Lahirnya R20 Bukti Ada Masalah dalam Agama

ADVERTISEMENT

Kolom Hikmah

Lahirnya R20 Bukti Ada Masalah dalam Agama

Ishaq Zubaedi Raqib - detikEdu
Minggu, 23 Okt 2022 05:30 WIB
Ishaq Zubaedi Raqib Ketua LTN PBNU
Foto: Dokumen Pribadi Ishaq Zubaedi Raqib
Jakarta -

Negara Equator

Hingga sejauh ini, belum ada data dan penjelasan memadai mengapa empat pendiri mazhab besar fiqih dalam Islam, lahir di satu kawasan yang saling berdekatan. Paling tidak, kedekatan itu bisa ditarik dalam satu garis lintasan matahari ; equator.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Di seputar khattul istiwa' ini, lahirlah para imam mulia itu. Lahir di abad pertama dan kedua hijriyah. Karena itu, "masail diniyah" yang muncul, "illat" hukumnya mirip, dan berdekatan jalan keluarnya.

Bahkan era kelahiran mazhab Hanafi, masih berdekatan dengan era para Tabi'in alias murid para Sahabat Nabi. Mazhab Hanafi didirikan oleh Imam Abu Hanifah an-Nu'man bin Tsabit. Dia lahir di Kufah, Irak pada 80H.

ADVERTISEMENT

Sepuluh tahun kemudian, yakni 90 H, pendiri mazhab Maliki, Imam Malik ibn Anas bin Malik bin 'Amr al-Asbahi, lahir di Madinah, Arab Saudi. Satu daerah yang iklimnya panas membara akibat sering dilewati rotasi matahari.

Sedang Abu Abdillah Muhammad bin Idris asy-Syafi'i, pendiri mazhab Syafi'i, lahir pada tahun 150 H di Ashkelon, Gaza, Palestina. Daerah yang terus bergejolak hingga kini. Sementara pendiri mazhab Hambali, Imam Ahmad bin Hanbal lahir pada tahun 164 di Mary, Turkmenistan, Asia Tengah. Daerah yang terletak di utara Afghanistan ini, berbatasan langsung dengan Iran. Meski terasa dingin pada musim tertentu, tapi matahari masih sangat kuat menyengat di daerah itu.

Fikih Matahari

Pelaksanaan sejumlah ibadah mahdah dalam Islam, telah ditentukan waktu-waktunya. Penetapan waktu-waktu itu berdasar pamahaman atas dalil Alquran atau keterangan dari hadits Nabi. Puasa wajib, misalnya, hanya dilakukan di bulan Ramadan. Ibadah haji harus di bulan Zulhijjah. Zakat bergantung "haul" alias pergantian setahun berjalan dan "yauma hashodih." Salat maktubah, waktu-waktunya ditentukan berdasar atas pergantian siang dan malam.

Sampai di sini, fikih puasa, fikih haji, fikih zakat dan fikih salat, dapat dilaksanakan sebagaimana syarat dan rukun yang ditetapkan. Umat Islam di Irak, Madinah, Palestina dan yang tinggal di Turkmenistan, bisa tepat waktu melakukan semua ibadah. Keempat daerah tempat kelahiran para imam mazhab itu, adalah rute tetap matahari mengitari bumi. Jika pun ada pergantian musim, itu tidak akan mengubah waktu secara ekstrem.

Puasa Ramadan, misalnya, dimulai sejak sebelum masuk waktu subuh dan baru boleh berbuka setelah matahari tenggelam di ufuk barat. Panjang pendek waktu puasa berbeda pada sejumlah negara. Ada yang harus berpuasa dua puluh jam, tetapi ada pula yang belasan jam. Bahkan, umat Islam di Indonesia, memiliki tiga jam berbeda. WIT, WITA dan WIB. Negara-negara di equator, mengalami lintasan matahari yang nyaris sama.

Umat Islam di kawasan tersebut, melaksanakan salat subuh sejak terbit fajar shadiq dan berakhir sebelum matahari terbit. Salat dzuhur baru bisa dilakukan setelah matahari bergeser dari ubun-ubun ke arah barat, hingga masuk waktu asar. Kapan waktu asar ? Yaitu ketika panjang bayangan suatu benda sama panjangnya dengan panjang benda tersebut. Sedang salat maghrib dilakukan usai matahari tenggelam.

Sampai kapan ? Hingga hilangnya mega-mega jingga di horison langit. Setelah itu, baru masuk waktu isya. Waktu salat ini paling panjang. Dari usai waktu maghrib hingga menjelang tiba fajar kadzib. Demikian, perjalanan waktu-waktu salat bagi kaum muslimin. Waktu-waktu ini harus dijaga. Melaksanakan salat di luar waktu yang ditentukan, bisa menyebabkan tidak terpenuhinya rukun, syarat wajib dan syarat sahnya.

Negara Non Equator

Sampai di sini, tak ada masalah serius dengan "kaifiyat" pelaksanaan ibadah-ibadah mahdah. Para imam mazhab menetapkan waktu-waktu ibadah dengan menarik dalil dari hasil ijtihad menafsir firman suci dan sabda rasul. Ijtihad dilakukan, antara lain, berdasar situasi di mana sang mujtahid tinggal. Karena alasan itu pula, Imam Syafi'i diketahui menerbitkan dua macam "qaul". Qaul Qadim ; produk hukum selama di Irak dan Qaul Jadid saat tinggal di Mesir.

