Saat bertemu dengan Didi di Yogyakarta, Oerip menyetujui rencana pemerintah itu. Oerip berpikir hal itu merupakan kesempatan baik baginya untuk menyumbangkan tenaga bagi negara yang sudah merdeka.
Pemerintah pun mengeluarkan maklumat pendirian tentara nasional yang dikenal dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada 5 Oktober 1945. Sidang kabinet pertama yang digelar pertengahan Oktober pun memberi mandat kepada Oerip untuk menyusun organisasi tentara.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dikutip dari buku berjudul Oerip Soemohardjo karya Amrin Imran terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, pada 20 Oktober 1945 pemerintah mengeluarkan pengumuman pengangkatan Supriyadi sebagai pimpinan tertinggi TKR.
Surat tersebut juga mengumumkan Oerip diangkat menjadi kepala staf TKR dan Muhammad Sulyoadikusumo sebagai menteri pertahanan ad interim. Oerip yang saat itu berusia 52 tahun mendapat tugas membenahi organisasi tentara.
Hanya saja Supriyadi yang memimpin pemberontakan PETA di Blitar tak pernah muncul. Hal ini mendorong Oerip segera menggelar pertemuan dengan pimpinan-pimpinan TKR dari tingkat komandan resimen ke atas. Pertemuan itu diadakan sekitar pertengahan bulan November 1945 di Yogyakarta.
Dalam buku Memenuhi Panggilan Tugas jilid 1 - Kenangan Masa Gerilya, Abdul Haris Nasution menyebutkan acara pokok dari konferensi TKR itu adalah untuk menggariskan suatu strategi TKR untuk menghadapi sekutu. Sebagai ketua pelaksana ditunjuk Mayor Jenderal Kaprawi.
Komandan-komandan TKR yang hadir menyiapkan konsepsi sendiri-sendiri, terutama mengenai masalah pertahanan dan keamanan pada umumnya. Namun, agenda pertemuan berkembang menjadi pemilihan panglima.
Kelemahan Oerip, ia tidak biasa dan tidak bisa berpidato. "Ia sesungguhnya termasuk tipe manusia pemikir yang mengemukakan buah pikirannya kepada seseorang untuk disampaikan kepada orang-orang yang lebih banyak," tulis Amrin Imran.
Hal itu tersebut tampak saat Oerip harus memimpin rapat pertama TKR itu. Tiap-tiap komandan pasukan yang hadir mengemukakan konsepsi masing-masing. Rapat menjadi agak kacau. Semua orang kelihatannya bersemangat. Celakanya, Oerip tidak mampu mengatasi suasana kacau itu.
Eks pejabat PETA Holan Iskandar muncul menginterupsi Oerip. Ia berhasil menguasai sidang. Holan menyatakan tujuan utama dari rapat itu adalah untuk memilih calon untuk menteri pertahanan dan seorang calon untuk Panglima Besar TKR. Hasilnya nanti akan diserahkan pada pemerintah.
Untuk jabatan menteri pertahanan terpilih nama Sri Sultan Hamengkubuwono. Sesudah itu dimulai pemilihan panglima besar. Hanya ada dua nama yang dicalonkan, yaitu Oerip dan Sudirman, Komandan Divisi V/Purwokerto.
Sebelum pemungutan suara dilakukan, terlebih dulu ditentukan peraturannya. Calon yang menang adalah calon yang berhasil memperoleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah suara. Peserta rapat mulanya berjumlah 42 orang.
Setelah Sultan Hamengkubuwono IX meninggalkan rapat, jumlah itu menjadi 41. Dua orang di antaranya, yakni Oerip dan Sudirman tidak akan memberikan suara. Dengan demikian jumlah suara yang harus dihitung tinggal 39. Calon yang berhasil memperoleh sekurang-kurangnya 26 suara, akan dinyatakan terpilih sebagai panglima besar.
Pemungutan suara pun dilangsungkan. Oerip memperoleh 23 suara, Sudirman 16. Dengan demikian persyaratan tidak terpenuhi. Pemungutan diulang. Dalam pemungutan kedua ini Oerip memperoleh 19 suara dan Sudirman 20. Sekali lagi persyaratan tidak terpenuhi.
Sebelum dilangsungkan pemungutan suara untuk ketiga kalinya diadakan istirahat terlebih dahulu. Waktu istirahat ini dimanfaatkan oleh para peserta untuk mengadakan lobi. Peserta-peserta dari KNIL bermufakat untuk memberikan suara kepada Sudirman.
Pertimbangannya adalah bagaimanapun seorang panglima besar harus terpilih. Mereka pun sadar, dalam masa itu Sudirman lebih populer daripada Oerip. Keputusan yang mereka ambil itu disampaikan kepada Oerip.
Dalam pemungutan yang ketiga kalinya, perbandingan suara jauh berbeda. Oerip memperoleh 10 suara, sedangkan Sudirman 29 suara. Sudirman pun dinyatakan terpilih menjadi panglima besar. Menurut Amrin, Sudirman terkejut ketika dinyatakan terpilih menjadi panglima besar. "Saya telah membuat kesalahan karena bersedia dicalonkan", katanya.
Sesudah itu Sudirman mengatakan bersedia menarik diri dan menyerahkan jabatan itu kepada Oerip, jika peserta menyetujuinya, tetapi rapat tidak dapat menerima usul itu. Oerip mendekati Sudirman dan menyalaminya. Ia mengatakan akan membantu Sudirman sekuat tenaganya.
Pada 18 Desember 1945, bertempat di Yogyakarta, Sukarno-Hatta melantik Sudirman sebagai Panglima Besar TKR dengan pangkat jenderal. Dalam pidatonya, Sukarno mengatakan,"Kewajiban seorang Panglima Besar bagi kita berat sekali. Ia harus dapat mempersatukan semua kekuatan bersenjata menjadi satu kekuatan yang bulat dan efektif dalam satu komando."
Pada 27 Januari 1946, Presiden Sukarno kemudian mengubah nama organisasi militer menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI). Kemudian berubah lagi menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada 3 Juni 1947 melalui Penetapan Presiden Nomor 24 Tahun 1947.
Panglima Besar Sudirman Putuskan Bergerilya >>>