadi semangat dasar lahirnya PMA Nomor 68 Tahun 2015 sebagai pengganti dari Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 11 Tahun 2014 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Rektor dan Ketua pada Perguruan Tinggi Keagamaan yang Diselenggarakan oleh Pemerintah.
Mungkin muncul pertanyaan, bukankah waktunya sudah berubah? Ya, benar. Waktu sudah berubah. Tapi karena rektor itu jabatan publik, tetap saja konteks konteks sosial, politik, dan bahkan kebatinan di banyak lokal mengemuka dengan caranya sendiri. Di sinilah, orang kemudian menghindari perjudian nasib. Orang tidak ingin berasumsi liar. Kembali ke pengalaman akhirnya menjadi pilihan terbaik. Publik berharap pilihan itu akan menjaga dan sekaligus memperkuat marwah kampus.
Perkara di "kamar sebelah" ada nuansa yang berbeda, itu juga menjadi bagian dari pengalaman sejarah yang masing-masing memiliki dimensi zamkaniyah. Maka, saat ada nuansa yang berbeda, itu sah-sah saja. Karena konteks sosial, politik, dan bahkan kebatinan masing-masing juga berbeda.
Apakah kampus tidak punya taji dalam mekanisme pengangkatan dan pemberhentian rektor dan ketua pada PTK? Bukankah PMA Nomor 68 Tahun 2015 memberikan ruang untuk partisipasi para pihak dalam mekanisme pemilihan rektor itu. Ada proses di Senat Akademik PTK. Ada proses uji kepatutan dan kelayakan di Komisi Seleksi. Dan proses akhirnya setelah diperoleh tiga nama terbaik diserahkan kepada Menteri Agama RI. Sebagai perguruan tinggi yang dibiayai oleh pemerintah, maka sudah sepantasnya Menteri Agama mewakili pemerintah dalam soal pengangkatan dan pemberhentian rektor dan ketua pada PTK. Soal ada variasi dibanding kondisi di "kamar sebelah", itu sah-sah saja dengan pengalaman dan masa lalu masing-masing.
Menjauhi Polarisasi
Tidak ada kebijakan yang memuaskan semua orang. Tak pula ada kebijakan yang menyenangkan semuanya. Tapi kebijakan sebesar-besarnya untuk kemaslahatan umum. Minimal, bentuknya adalah tiadanya polarisasi yang akut. Bukankah, negeri ini pernah mengalaminya? Dampaknya pun masif tak terkendali, bukan? Seakan polarisasi melembaga tanpa makna. Tapi warga bangsa seakan terhipnotis untuk mengikutinya. Jika ingin eksis, Anda harus menjadi bagian dari kelompok terpolarisasi itu. Itu asumsi dan angan-angan yang mengemuka. Tanpa ada proses koreksi.
Lama kampus menjadi ajang eksperimentasi anggitan faksionalisme. Polarisasi akut lahir justeru karena eksperimentasi anggitan faksionalisme itu tak pernah mendapatkan proses koreksi yang terukur. Kita tidak menafikan adanya faksi-faksi. Tapi, kampus tak sepantasnya dibangun dari faksionalisme yang potensial meruntuhkan marwah akademik yang menjadi ruh perguruan tinggi.
Masing-masing warga kampus sudah sewajarnya memiliki latar belakang sosiokultural dan politik tersendiri. Tapi, begitu bicara soal marwah akademik kampus, seharusnya faksinya cuma satu: faksi PTK. Bukan faksi A, faksi B, faksi C, dan atau faksi D yang mengemuka dan mengharubiru di PTK. Jika yang terjadi sebaliknya, maka akan muncul dampak ikutan yang akut: saat faksi A memimpin, maka anggota faksi B, C atau D bisa hilang dari peredaran. Saat faksi B memimpin, maka yang lain bisa hilang dari panggung khidmat. Tentu, jika yang terakhir ini yang mengemuka, maka kampus tak ubahnya seperti partai politik. Polarisasi dan faksionalisme menjadi bagian sentral dari gambaran seperti ini.
Jangan pernah berharap kampus melangit. Pun jangan pernah bermimpi kampus terbang tinggi. Itu jika polarisasi menghantui. Kebencian kelompok tak tertandingi. Mengintai sampai nanti. Menjungkirkan nurani. Akhirnya, civitas politika pun lebih mendominasi. Civitas akademika kehilangan esensi. Hanya tinggal mimpi. Dan, akademik pun bukan lagi ruh yang mengilhami. Kalah oleh buncahan syahwat politik yang melumuri diri.
Akh. Muzakki
Penulis adalah Guru Besar dan Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya
(erd/erd)