Contoh-contoh teks artikel dapat dengan mudah ditemui terutama di media-media massa. Teks artikel adalah tulisan lengkap yang memiliki struktur judul, pendahuluan, penyajian masalah, pembahasan, dan penutup yang dimuat dalam surat kabar atau majalah.
Berbeda dengan berita dan feature, teks artikel tidak mengaitkan isi tulisan dengan sumber berita sehingga informasi dalam teks artikel tidak akan basi.
Berdasarkan buku Teknik Penulisan Berita, Feature, dan Artikel karya Prof. Drs. M. Atar Semi, teks artikel terdiri dari dua jenis, yaitu artikel ilmiah dan non-ilmiah, lho.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Teks artikel ilmiah adalah tulisan berisi informasi faktual dan objektif yang bisa digunakan pembaca untuk melakukan tindakan, pegangan, dan bahan perbandingan, atau bahkan untuk menambah pengetahuan.
Nah, kalau teks artikel non-ilmiah adalah tulisan tentang pandangan tentang sesuatu yang lahir sebagai bentuk ekspresi dan kreativitas penulis. Maka dari itu, tujuan dari teks non-ilmiah adalah untuk menghibur dan menumbuhkan daya imajinasi pembaca.
Ciri Teks Artikel
Dalam contoh teks artikel nantinya akan ditemukan ciri-ciri khusus. Di bawah ini adalah ciri-ciri penulisan teks artikel yang dijelaskan ke dalam lima ciri, yaitu:
1. Dibuat secara ringkas, padat, dan jelas dengan tujuan agar pembaca mudah memahami isinya,
2. Mengandung fakta atau opini yang disampaikan secara objektif dan dilengkapi dengan data-data pendukung yang valid,
3. Penulisan menggunakan bahasa formal dan tidak formal, tergantung tiap-tiap penulis,
4. Metode penulisan artikel dibuat secara sistematis,
5. Bersifat faktual dan informatif. Mengungkapkan informasi yang berdasarkan hasil penelitian yang kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan.
Langkah Menulis Teks Artikel
Detikers tertarik untuk menulis teks artikel? Pahami terlebih dahulu langkah-langkah sebelum menulis artikel di bawah ini, yuk! Dikutip dari buku Teknik Penulisan Berita, Feature, dan Artikel, Prof. Drs. M. Atar Semi menuliskan 10 langkah yang perlu dilakukan sebelum menulis teks artikel.
1. Memilih topik atau gagasan.
2. Mengetahui dan memahami pembaca.
3. Mempelajari segi teknis penerbitan.
4. Memulai menulis dengan outline.
5. Membuat tulisan dengan paragraf yang berbobot.
6. Menyajikan gagasan pokok secara eksplisit.
7. Memberi ilustrasi yang baru dan menarik.
8. Menggunakan bahasa yang hidup.
9. Menutup tulisan dengan paragraf yang kuat
10. Menyunting tulisan dengan teliti.
Selanjutnya contoh teks artikel >>>
Contoh Teks Artikel
Setelah mengetahui jenis dan langkah menulisnya, berikut ini adalah 11 contoh teks artikel yang bisa jadi inspirasi dalam menulis.
1. Ayo Cuci Tangan, Agar Coronavirus Tidak Menyerang
Akhir-akhir ini dunia dihebohkan dengan infeksi virus baru yang bernama Coronavirus. Banyak korban yang meninggal akibat virus ini karena gagal napas. Vaksin dan pengobatan yang spesifik belum ditemukan untuk mengobati infeksi virus ini. Namun tahukah Anda bahwa penyebaran virus tersebut dapat dicegah dengan tindakan mudah seperti mencuci tangan?
Apakah Anda mengetahui kapan dan cara mencuci tangan yang benar? Simaklah artikel berikut ini untuk dapat mencegah, tak hanya infeksi Coronavirus, namun penyakit-penyakit menular lainnya.
Coronavirus atau "Coronavirus disease 2019" (COVID-19) merupakan sebuah virus baru yang menyebabkan gangguan pada sistem pernapasan pada manusia dan dapat menular antar sesama manusia. Virus ini ditemukan pertama kali pada sebuah tempat di Cina bernama Wuhan. Hingga 22 Maret 2020, terdapat 292.142 kasus terkonfirmasi dari berbagai negara, termasuk Cina, Singapura, Malaysia, Jepang, Vietnam, Australia hingga Perancis, Amerika Serikat dan Indonesia.
Gejala dari virus ini dapat berupa demam, batuk, dan sesak napas. Jika kalian mengalami gejala tersebut, khususnya bagi yang dalam waktu dekat memiliki kontak dengan seseorang yang baru kembali dari Cina atau seseorang yang baru bepergian dari luar negeri, harap periksakan diri Anda ke fasilitas kesehatan terdekat.
