Cara Bantu Korban Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi Versi Kemdikbud

ADVERTISEMENT

Cara Bantu Korban Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi Versi Kemdikbud

Trisna Wulandari - detikEdu
Rabu, 07 Sep 2022 17:00 WIB
Poster anti pelecehan seksual pemerkosaan
dikhy sasra/ilustrasi/detikfoto
Cara bantu korban kekerasan seksual di perguruan tinggi dari Kemendikbudristek. Foto: dikhy sasra
Jakarta -

Perguruan tinggi sepatutnya jadi lingkungan yang aman bagi mahasiswa dan warga kampus secara keseluruhan. Namun, sejumlah kasus dan dugaan kekerasan seksual di perguruan tinggi masih terus mencuat di berbagai media sosial civitas kampus-kampus Indonesia.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) Bintang Puspayoga mengatakan, penting untuk menciptakan lingkungan perguruan tinggi yang aman dan bebas dari kekerasan seksual.

Untuk itu juga, KemenPPPA sedang menyusun peraturan turunan dari UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang akan mengatur Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu bersifat one stop service. Ia menerangkan, layanan ini memungkinkan korban akan diterima dan ditangani langsung di satu tempat dan tidak berpindah dari satu instansi ke instansi lainnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Sudah sepantasnya perguruan tinggi menjadi tempat yang aman, kondusif, dan nyaman bagi mahasiswa. Apalagi, kasus kekerasan seksual di kampus pun semakin pelik jika dikaitkan dengan adanya relasi kuasa yang tidak seimbang antara pelaku dan korban, seperti dosen dengan mahasiswa," kata Bintang dalam sosialisasi Implementasi dari Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) di Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi Manado dalam keterangannya, dikutip Rabu (7/9/2022).

Merespons kekerasan seksual di kampus, Kemendikbudristek merangkum langkah-langkah untuk tidak takut membantu korban kekerasan seksual. Sebab, upaya ini menjadi langkah membela hak asasi orang di sekitar, seperti dikutip dari laman Merdeka dari Kekerasan Kemdikbud.

ADVERTISEMENT

Mengutip penelitian Zenny Rezania Dewantary dkk, "Saling Jaga Atas Pelecehan Seksual di Tempat Publik" dalam Journal of Community Environment dan Hollaback Jakarta, "Intervensi Saksi (Bystander), berikut rekomendasi Kemendikbudristek mengenai cara membantu korban kekerasan seksual di perguruan tinggi:

Cara Membantu Korban Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi

1. Kenali dan Gunakan Prinsip Membantu Korban

Prioritas penanganan kasus kekerasan seksual adalah pemulihan bagi korban sesuai kebutuhan, keamanan, dan kenyamanan. Sebab, penanganan kasus kekerasan seksual berorientasi pada korban sebagai pihak paling terdampak atas kekerasan yang terjadi.

Praktik ini berbeda dengan penanganan kasus pidana yang umumnya berorientasi ada menghukum pelaku. Karena itu, ada juga kasus kekerasan seksual yang tidak berakhir dengan melaporkan pelaku ke pihak berwajib, tetapi berfokus pada pemulihan kondisi korban. Jika ada proses menghukum pelaku, maka terjadi dalam rangkaian langkah untuk memprioritaskan pemulihan korban.

Persetujuan atas langkah yang diambil untuk memproses penanganan kasus kekerasan seksual diambil berdasarkan informasi. Korban perlu mendapat dan memahami informasi terkait risiko, konsekuensi, atau kemungkinan yang mungkin muncul atas proses penanganan kasus.

2. Kenali Pilihan Cara Intervensi Kekerasan Seksual 5D

Jika melihat kejadian, saksi kekerasan seksual bisa melakukan cara-cara intervensi yang disebut 5D, yakni ditegur langsung, dialihkan, delegasi, ditunda, dan didokumentasikan.

Tergantung konteks atau situasi saat kejadian, pelaku dapat ditegur langsung seperti "Berhenti!" atau alihkan perhatian seperti menghalangi pelaku agar menghentikan pelecehan atau tindak kekerasan lainnya terhadap korban.
Saksi juga bisa melakukan delegasi, contohnya seperti memanggil petugas keamanan terdekat, teman, atau orang lain di sekitar untuk ikut bantu menghentikan perbuatan pelaku.

Intervensi saksi juga dapat berbentuk penundaan dan dokumentasi. Jika menunda intervensi, saksi bisa menanyakan keadaan korban setelah kejadian usai.

Sementara itu, jika saksi merekam kejadian atau wajah pelaku, saksi tidak boleh mengedarkan atau memproses dokumentasi tersebut tanpa persetujuan korban. Pengalaman dilecehkan secara seksual merupakan pengalaman yang melemahkan dan traumatis bagi korban. Untuk itu, intervensi saksi harus berorientasi pada pemulihan korban dan tidak membahayakan keselamatan korban untuk kedua kalinya.

3. Jangan Salahkan Korban

Kenali prinsip tidak menyalahkan korban (victim blaming) saat mencoba bantu korban kekerasan seksual. Dengarkan tanpa menghakimi dan kembalikan lagi semua keputusan pada korban.

Pendengar hanya bisa membantu memberi saran dan pertimbangan, tetapi pendengar tidak berhak mengambilkan keputusan bagi korban. Jangan paksakan saran yang menurut pendengar baik karena paksaan adalah indikator kekerasan dalam bentuk lain pada korban.




(twu/lus)

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads