Sistem ekonomi Ali Baba pertama kali dicetuskan oleh Mr. Iskaq Tjokrohadisurjo, seorang ahli hukum lulusan Universitas Leiden, Belanda saat menjadi Menteri Perekonomian.
Pria yang lahir di Jombang pada 11 Juli 1896 dari Partai Nasional Indonesia (PNI) ini menjabat Menteri Perekonomian masa pemerintahan kabinet Ali Sastroamidjojo I pada 31 Juli 1953 - 12 Agustus 1955.
Dias Anjar Malintan, S.Pd dalam buku e-Modul Kemdikbud Sejarah Indonesia Kelas XIII, mengungkapkan bahwa Ali Baba sendiri terdiri dari dua kata, yakni "Ali" yang diidentikkan atau digambarkan sebagai pengusaha pribumi, sedangkan "Baba" digambarkan sebagai pengusaha Tionghoa/Cina atau non pribumi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sistem ini dapat dianggap sebagai bagian dari Program Benteng yang menjadi program kerja Kabinet Natsir sebelumnya yang masih sedang berlangsung
Tujuan dari adanya sistem ekonomi Ali Baba ini adalah untuk memajukan pengusaha-pengusaha lokal (pribumi), agar dapat bekerjasama dalam rangka merombak pertumbuhan serta perkembangan ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional.
Salah satu upaya untuk memajukan ekonomi nasionalnya adalah dengan membangun kerjasama antara pengusaha pribumi dan non-pribumi.
Pelaksanaan Kebijakan Sistem Ekonomi Ali Baba
- Memberikan pelatihan wajib bagi para pengusaha pribumi, serta memberikan tanggung jawab agar tenaga bangsa Indonesia mampu menduduki jabatan- jabatan.
- Adanya kredit dan lisensi bagi usaha-usaha swasta nasional yang disediakan oleh pemerintah.
- Pemerintah memberikan perlindungan bagi penguasa pribumi, agar mampu bersaing dengan perusahaan asing yang ada.
Kegagalan Sistem Ekonomi Ali Baba
Sama seperti kabinet-kabinet terdahulunya, kebijakan sistem ekonomi Ali Baba juga tidak dapat berjalan dengan baik, sehingga mengalami kegagalan. Dalam kebijakan sistem ekonomi Ali Baba, keadaan ekonomi nasional masih belum bisa teratasi dengan baik.
Beberapa sebab kegagalan sistem ekonomi Ali Baba, diantaranya adalah:
- Pengusaha pribumi banyak memperoleh fasilitas bantuan kredit. Hanya saja hak-hak istimewa itu ternyata tidak dimanfaatkan dengan baik oleh pengusaha pribumi. Kredit tersebut malah dipindahkan kepada pengusaha non-pribumi secara sepihak.
- Kredit yang diberikan awalnya untuk mendorong kegiatan produksi, sayangnya telah disalahgunakan untuk kegiatan konsumsi.
- Pengusaha pribumi belum berpengalaman, tidak mampu bersaing dalam pasar bebas.
- Peningkatan inflasi dan maraknya kasus korupsi
(pal/pal)