Irak dan Mesir adalah dua negara yang secara berkala dilewati matahari. Lalu, bagaimana dengan umat Islam yang menetap di negara-negara non equator ? Bagaimana mengatur waktu puasa dan salat di negara empat musim ? Bukan dua musim sebagaimana negara-negara tropis. Umat Islam yang tinggal dan menetap di negara subtropis, dengan pergantian musim tiap tiga bulan, pasti mengalami kendala waktu. Ukuran siang dan malam mereka, berbeda secara ekstrem.

Melaksanakan ibadah puasa dan salat dengan menggunakan fikih tropis, akan sangat memberatkan bagi penduduk muslim di negara subtropis. Matahari yang biasa rutin hadir di siang-siang hari masyarakat tropis, bisa hadir hanya sewaktu-waktu di negara subtropis. Di negara-negara seperti Eropa Barat, kawasan Skandinavia, atau Kanada dan sebagian Amerika Serikat, apalagi kutub utara dan selatan, panjang siang dan malamnya berjarak sangat ekstrem.

Kaidah yang umum dan jamak dilakukan umat Islam dalam salat adalah seperti tuntunan Rasulullah SAW. "Salatlah kalian sebagaimana (kalian melihat) saya salat." Demikian, kurang lebih yang dipahami umat Islam di Saudi Arabia, tempat kelahiran Nabi, dan Indonesia tempat ratusan juta penganut paham Ahlus Sunnah Wal Jamaah--Aswaja melakukan salat. Kondisi geografis Arab Saudi dan Indonesia, hampir sama. Iklimnya mirip. Waktu-waktunya berhimpitan.

Mayoritas imam mazhab, bersepakat soal penetapan waktu-waktu salat dan puasa. Kalau pun ada perbedaan, tidak akan menyebabkan batal tidaknya suatu ibadah. Hingga perkembangan teknologi dan moda transportasi mencapai titik saat ini, "masail fiqhiyah" mulai muncul. Puasa di dalam pesawat yang mengejar matahari, seperti tidak akan segera bertemu waktu berbuka. Salat dalam pesawat yang melintasi garis kalendar, bisa kehilangan satu hari.

Bagaimana jika alat transportasi melampaui kecepatan matahari, 1.669 km per-jam ? Pesawat mesin Concorde, konon memiliki kecepatan 2.100 km. Tunggangan ini perlahan akan mengejar, lalu menyamai dan akhirnya melewati matahari. Jika berangkat habis subuh, pesawat masih di belakang matahari. Tapi, di siang hari akan beriringan dan sore hari sudah meninggalkan matahari di belakang. Perjalanan lintas benua, bukan hal baru bagi para musafir daim.

Tidakkah "masail fiqhiyah" terkait ibadah mahdah ini telah membuka pintu ijtihad ? Ijtihad dalam menafsir kaidah-kaidah secara terbatas untuk memberi jalan keluar bagi konteks fikih kekinian ? Jika musafir dari negeri tropis melancong ke negeri bermusim empat dalam waktu tidak sebentar, apakah dia harus tetap bermazhab fikih tropis? Tetap puasa dari terbit fajar hingga tenggelam matahari ? Jam 02.00 dini hari, tapi matahari masih di atas ubun-ubun. Kapan mulai dan kapan buka puasa ? Ini domain fikih ibadah mahdah !

Fikih Gus Yahya

Jika fikih secara etimologis identik dengan "al-fahmu" yang, antara lain, berarti pemahaman, maka inilah fikih Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf tentang agama dalam konteks. Konteks yang mustahil lepas dari spirit sejarah. Konteks dinamika internal umat Islam, konteks relasinya dengan umat selain Islam, konteks geopolitik kawasan, konteks geopolitik dunia, dan konteks lain yang saling beririsan. Tentu saja, catatan ini tidak utuh dan subjektif.

Dipengaruhi subjektivitas pamahaman Penulis atas sejumlah tajdid pemikiran Gus Yahya--sapaan KH Yahya, dalam memberi tafsir atas konteks yang ada. Catatan kecil dari pertanyaan Gus Yahya atas sekian ortodoksi Islam yang mungkin butuh tafsir ulang. Relasi antarumat beragama, yang berada dalam domain ibadah "ghaira mahdah", dipandang Gus Yahya, tengah berada di bibir jurang. Jurang disparitas yang setiap hari kian mendalam dan makin melebar.

Menjauh, bahkan saling meniadakan. Ajaran agama, apapun itu, terutama yang berasal dari rumpun Abrahamik, tentulah mengandung nilai-nilai yang saling berdekatan. Misi profetiknya adalah untuk mencapai kebahagiaan. Dalam konteks ini, maka misi ilahiyah Nahdlatul Ulama (NU), dimaknai Gus Yahya sebagai segenap ijtihad yang digunakan dalam mengikhtiarkan dan menjaga nyala cahaya Allah-- Nurullaah. Cahaya sebagai solusi bagi kehidupan.

Gus Yahya menawarkan peluang membuat fikih "baru". Fikih yang akan menjadi medium bagi para pemimpin agama dunia, untuk mau duduk bersama. Merenung bersama. Berikhtiar mencari, menyepakati, dan membangun komitmen yang didasarkan atas nilai-nilai terluhur dari masing-masing agama. Bukankah sudah berulangkali komunike dibuat tapi ketegangan tetap terpelihara ? Dipelihara oleh sejumlah tafsir atas ortodoksi agama yang mulai usang ? Di sinilah urgensi keberadaan R20. Entitas yang akan dicatat sebagai keniscayaan sejarah peradaban manusia, insyaallah !

Ishaq Zubaedi Raqib

Ketua LTN--Infokom dan Publikasi PBNU

Artikel ini merupakan kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggungjawab penulis. (Terimakasih - Redaksi)




(erd/erd)

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads