Supriyadi adalah anak BUpati Blitar, Darmadi. Ia merupakan lulusan pertama pelatihan Tangerang Seinen Dojo seangkatan dengan Zulkifli Lubis dan Kemal Idris. Setelah itu, ia mengikuti pelatihan instruktur PETA di Bogor.
Mereka yang dilatih di Bogor adalah calon perwira komandan batalion (daidanco), komandan kompi (chudanco), komandan peleton (shodanco), dan komandan regu (budanco).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam Senarai Kiprah Sejarah, Zulkifli menuturkan saat di Bogor itulah awalnya Supriyadi tidak senang pada Jepang. "Gambaran dulu bahwa Jepang itu terbaik, tidak ada lagi. Banyak Jepang yang rusak. Mereka mengajar sambil lalu," ujar Zulkifli.
Zulkifli menirukan kata-kata Supriyadi padanya,"Kalau begini, ya, Jepang sama saja. Tidak bisa kita harapkan." Supriyadi juga menyebut Jepang tidak bisa lagi dipercaya.
Saat kembali ke Blitar sebagai shodanco, Supriyadi melihat Jepang memaksa rakyat menyerahkan beras. Rakyat yang sedang susah ditekan melalui romusha. "Di situ memuncak antipati Supriyadi. Timbullah semangat untuk mengatur pemberontakan."
Pemberontakan PETA Blitar meletus pada 14 Februari 1945. Namun tidak berjalan sesuai rencana. Supriyadi gagal menggerakkan satuan lain untuk memberontak dan rencana ini pun terbukti telah diketahui oleh pihak Jepang.
Dalam waktu singkat, Jepang mengirimkan pasukan militer untuk memadamkan pemberontakan PETA. Sejumlah perwira PETA dijatuhi hukuman mati. Supriyadi sendiri menghilang berselimut misteri hingga kini. Baik keberadaan atau makamnya tak pernah diketahui.
Adik tiri Supriyadi yang bernama Suroto meyakini kakaknya tewas ditangan pasukan Jepang. "Kami keluarganya yakin, saudara kami telah meninggal dunia. Dia tewas bersama anak buahnya di Alas (Hutan) Maliran," ujar Suroto beberapa waktu lalu.
Simak Video "Video Prabowo Bicara Nama Mirip Kapolri-Panglima TNI: Alamat Nggak Diganti"
[Gambas:Video 20detik]
(pal/pal)