Seseorang dapat ditularkan Coronavirus melalui droplet dari saluran pernapasan yang diproduksi saat orang terinfeksi batuk atau bersin, mirip dengan cara influenza atau virus saluran pernapasan lainnya menular. Proses penularan dapat diteruskan bila seseorang menyentuh objek yang terdapat droplet virus tersebut kemudian menyentuh mulut, wajah atau mata sendiri atau bahkan orang lain.
Maka penting untuk kita menjaga kerbersihan, salah satunya yaitu dengan mencuci tangan. Mencuci tangan mungkin terlihat mudah dan sering diremehkan hingga dilupakan. Namun tahukah Anda bahwa mencuci tangan merupakan suatu hal yang sangat penting dalam dunia medis, hingga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) membuat sebuah kampanye global untuk menyatakan setiap tanggal 15 Oktober adalah Hari Cuci Tangan Pakai Sabun Sedunia (HCTPS).
Begitu banyak penyakit yang dapat ditularkan seperti penyakit saluran pernapasan, diare, infeksi cacing dan penyakit kulit. Dengan hanya mencuci tangan, tingkat infeksi saluran pernapasan dapat menurun hingga 16-25%. Lalu kapan waktu yang tepat untuk kita perlu mencuci tangan? Menurut Centers for Disease Control
and Prevention (CDC) dan Kementrian Kesehatan, berikut adalah saat-saat kita perlu mencuci tangan:
1. Sebelum, saat, dan sesudah menyiapkan makanan.
2. Sebelum dan setelah makan.
3. Sebelum menyusui bayi.
4. Sebelum dan setelah mengasuh seseorang yang sakit di rumah.
5. Setelah buang air.
6. Setelah batuk atau bersin.
7. Setelah menyentuh sampah.
8. Setelah beraktivitas seperti mengetik, menyentuh uang, hewan atau binatang, berkebun.
Setelah mengetahui waktu yang tepat untuk mencuci tangan, Anda juga perlu mengetahui langkah-langkah yang tepat untuk mencuci tangan dengan benar. Menurut Kementerian Kesehatan, mencuci tangan terbagi dalam 5 langkah:
1. Basahi seluruh tangan dengan air bersih yang mengalir.
2. Ambil dan gosok sabun ke daerah telapak, punggung tangan, dan sela-sela jari.
3. Bersihkan bagian bawah kuku.
4. Bilas tangan dengan air bersih yang mengalir.
5. Keringkan tangan dengan handuk atau tisu atau dengan cara diangin- anginkan.
Dianjurkan untuk mencuci tangan selama 20 detik, atau lebih mudah dengan menyanyikan lagu "selamat ulang tahun" sebanyak 2 kali. Bila tidak terdapat sabun dan air mengalir, dapat menggunakan hand sanitizer dengan kandungan alkohol minimal 60%.
Tidak sulit bukan? Dengan melakukan hal yang mudah ini, Anda dapat mencegah infeksi virus pada diri sendiri, orang sekitar, dan bahkan komunitas seperti keluarga dan tempat kerja. Setiap hari Anda beraktivitas, ingatlah untuk selalu mencuci tangan pada saat yang tepat dengan benar sehingga Anda terhindar dari infeksi virus.
Sumber: Modul Pembelajaran Bahasa Indonesia Kemdikbud
2. Bagaimana Menjadi Pemimpin Berdampak Besar Bagi Organisasi?
Kepemimpinan tidak pernah sepenting sekarang ini. Organisasi dari setiap ukuran sekarang bergulat dengan kompleksitas yang belum pernah terjadi sebelumnya yang disebabkan oleh VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, and Ambiguity) yang sangat intensif, tekanan persaingan yang meningkat, dan harapan karyawan yang meningkat.
Tuntutan yang diberikan kepada para pemimpin saat ini untuk menjadi agen perubahan yang berpengaruh belum pernah terjadi sebelumnya. Mereka yang menemukan diri mereka naik melalui jajaran kepemimpinan sering didorong untuk mendorong tim mereka ke level yang baru dan memainkan peran aktif dalam membentuk organisasi mereka untuk mengikuti pasar dan siklus bisnis yang berkembang pesat saat ini.
Bertahan dan berkembang di lingkungan baru ini sangat bergantung pada jenis kepemimpinan yang tepat. Sebuah kepemimpinan dengan dampak yang besar.
Apa artinya berpikir seperti pemimpin yang berdampak berdampak besar? Pemikiran pemimpin berdampak besar memerlukan pemahaman tantangan kepemimpinan jangka panjang untuk memberikan nilai dalam jangka panjang. Nilai-nilai membentuk aspek penting dari kepemimpinan dan dapat menginformasikan bagaimana seorang pemimpin berpikir dan membuat keputusan.
Menyelaraskan kepemimpinan dengan nilai-nilai pribadi dapat mengarah pada kepemimpinan yang positif dan memiliki tujuan yang sesuai dengan masa kini dan masa depan. Jadi, nilai-nilai seperti apa yang bisa menonjol? Bagi saya, itu adalah nilai yang diperoleh dari merasa nyaman dengan kenyataan bahwa mereka tidak memiliki semua jawaban, sebuah situasi yang terlalu umum di dunia yang kompleks saat ini.
Memimpin adalah tentang mengajukan pertanyaan yang tepat dan membawa perspektif baru, memungkinkan orang lain menjadi sumber ide. Salah satu cara untuk meningkatkan ini dalam praktik nyata adalah dengan menerapkan fokus pada "kepemimpinan terdistribusi": semakin banyak organisasi menyebarkan kepemimpinan ke seluruh struktur mereka, semakin efektif kita. (selengkapnya di https://news.detik.com/kolom/d-5724786/bagaimana-menjadi-pemimpin-berdampak-besar-bagi-organisasi)
3. Daya Kopi Ekselsa Wonosalam
Selama ini orang mengenal kawasan Wonosalam, Kabupaten Jombang sebagai salah satu sentra durian di Jawa Timur. Tidak salah memang karena Wonosalam juga menghasilkan durian Bido, durian endemik yang telah diakui keunggulannya oleh kementerian pertanian sejak 2006 lalu melalui SK Mentan No. 340/Kpts/SR.120/5/2006. Namun demikian, Wonosalam juga dikenal sebagai kawasan penghasil kopi terutama kopi ekselsa yang sangat melegenda.
Barangkali tak banyak orang yang mengenal kopi ekselsa karena memang jumlahnya tak terlalu banyak. Hanya sekitar 5 persen dari seluruh peredaran kopi dunia. Namun demikian, kopi ekselsa mempunyai citarasa yang unik dan eksotis. Kopi ekselsa Wonosalam mempunyai citarasa fruity, tasty, floraly, chocolaty, dan creammy sehingga menjadikan kopi ini memiliki kekhasan tersendiri.
Ditengarai bahwa tanaman kopi ekselsa di Wonosalam sudah ada sejak zaman Belanda, sekitar awal 1900 sebagai pengganti tanaman kopi arabika dan robusta yang nyaris habis terserang penyakit. Sementara sejarah perkebunan kopi di Wonosalam sendiri sudah ada sejak 1800-an. Ilmuwan Inggris, Alfred Russel Wallace pada 1861 ketika berkelana ke Jombang, sempat mengunjungi kebun-kebun kopi di Wonosalam dalam rangka mengumpulkan spisemen burung merak dan ayam hutan.
Catatan lain juga menyebutkan bahwa beberapa nama dusun dan desa yang saat ini masuk wilayah Kecamatan Wonosalam sejak 1850-an sebagai wilayah pengembangan ondernemin atau perkebunan kopi yang menjadi bagian dari wilayah Onderdistrict Kasembon, District Ngantang, Regentschap Malang. Beberapa nama perkebunan tersebut antara lain Pengadjaran, Wonomerto, Segoenoeng, Tjarangwoeloeng, Wonokerso, Pangloengan, dan Bagongan.
Budidaya tanaman kopi ekselsa ini merata di sembilan desa yang ada di Kecamatan Wonosalam, terutama pada kawasan dengan elevasi kurang dari 700 meter dpl. Sementara di atas ketinggian itu dominan dikembangkan kopi robusta dan arabika. (Selengkapnya di https://news.detik.com/kolom/d-5726461/daya-kopi-ekselsa-wonosalam)
4. Menyeimbangkan PTM dan Pembelajaran "Online"
Sejumlah sekolah di berbagai daerah mulai menyelenggarakan Pembelajaran Tatap Muka Terbatas (PTMT). Dilaksanakannya Pembelajaran Tatap Muka (PTM) menua pro dan kontra di kalangan masyarakat; yang pro beralasan karena pembelajaran online yang sudah nyaris setahun setengah lebih berjalan meningkatkan learning loss serta memperparah learning gap.
Bagi yang kontra, PTM bisa menjadi kluster baru penyebaran Covid-19 yang mulai melandai, dan memilih untuk tetap mengedepankan keselamatan. Kasus Covid yang tinggi pada anak-anak --12,6% anak positif Covid 19 (Satgas Covid-19, 25/6/2021)-- masih menghantui orangtua. Ini menjadi wajar karena mengedepankan keselamatan jiwa di atas segalanya.
Kalau kita merujuk pada kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim bersama dengan Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Kesehatan, panduan PTMT memang sudah sangat ketat; mematuhi prokes, pendidik harus sudah divaksin, PTM hanya dilaksanakan 50% dan dikombinasikan dengan PJJ, kantin sekolah ditutup, serta kegiatan ekstra ditiadakan.
Tapi kita juga harus belajar dari kejadian sebelumnya, ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan PTMT dengan buku panduan pembelajarannya pada awal Juni 2020, tapi pada akhir Juni pemerintah kembali mengoreksi kebijakan PTMT seiring dengan kian melonjaknya kasus Covid-19 sehingga nyaris semua sekolah kembali melaksanakan PJJ. Kejadian itu memang tak diharapkan terulang, tapi kita harus siap dengan segala kemungkinan yang terjadi, yakni melaksanakan PTM dengan protokol yang ketat sambil juga meningkatkan kualitas pembelajaran online.
Pendidikan adalah proses menuntun, mengetahui, dan melatih peserta didik agar menjadi manusia seutuhnya dengan belajar dari proses kehidupan. Selama masa pandemi Covid-19, ada banyak yang hilang dari proses pendidikan. Berdasarkan banyak kajian, pembelajaran online belum maksimal sehingga learning loss dan learning gap serta hilangnya penguatan karakter peserta didik menjadi ancaman serius bagi masa depan.
Learning loss terjadi karena kualitas pembelajaran yang hanya memindahkan ruang kelas ke dalam kelas online telah membuat anak jenuh, motivasi belajar anak rendah, serta orangtua yang juga stres. Pendekatan, strategi, dan teknik mengajar online ternyata belum bisa membangkitkan gairah peserta didik. Ini tentu bisa dimaklumi karena Covid-19 datang sebagai bencana yang tak direncanakan, tapi ini bisa menjadi pelajaran bagi semua untuk berbenah ke depannya.
Sedangkan learning gap terjadi karena adanya disparitas infrastruktur. Indonesia memiliki 75 ribu desa dan 20 ribu di antaranya belum terhubung internet. Indonesia juga memiliki 214 ribu sekolah, ada 80 ribu sekolah yang belum terhubung ke internet. Ironisnya sekolah yang terhubung ke internet hanya digunakan jaringannya saat UNBK, alias saat ujung akhir sekolah saja. Dalam keseharian jaringan itu tak digunakan, bagaimana guru dan peserta didik menjadi terlatih dalam literasi digital. (Selengkapnya di https://news.detik.com/kolom/d-5716319/menyeimbangkan-ptm-dan-pembelajaran-online)
Selanjutnya contoh teks artikel "Bersiap Menyambut Asesmen Nasional" >>>
5. Bersiap Menyambut Asesmen Nasional
Pada September dan Oktober 2021 ini, Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) akan menyelenggarakan Asesmen Nasional yang merupakan evaluasi sistem pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Pertama kali disampaikan kepada publik pada 11 Desember 2019, Asesmen Nasional merupakan salah satu terobosan Mendikbudristek Nadiem Makarim yang berani menyudahi pelaksanaan Ujian Nasional dan menjadi bagian dari paket pertama kebijakan pembenahan pendidikan di Indonesia yang dikenal dengan Merdeka Belajar.
Sebelum Asesmen Nasional, Indonesia telah memiliki dan melaksanakan sejumlah sistem penilaian, termasuk mengikuti penilaian yang dilaksanakan oleh lembaga internasional. Penilaian yang diselenggarakan oleh Kemendikbudristek meliputi Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK), Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN), dan Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia (AKSI).
Sementara itu, siswa-siswa Indonesia juga mengikuti penilaian yang dilaksanakan oleh lembaga internasional seperti survei The Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS), The Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS), dan Programme for International Student Assessment (PISA).
Dengan keberadaan sejumlah sistem penilaian tersebut, kehadiran Asesmen Nasional diharapkan dapat menambal kebutuhan yang belum diperoleh dari sistem yang ada tersebut. Berbeda dengan Ujian Nasional yang menjadi indikator keberhasilan siswa sebagai individu, Asesmen Nasional sebagai evaluasi sistem tidak memiliki konsekuensi pada siswa yang mengikuti asesmen. Asesmen Nasional tidak menghasilkan skor individu siswa, guru, maupun kepala sekolah.
Dalam Asesmen Nasional, evaluasi dilakukan terhadap hasil belajar siswa yang mendasar (literasi, numerasi, dan karakter) serta kualitas proses belajar-mengajar dan iklim satuan pendidikan yang mendukung pembelajaran. Informasi tersebut diperoleh dengan tiga instrumen utama, yaitu Asesmen Kompetensi Minimum (AKM), Survei Karakter, dan Survei Lingkungan Belajar.
Sementara itu, belajar dari pengalaman Ujian Nasional yang berpengaruh pada citra sekolah dan pemerintah daerah sehingga berbagai cara dilakukan agar terlihat sukses dalam Ujian Nasional, maka pada Asesmen Nasional hasil asesmen akan ditampilkan dengan menghindari pemeringkatan dan pelabelan negatif terhadap sekolah dan daerah. Menurut Kemdikbudristek, hasil Asesmen Nasional hanya dapat dilihat oleh sekolah masing-masing serta Dinas Pendidikan (Kemdikbudristek, 2021).
Terdapat beberapa argumen mengapa Asesmen Nasional perlu dan penting untuk diselenggarakan. Pertama, dengan situasi pandemi Covid-19 yang memaksa proses belajar mengajar dilaksanakan dari rumah dalam kondisi darurat, telah memunculkan kekhawatiran tentang hilangnya kesempatan belajar (learning loss) bagi banyak siswa. Terdapat beberapa dampak negatif dari situasi pandemi Covid-19 terhadap siswa yang belajar dari rumah, misalnya menurunnya proses pembangunan karakter, munculnya tekanan psikososial, dan menurunnya motivasi siswa hingga siswa cepat bosan dan tidak mau belajar (Kusumastuti, 2021).
Sampai dengan saat ini belum tersedia data yang komprehensif tentang seberapa besar, pada siapa, di mana, dan mengapa learning loss terjadi. Asesmen Nasional perlu mengambil peran ini, dengan memetakan learning loss di seluruh Indonesia dan menjadi data awal (baseline) dalam rangka menentukan kebijakan atau intervensi pemerintah yang tepat sesuai permasalahan yang terjadi di lapangan.
Kedua, selama ini sistem evaluasi pendidikan pada sekolah-sekolah banyak dikeluhkan oleh guru dan kepala sekolah karena membuat fokus untuk melakukan tugas mengajar menjadi terganggu oleh urusan administratif yang ribet misalnya borang penilaian yang terpisah-pisah, tumpang tindih, dan berulang (tidak efisien). Bahkan sampai Presiden Joko Widodo pun pernah mengeluhkan para guru dan kepala sekolah lebih sibuk mengurus SPj (Surat Pertanggungjawaban) dibanding mengajar. Kehadiran Asesmen Nasional diharapkan membawa perubahan terhadap model evaluasi pendidikan yang cenderung administratif tersebut dan benar-benar diarahkan untuk mendorong perbaikan kualitas pembelajaran.
Ketiga, untuk melakukan pembenahan yang menyeluruh atas permasalahan pendidikan, diperlukan pemetaan atas permasalahan yang ada di lapangan secara spesifik. Selama ini kebijakan yang sering digunakan dalam pembenahan di daerah-daerah di Indonesia cenderung menggunakan pendekatan "one size fits all" secara top down. Padahal tidak semua daerah memiliki karakter permasalahan yang sama sehingga perlu pendekatan yang lebih sesuai dengan kondisi yang dihadapi masing-masing daerah atau sekolah.
Dari Survei Lingkungan Belajar sebagai bagian Asesmen Nasional yang mengukur kualitas pembelajaran, iklim keamanan dan inklusivitas sekolah, refleksi guru, praktik pengajaran, dan latar belakang keluarga siswa, diharapkan diperoleh informasi yang berguna untuk melakukan diagnosis masalah dan perencanaan perbaikan pembelajaran oleh guru, kepala sekolah, dan dinas pendidikan. Hal ini diharapkan membantu sekolah dalam menyusun kebijakan untuk meningkatkan mutu pembelajaran sesuai dengan permasalahan yang dihadapi. (selengkapnya di https://news.detik.com/kolom/d-5716092/bersiap-menyambut-asesmen-nasional)
6. "Second Plan" Pendidikan Kita
Mulai melandainya kasus aktif Covid-19 memberikan secercah harapan bagi dunia pendidikan yang seperti mati suri dengan kebijakan on-off menyesuaikan situasi Covid-19. Situasi ini tentu menghadirkan euforia kembali ke sekolah dengan belajar tatap muka. Namun demikian, sembari menunggu habis masa "larangan" masuk sekolah selama masa PPKM ini, perlu kiranya kita bisa mempersiapkan segala sesuatunya, sembari mengelola agar euforia kembali ke sekolah tidak berlebihan.
Harus diakui, magnet keceriaan ketika bersekolah sedikit-banyak hilang ditelan pandemi. Kapan lagi kita dapat melihat senyum lepas anak-anak sekolah? Kita terbayang-bayang betapa bahagianya ketika keceriaan itu sudah kembali. Keceriaan saat melihat anak-anak berseragam sekolah, bersendau gurau dengan teman sekolahnya.
Di pinggir jalan, sambil meneguk minuman dingin khas jajanan anak sekolah, saling berkisah asyiknya belajar di kelas. Ataupun berkelindan kata merencanakan agenda bermain melepas penat mengerjakan soal. Begitu cair, meskipun sedikit canggung awalnya. Namun tak mengapa, untuk memulai sesuatu yang bakal indah ke depannya.
Kita optimistis, raut kesukacitaan akan terlihat kembali dari wajah anak-anak. Keceriaan yang mungkin tampak berbeda ketimbang pada saat bermain bersama. Mungkin mereka yang ceria mengenakan seragam sekolah tadi adalah mereka pula yang kerap bermain bersama. Berbagi keceriaan di perpustakaan, di kantin, dan pojok-pojok sekolah, dengan tetap menjalankan protokol kesehatan saat belajar di era kebiasaan baru.
Namun, keceriaan itu bisa seketika pupus. Manakala, hasrat tinggi bersekolah tidak diimbangi dengan ketaatan, kedisiplinan dalam menerapkan protokol kesehatan. Setidaknya ini terlihat, masih banyak anak yang berkerumun, bahkan tidak memakai masker. Meskipun kasus harian di banua kita relatif aman, tetapi bukan berarti abai dengan "kewajiban" saat berada di sekolah maupun lingkungan sekolah.
Jangan sampai euforia belajar tatap muka di sekolah, menjadi mudarat khususnya bagi kesehatan dan keselamatan semua warga sekolah.
Adanya pandemi setidaknya juga mengajarkan kepada kita semua agar tidak hanya diam dan membuat kondisi pendidikan kita terpuruk. Banyak terobosan inovasi yang bisa kita coba terapkan agar kita tidak lagi kaget ketika menghadapi situasi serupa. Pertama, jangan sekadar mengandalkan belajar tatap muka.
Pembelajaran tatap muka memang menjadi aset berharga pendidikan kita. Dengan belajar tatap muka, secara psikologis memberikan garansi bahwa anak sudah sekolah, dan guru sudah mengajar. Sederhananya, dengan belajar tatap muka, maka sudah gugur kewajiban bersekolahnya. Tentu bukan demikian; ada urgensi dari belajar tatap muka, yaitu memberikan pemahaman lebih mendalam tentang suatu pengetahuan ketimbang pada saat belajar online.
Kedua, jangan terus menyalahkan belajar online. Dalam suatu kegiatan supervisi mahasiswa bimbingan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL), saya mengamati bahwa praktikan yang dilakukan dengan sistem online ternyata justru interaktif dan menarik.
Guru bisa menjelaskan dengan animasi menarik, siswa juga semangat belajar, menjawab soal, aktif menjawab. Dengan catatan, guru praktikan mengemas pembelajaran dengan baik. Membuat powerpoint yang eye-catching, terus berinteraksi dengan para siswanya, komunikasi dua arah, menulis dengan papan tulis digital, justru terlihat keren.
Memang, ada syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi jika memang belajar sistem online dengan memanfaatkan berbagai platform digital, utamanya adalah sarana dan prasarana pendidikan yang merangkul seluruh siswa hingga ke daerah 3T.
Besarnya anggaran pendidikan 20% dari APBN di tiap tahunnya, tentu lambat laun bisa meng-cover pemenuhan fasilitas pendidikan, baik HP, internet, hingga ke daerah pelosok. Sehingga, semua anak bangsa bisa mengakses hakikat pendidikan abad ke-21, pendidikan era disrupsi, pendidikan di era 4.0 maupun 5.0. Jadi, ada-tidaknya pandemi, pembelajaran dengan sistem online ini adalah alternatif solusi di kala pembelajaran tatap muka masih nihil kontribusi.
Ketiga, belajar jangan lagi berorientasi pada nilai kognitif saja. Konsep merdeka belajar yang digaungkan Mendikbud sudah sangat cocok untuk memutus rantai lingkaran setan dari belajar sekadar mencari nilai, bukan kepahaman dan makna belajar yang dikaitkan dengan konteks nyata. Menghapus jiwa-jiwa yang gemar berorientasi pada prestasi dari segi kognitif dan intelektual semata. Mengeliminasi predikat juara kelas, ranking, dan semacamnya.
Apa artinya berkompetisi dan berlomba untuk meraih prestasi akademik itu tidak bagus? Tentu bagus. Masalahnya hanyalah pada substansi yang diujikan, substansi yang diujikan, masih berkutat pada bahan hafalan, belum pada bahan yang mengarahkan peserta didik alias siswa pada kebiasaan menganalisis, mengevaluasi, sekaligus mengkreasi. (selengkapnya di https://news.detik.com/kolom/d-5716070/second-plan-pendidikan-kita)
Selanjutnya contoh teks artikel "Pascawisuda Mau ke Mana?">>>
7. Pascawisuda Mau ke Mana?
Menjadi lulusan perguruan tinggi dengan gelar akademik yang disandang merupakan kebahagiaan tersendiri dari sederet perjalanan akademik bagi seorang mahasiswa dalam dunia akademik. Selebrasi atas keberhasilan perjuangan akademik itu patut untuk dirayakan dengan penuh rasa syukur, gembira, dan gegap gempita. Minimal ia telah berhasil melalui satu tahapan dari sekian tahapan akademik yang menyertai selama berjuang menjadi seorang mahasiswa.
Meski harus diakui prosesi wisuda bukanlah tahapan akhir dari perjalanan akademik yang bersangkutan, sebaliknya merupakan babak baru dalam mengarungi kehidupan nyata di lapangan, yang tentunya berbeda dengan dunia kampus selama ini.
Dalam konteks kesarjanaan sudah tentu hal yang dicari setelah lulus adalah pekerjaan, terutama pekerjaan kantoran. Menganggur mungkin kata yang paling menyakitkan bagi para sarjana. Para sarjana akan berusaha melamar pekerjaan ke sana kemari dengan bermodalkan selembar ijazah hanya untuk melekatkan status karyawan atau PNS. Tapi banyak juga yang menganggur karena tidak mendapat pekerjaan "kantoran".
Lantas pertanyaan selanjutnya, apakah kuliah dipersiapkan untuk pekerjaan yang sifatnya "kantoran"? Apakah gelar sarjana berkontribusi membuat para sarjana malu bekerja selain "kantoran"? Asumsi dasar seperti inilah yang perlu kita luruskan bersama.
Kuliah bukan mutlak untuk pekerjaan, tapi kuliah mutlak untuk mencari ilmu pengetahuan. Sedangkan pekerjaan tidak mesti mengikat dengan gelar kesarjanaan. Sarjana akan berusaha mendapatkan kerjaan "kantoran" meskipun tidak sesuai dengan gelar kesarjanaan, yang pada akhirnya tidak ada produktivitas yang berarti dari pekerjaan yang digelutinya dan prestasinya akan terus menerus menurun.
Kondisi ini sudah tentu merugikan para sarjana itu sendiri akan hal disiplin ilmunya yang tak terpakai dan terus terikat pada suatu kondisi di mana dia tidak dapat berkreativitas.
Bila dipahami bersama, para sarjana setelah lulus tidak lagi mencari pekerjaan, tapi "menciptakan" pekerjaan di mana para sarjana dapat berkontribusi mengurangi pengangguran bukan justru menambah pengangguran. Namun tidak perlu diartikan salah bila berkesempatan menjadi karyawan atau PNS setelah kuliah.
Yang disayangkan adalah para sarjana yang hanya mengandalkan selembar kertas bertanda tangan rektor untuk pekerjaan dan tidak mau mengandalkan daya pikir dan kreativitas untuk pekerjaan lainnya, wirausaha misalnya.
Bagi para sarjana akademisi sejati mereka akan terus melakukan penelitian sesuai terapan bidangnya bahkan melanjutkan jenjang pendidikan ke yang lebih tinggi. Penelitian-penelitian tersebut akan dibukukan dan dijadikan hak cipta. Itu hanya akan ada bagi para sarjana yang berpikiran forward vision. Jadi semua pilihan ada pada para sarjana, tergantung cara berpikir, konsep, perencanaan para sarjana tersebut. Pascawisuda mau ke mana? Anda yang menentukan!
Bagi sebagian orang, lulus studi seringkali menjadi sebuah ironi, menghadirkan kebanggaan dan kegelisahan sekaligus. Membawa kebanggaan karena tercapaikan target studi dengan baik dan sempurna, namun tidak jarang memunculkan kegelisahan karena dihadapkan pada pilihan ketidakpastian akan apa yang mesti dilakukan setelah lulus dari studi.
Kegelisahan, kebingungan, kegamangan, dan ketidakpastian ini terutama disebabkan oleh ketidaksiapan sebagian lulusan perguruan tinggi dalam menghadapi babak baru dari kehidupannya pascastudi. Selain itu, bisa juga disebabkan kurangnya wawasan, motivasi ,dan kepercayaan diri dalam menghadapi kompetensi di dunia kerja dan dalam kehidupan masyarakat secara luas.
Bayangan akan sempitnya peluang kerja dan banyaknya pengangguran di negeri ini menjadi momok yang menghantui pikiran para lulusan baru (fresh graduates). (selengkapnya di https://news.detik.com/kolom/d-5713139/pascawisuda-mau-ke-mana)
8. Menuju Pariwisata Berdaya Dukung Lingkungan
Setelah kasus Covid 19, Indonesia kembali menjadi perhatian dunia internasional. UNESCO meminta pemerintah untuk menghentikan proyek pembangunan infrastruktur pariwisata di Taman Nasional Komodo. Pembangunan tersebut dianggap dapat merusak lingkungan dan mengganggu habitat Komodo. Bahkan belum melakukan kajian mengenai dampak lingkungan.
