Bahasa Daerah di Sulawesi Pakai Aksara Korea, Ini Alasannya

ADVERTISEMENT

Bahasa Daerah di Sulawesi Pakai Aksara Korea, Ini Alasannya

Trisna Wulandari - detikEdu
Rabu, 20 Jul 2022 15:30 WIB
Bahasa Cia-Cia adaptasi aksara hangeul dari Korea.
Bahasa Cia-Cia di Kota Baubau, Sulawesi Tenggara adaptasi aksara hangeul dari Korea. Foto: Dok. Kemendikbudristek
Jakarta -

Kamu pernah belajar bahasa Arab-Melayu? Bahasa yang sempat jadi muatan lokal di berbagai sekolah di Sumatra ini sekarang punya teman, lho. Di Kota Baubau, Sulawesi Tenggara, masyarakat Cia-Cia menggunakan aksara Korea atau aksara hangeul untuk menuliskan bahasa Cia-Cia. Kok bisa?

Hingga tahun 2000-an, bahasa Cia-Cia adalah bahasa lisan yang digunakan warga Cia-Cia. Pada Agustus 2009, Wali Kota Baubau, Sulawesi Tenggara memutuskan untuk mengadaptasi aksara hangeul dari Korea menjadi aksara Cia-Cia karena bahasa ini tidak punya aksara sendiri, seperti dikutip dari Aksara Korea dalam Bahasa Daerah Ciacia oleh Mikka Wildha Nurrochsyam di laman Jendela Kemdikbud.

Bahasa Cia-Cia adalah bahasa tutur yang memiliki sekitar 93.000 penutur. Karena menggunakannya sebagai bahasa lisan, masyarakat Cia-Cia tidak memiliki budaya tulis untuk bahasanya ini.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Satu-satunya tradisi tulis masyarakat Cia-Cia ditemukan dalam kutika, yaitu semacam coretan-coretan yang ditorehkan pada sepotong papan kayu atau kertas yang mirip simbol. Kutika umumnya dimiliki orang yang dituakan dalam masyarakat.

Asal-usul Aksara Hangeul Jadi Aksara Bahasa Cia-Cia

Bahasa Cia-Cia adaptasi aksara hangeul dari Korea.Bahasa Cia-Cia adaptasi aksara hangeul dari Korea. Foto: Dok. Kemendikbudristek

Mikka Wildha Nurrochsyam, peneliti pada Pusat Penelitian dan Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan Badan Penelitian dan Pengembangan, Kemendikbud mencatat, kebijakan menggunakan aksara Korea bermula dari Simposisum Internasional Pernaskahan ke-9, 5-8 Agustus 2005 silam.

ADVERTISEMENT

Usai simposium, para peserta melakukan wisata keliling kota. Saat itu, ahli bahasa Malaysia dan Ketua Departemen Hunminjeonggueum Masyarakat Korea Chun Taihyun berkelakar bahwa bahasa lokal yang ia dengar di sana mengingakan pada Korea.

Chun Taihyun mengatakan, aksara hangeul dapat digunakan sebagai aksara untuk bahasa Cia-Cia yang sedang mengalami kepunahan. Pernyataan inilah yang segera direspons positif oleh Wali Kota Baubau.

Pemerintah Kota Baubau lalu mengeluarkan kebijakan untuk mengadaptasi aksara Korea menjadi aksara Cia-Cia. Wali Kota mengimbau untuk mendokumentasikan budaya masyarakat Cia-Cia dengan aksara Cia-Cia.

Dengan aksara baru ini, harapannya, bahasa, karya sastra, cerita rakyat, sejarah dan budaya masyarakat Cia-Cia diharapkan dapat didokumentasikan dengan baik.

Sejak itu, beberapa papan nama jalan di kecamatan Sorawolio ditulis dengan aksara Korea. Pemerintah Kota Baubau juga menerapkan kebijakan pembelajaran aksara Cia-Cia yang notebene aksara hangeul dari Korea itu untuk masuk dalam kurikulum muatan lokal. Pembelajaran muatan lokal telah dilaksanakan di dua SD di Sorawolio dan Bugi.

Kenapa Adaptasi Aksara Budaya Lain?

Aksara-aksara tradisional pada dasarnya adalah aksara yang paling sesuai untuk menuliskan bahasa aslinya, sekaligus menjadi alat pemelihara bahasa itu sendiri, seperti dikutip dari Aksara-Aksara di Nusantara: Seri Ensiklopedia oleh Ridwan Maulana. Bila suatu komunitas bahasa tidak atau belum memiliki sistem tulisan, sudah waktunya untuk memulai gerakan literasi dan pengentasan buta aksara.

Di sisi lain, upaya membuat aksara sendiri untuk suatu komunitas tidak mudah dan mahal. Karena itu, menggunakan sistem tulisan yang sudah digunakan secara luas adalah alternatif terbaik untuk menjaga bahasa dan mengembangkan budaya literasi. Harapannya, upaya ini dapat meningkatkan kesempatan komunitas adat tersebut untuk menempuh pendidikan, bertukar informasi, dan mengemukakan gagasan.

Pengembangan Sistem Tulisan

Berdasarkan panduan UNESCO dalam penulisan bahasa yang tidak tertulis, Writing Unwrittern Languages, A Guide to the Process, ada beberapa elemen kunci untuk mengembangkan sistem tulisan untk sebuah komunitas adat. Elemen ini berlaku baik dalam menerapkan kembali sistem yang sudah ada, maupun menerapkan aksara hasil ciptaan baru.

Elemen pengembangan sistem tulisan yakni sebagai berikut:

  • Faktor hubungan sosial, dengan proses dialog dan negosiasi dalam internal dan eksternal komunitas adat
  • Faktor konteks politik, dengan proses melobi, negosiasi, dan berkompromi pada peraturan pemerintah dan minat yang kompetitif
  • Faktor kekayaan budaya, dengan proses mengenali, memvalidasi, dan meningkatkan kesadaran sejarah, sastra lisan, dan pengetahuan kedaerahan
  • Faktor struktur bahasa, dengan proses menganalisis dan membandingkan sistem bunyi dan tata bahasa

Proses di atas secara keseluruhan mencakup jajak pendapat, membangun konsensus, dan membuat keputusan. Hasilnya antara lain munculnya sistem tulisan, sebanyak-banyaknya kesetujuan, dan sosial dan realitas kebahasaan.

Kenapa Aksara Hangeul Korea Dipakai di Bahasa Cia-Cia?

Lantas, kenapa aksara hangeul dapat lolos diterapkan di komunitas lokal Baubau, Sulawesi Tenggara? Dikutip dari Aksara-Aksara di Nusantara: Seri Ensiklopedia, berikut beberap faktornya:

  • Faktor hubungan sosial: penggunaan aksara hangeul sudah dapat persetjuan tetua ada setempat (internal), namun tidak dikonsultasikan dengan Kantor Bahasa setempat (eksternal)
  • Konteks politik: peraturan pemerintah setempat dan penerapan langsung di pembelajaran sekolah, tanda jalan, dan tempat
  • Kekayaan budaya: bahasa Cia-Cia belum punya sistem tulisan yang bisa menyelamatkannya dari kepunaha, tapi tidak ada kompromi lanjutan tentang mengadopsi budaya serumpun atau budaya asing
  • Struktur bahasa: lewat kerja sama dengan Hunminjeongeum Society Korea, bahasa Cia-Cia direkam dan disusun kamusnya
  • Hasil: penerapan huruf hangeul di Buton sukses dilakukan, kendati muncul kontroversi akibat beberapa poin yang tidak sepenuhnya terpenuhi

Pro-Kontra Adaptasi Aksara Korea di Bahasa Cia-Cia

Sejumlah diskusi ilmiah dibuka tentang adaptasi aksara Korea di bahasa Cia-Cia. Salah satunya yaitu Kongres Internasional Bahasa-Bahasa Daerah Sulawesi Tenggara pada Juli 2010. Sebagian setuju dengan adaptasinya, sebagian tidak.

Kelompok yang setuju, seperti tokoh adat suku pengguna bahasa Cia-Cia Laporo dan Kaisabu, Kecamatan Sorawolio. memandang kebudayaan berjalan dinamik dan terus berdialektika sepanjang sejarah. Kebudayaan terus berkembang agar tidak mengalami kepunahan. Salah satu caranya yaitu lewat adaptasi aksara Korea.

Kelompok yang setuju ini mengingatkan, di masa lalu juga terjadi adaptasi aksara Arab menjadi aksara Buri Wolio. Aksara ini digunakan untuk menuturkan bahasa Wolio, bahasa daerah lainnya di pulau Buton, Sulawesi Tenggara.

Menurut kelompok ini, aksara Ciacia yang diadaptasi dari aksara Korea juga tidak akan mengubah bahasa Ciacia karena yang diadaptasi hanya aksara saja, tidak akan mempengaruhi budaya masyarakatnya. Alih-alih, penggunaan aksara ini dianggap dapat memicu generasi muda meminati bahasa daerah Ciacia.

Mayoritas kelompok birokrat setuju dengan adaptasi aksara Korea. Adaptasi ini dianggap memberikan dampak positif, di antaranya kesempatan berkunjung ke Korea Selatan bagi pemuda dan pemudi di kota ini.

Kelompok masyarakat lain yang setuju terhadap adaptasi di antaranya ialah para guru, dan murid-murid yang secara langsung merasakan dampak kebijakan yang dinilai positif, sehingga pada umumnya mereka bersikap mendukung adaptasi, kendati tidak seluruh aspek disetujui.

Kelompok yang tidak setuju berkeinginan untuk mempertahankan nilai-nilai asli. Kelompok yang menolak adaptasi aksara Korea beralasan bahwa upaya ini mengakibatkan percampuran bahasa antara bahasa Cia-Cia dan bahasa Korea. Akibatnya, kosa kata dan istilah bahasa Korea berpotensi masuk ke dalam bahasa Cia-Cia.

Kelompok ini juga menyarankan, aksara yang lebih tepat untuk diadaptasi sesuai konteks sejarah dan budaya warga adalah aksara Buri Wolio. Sebab, relasi sosial masyarakat Cia-Cia sangat intens dengan masyarakat yang berbahasa Wolio. Aksara Buri Wolio juga dipandang mudah dipelajari anak-anak karena punya kebiasaan mengaji.

Aksara Buri Wolio yang diadaptasi dari aksara Arab juga dipandang sudah mengakar lewat akulturasi panjang di kehidupan warga Buton. Dasarnya pun karena kebutuhan komunikasi, bukan karena kebijakan pemerintah untuk masyarakat.

Kelompok yang menolak adaptasi aksara hangeul juga mempertimbangkan penggunaan aksara baru ini yang tidak melibatkan penutur bahasa Cia-Cia lainnya, seperti di Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Wabula, dan tempat lainnya yang tersebar di Indonesia.

Bagian kelompok yang tidak setuju adaptasi aksara baru ini adalah pakar linguistik dari Baubau dan peneliti dari Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara. Beberap poin penolakannya yaitu karena tidak seusai dengan budaya warga Cia-Cia yang berakar pada budaya Wolio, dengan bahsa induk bahasa Wolio. Adaptasi aksara ini juga dinilai tidak alamiah, tetapi disengaja.

Kendati demikian, kedua kelompok mengklaim punya tujuan yang sama, yaitu ingin melestarikan bahasa Cia-Cia. Bagaimana detikers, apakah kamu tertarik dengan adaptasi aksara hangeul dari Korea ke bahasa lisan di daerahmu?




(twu/twu)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads