Sejarah Malam Satu Suro dan Tradisi Sambut 1 Muharram

ADVERTISEMENT

Sejarah Malam Satu Suro dan Tradisi Sambut 1 Muharram

Nikita Rosa Damayanti - detikEdu
Jumat, 29 Jul 2022 15:00 WIB
Sedekah laut di Desa Citemu, Kabupaten Cirebon.
Foto: Ony Syahroni/detikJabar
Jakarta -

Tahun Baru Islam 1444 Hijriah akan jatuh pada hari Sabtu (30/7). Banyak cara umat muslim merayakan pergantian tahun ini, salah satunya tradisi malam Satu suro.

Satu Suro adalah hari pertama dalam kalender Jawa di bulan Sura atau Suro. Penanggalan Jawa sendiri dihitung berdasarkan penggabungan kalender lunar (Islam), kalender matahari (masehi), dan Hindu.

Satu suro biasanya diperingati pada malam hari setelah magrib. Mengapa demikian? karena pergantian hari Jawa dimulai pada saat matahari terbenam di hari sebelumnya, bukan pada tengah malam.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Penetapan malam satu suro ini, diusulkan oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo, Sultan Agung dari Kesultanan Mataram.

Sejarah Malam Satu Suro

Seorang Sultan Agung dari Kerajaan Mataram ingin menyatukan kelompok santri dan abangan. Dengan latar belakang ingin mengalahkan Belanda, Sultan Agung Hanyokrokusumo menyusun siasat agar rakyatnya tidak terpecah belah akibat keyakinan.

ADVERTISEMENT

Maka setiap hari Jumat legi, dilakukan laporan pemerintahan setempat sambil dilakukan pengajian yang dilakukan oleh para penghulu kabupaten. Kegiatan ini lama-kelamaan menjadi tradisi sekaligus dilakukan ziarah kubur dan haul ke makam Sunan Ampel dan Sunan Giri.

Akibatnya, 1 Muharram (1 Suro Jawa) yang dimulai pada hari Jumat legi ikut dikeramatkan pula. Dalam Peta Belajar Kemdikbud disebutkan pula seseorang bisa dianggap sial jika memanfaatkan hari tersebut di luar kepentingan keagamaan seperti mengaji dan ziarah.

Tradisi Malam Satu Suro di Berbagai Daerah

1. Kebo Bule

Malam satu suro di Keraton Surakarta selalu meriah. Mulai dari Raja beserta keluarga dan kerabat, kemudian abdi dalam wilayah Solo Raya, hingga masyarakat umum turut merayakan pergantian tahun ini. Salah satu tradisi yang kental di Keraton Surakarta adalah Kebo Bule.

Kebo Bule ditaruh sebagai barisan awal dalam kirab atau iring-iringan. Dinas Kebudayaan Kota Solo menjelaskan, Kebo Bule ini adalah keturunan dari Kebo Kyai Slamet.

Bahkan kerbau ini dianggap sebagai pusaka yang amat berharga bagi Sri Susuhunan Pakubuwono II, yang diberi oleh Bupati Ponorogo. Kerbau itu diberikan kepada Sri Susuhunan PB II bersamaan dengan pusaka bernama Kyai Slamet, sehingga Kerbau bule ini dinamakan Kebo Kyai Slamet.

Hal unik ialah selesainya ritual ini dilaksanakan, banyak masyarakat yang mengambil kotoran kebo bule. Bagi sebagian orang, hal ini dipercaya membawa keberkahan dan juga kemakmuran.

2. Sedekah Laut

Selain Kota Solo, Yogyakarta tepatnya di Kabupaten Gunungkidul merayakan upacara Sedekah Laut. Sedekah Laut merupakan tradisi perayaan malam satu suro para nelayan yang tinggal di pesisir pantai utara. Perayaan ini sebagai ungkapan rasa syukur, berkah dan rezeki dari hasil laut yang selama ini menjadi sumber penghasilan mereka.

Perayaan sedekah laut biasanya berlangsung selama 2 hari pada bulan Suro. Acara diawali dengan kirab ancak. Setelah diinapkan satu malam, sejumlah kepala kerbau dan kambing esoknya dilarung atau dihanyutkan ke tengah laut.

Perayaan larung sesaji merupakan puncak dari tradisi sedekah laut dimeriahkan dengan berbagai kesenian lokal seperti tarian baro-baro, srakal, jaipong dan pagelaran wayang golek. Dalam situs Dinas Provinsi Jawa Tengah, perayaan Sedekah Laut ini sebagai ajang silaturahmi para nelayan.

3. Tapa Bisu

Tradisi Tapa Bisu adalah tradisi tahunan yang dilakukan dengan mengelilingi area di sekitar Keraton Yogyakarta tanpa berbicara sepatah katapun. Tradisi ini telah diikuti selama turun temurun sejak zaman Sri Sultan Hamengku Buwono II.

Tradisi Tapa Bisu dilaksanakan sebagai bentuk introspeksi dan pendekatan diri kepada Tuhan. Rangkaian ritual topo bisu diawali pelantunan tembang macapat oleh para abdi dalem di Keben Keraton, Yogyakarta.

Sebagai bentuk perenungan, para peserta dilarang berbicara, minum, maupun merokok saat mengelilingi benteng. Dinas Paristiwa Provinsi Yogyakarta menyebutkan jarak yang ditempuh selama tradisi Topo Bisu kurang lebih mencapai 4 km. Dimulai dari Bangsal Pancaniti dan Berakhir di Alun-alun Utara Yogyakarta.




(lus/lus)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads