Tari Tortor merupakan tari daerah yang berasal dari Sumatera utara, tepatnya di tanah Batak. Kata Tortor sendiri diambil dari bunyi hentakan kaki para penari di atas papan rumah adat Batak.
Mengutip buku 99% Sukses Menghadapi Ulangan Harian SD/MI karya Tim Guru Eduka, penampilan tari Tortor diiringi dengan beberapa alat musik seperti margondang, suling, dan terompet Batak. Sedangkan di daerah Mandailing, tari Tortor diiringi dengan alat musik gordang sambilan.
Alat musik gendang yang dimainkan saat penampilan tari Tortor memiliki bunyi yang serupa dengan bunyi bedug. Akan tetapi permainan alat musik ini memiliki ciri khas tersendiri, yakni pada pemain gendangnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Maronang-onang adalah sebutan bagi pemain gendang dalam tari Tortor. Tidak hanya memainkan gendang, maronang-onang juga melantunkan syair-syair, seperti syair sejarah, doa, dan sebagainya. Syair tersebut disesuaikan dengan permintaan pemilik acara.
Sejarah tari Tortor
Melansir buku Agama Hindu oleh Ide Bagus Sudirga dkk, tari Tortor merupakan salah satu peninggalan zaman Hindu di Sumatera sehingga dapat diketahui bahwa usianya sudah cukup tua. Hal ini dikarenakan keberadaannya yang sudah cukup lama.
Di masa penjajahan, tari Tortor menjadi sebuah hiburan kesenian bagi para raja sebagai bentuk perlawanan terhadap tentara Belanda.
Para raja memanfaatkan bunyi-bunyi pada tari Tortor sebagai isyarat bagi masyarakat pada masa itu.
Bunyi yang ditabuh mengisyaratkan bahwa tentara Belanda telah tiba. Ada juga bunyi gordang yang mengisyaratkan agar masyarakat mengungsi. Dan masih banyak isyarat bunyi lainnya.
Fungsi dan Jenis Tari Tortor
Secara umum tari Tortor berfungsi sebagai penampilan pada acara hajatan, penyambutan tamu istimewa, dan perayaan. Tari daerah ini juga diselenggarakan untuk mengangkat seorang raja dan merupakan bagian dari sebuah ritual yang berkaitan dengan para roh.
Tari Tortor juga memiliki beberapa jenis dengan kegunaan yang berbeda-beda, beberapa di antaranya adalah tari Tortor Pangurason, tari Tortor Sipitu Cawan, dan tari Tortor Tunggal Panaluan, sebagaimana dijelaskan dalam buku Keanekaragaman Seni Tari Nusantara oleh Resi Septiana Dewi.
Tari Tortor Pangurason atau tari Tortor Pembersihan adalah tari yang digelar pada suatu acara atau pesta besar. Tari ini diselenggarakan dalam rangka pembersihan tempat atau lokasi acara. Sebelum acara dimulai, lokasi acara akan dibersihkan terlebih dahulu dengan menggunakan jeruk purut. Dengan harapan acara tersebut dapat berjalan lancar dan dijauhkan dari marabahaya.
Selanjutnya tari Tortor Sipitu Cawan, merupakan tari yang digelar pada saat pengukuhan seorang raja. Konon tari ini merupakan tari yang berasal dari tujuh putri kayangan yang mandi di sebuah telaga di puncak puncak gunung Pusuk Buhit bersamaan dengan datangnya pisau situ sasaran atau pisau tujuh sarung.
Yang terakhir adalah tari Tortor Tunggal Panaluan, yakni tarian yang diselenggarakan dalam rangka menggelar ritual. Umumnya tari Tortor Tunggal Panaluan diadakan apabila suatu desa tertimpa musibah. Tari Tortor jenis ini dilakukan oleh para dukun agar mereka mendapat petunjuk dan jalan keluar untuk mengatasi masalah yang terjadi pada desa tersebut.
Kata Tunggal Panaluan diambil dari nama tongkat, yaitu tongkat Tunggal Panaluan. Merupakan tongkat perpaduan kesaktian Debata Natolu, yakni benua atas, benua tengah, dan benua bawah.
(erd/erd)