Permintaan UNESCO disambut pro-kontra di dalam negeri. Aktivis lingkungan merasa mendapatkan angin segar, sedangkan Gubernur NTT menyatakan pembangunan sudah mempertimbangkan semua aspek termasuk lingkungan.
Pemerintah perlu menjadikan teguran UNESCO sebagai warning dalam pengelolaan wisata alam. Pengelolaan wisata alam harus berorientasi kelestarian ekosistem dibandingkan tujuan ekonomi semata. Kelestarian akan menjaga keberlanjutan daya tarik wisata alam sehingga keuntungan ekonomi akan terus bertahan. Namun apabila pengembangan tanpa mempertimbangkan lingkungan maka keuntungan hanya dapat dirasakan dalam jangka pendek.
Indonesia dijuluki sebagai zamrud khatulistiwa karena memiliki keindahan alam dan keanekaragaman hayati. Julukan tersebut membuat beberapa objek wisata menjadi tujuan turis luar negeri. Pulau Bali, Wakatobi, Raja Ampat, Lombok, Labuan Bajo, atau Bunaken adalah contoh objek wisata kelas dunia. Modal given ini pengelolaaannya harus diperlakukan seperti sumber daya yang tidak dapat diperbaharui.
Sebelum adanya pandemi COVID-19, pariwisata memegang peran penting dalam perekonomian di Indonesia. Data Kementerian Pariwisata menunjukkan bahwa sektor pariwisisata berkontribusi 4,8% kepada Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2019. Tenaga kerja sektor pariwisata mencapai 12,7 orang atau 10% dari total penduduk yang bekerja.
Selain itu, jumlah penerimaan devisa negara tidak dapat dianggap sebelah mata. Pada 2018, devisa sektor ini mencapai Rp 229 triliun rupiah. Kondisi ini membuat banyak pihak ingin mengambil manfaat ekonomi dari sektor pariwisata.
Pengelolaan wisata perlu mempertimbangkan daya dukung dalam mendukung turis yang berkunjung. Definisi daya dukung adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan keseimbangan antar keduanya (UU nomer 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup).
Ekosistem yang menjadi daya tarik wisata alam mempunyai batasan tertentu untuk mendukung kegiatan wisata. Apabila batasan tersebut terlampaui, maka dapat merusak dan mengganggu ekosistem.
Pembangunan infrastruktur pariwisata bertujuan untuk menarik minat sehingga meningkatkan kunjungan jumlah turis. Peningkatan dikhawatirkan menambah tekanan terhadap lingkungan hidup. Selain itu, pembangunan akan mengalihfungsi lahan yang seharusnya memiliki fungsi lindung seperti penyerapan air atau pencegahan longsor. Pembangunan infrastruktur pariwisata harus dikaji lebih detail terutama dampaknya terhadap lingkungan.
Pemerintah seharusnya tidak hanya melihat kuantitas pengunjung sebagai indikator keberhasilan pengelolaan sektor pariwisata. Jumlah turis yang berlebihan dapat berakibat negatif seperti kerusakan alam, flora-fauna stres, atau timbulnya sampah. Apabila kondisi tersebut dibiarkan akan mengurangi kenyamanan dan menyebabkan kecewa turis yang berkunjung.
Selain itu, jumlah turis yang terlalu banyak tanpa diimbangi oleh pengawasan juga akan berdampak negatif. Lemahnya pengawasan dapat menimbulkan perilaku turis tidak bertanggung jawab. Vandalisme atau kegiatan yang melanggar aturan sering terjadi di obyek wisata. Apalagi setelah adanya media sosial, banyak turis hanya sekadar mengikuti tren tanpa mempertimbangkan dampaknya.
Dua kerugian utama apabila wisata alam dieksploitasi tanpa memperhatikan daya dukung. Pertama, manfaat ekonomi akan berkurang karena jumlah turis berkurang akibat kerusakan atau hilangnya daya tarik alam. Masyarakat akan kehilangan sebagian pendapatannya dan pendapatan asli daerah (PAD) menurun.
Kerugian kedua adalah hilangnya keindahan alam dan keaneragaman hayati. Kegiatan turis dkhawatirkan mengganggu habitat flora-fauna langka. Apalagi komodo yang merupakan hewan purba dan hanya terdapat di Pulau Komodo. Hal ini yang menjadi keresahan utama aktivis lingkungan hidup.
Terdapat beberapa contoh kawasan wisata yang mengalami penurunan fungsi ekosistem akibat masifnya kunjungan turis. Cladio Milano dalam bukunya Overtourism dan Tourismphobia menceritakan dampak negatif masifnya turis di Venesia. Jumlah kunjungan yang berlebihan menyebabkan merusak pemandangan dan fondasi gedung bersejarah. Maladewa mengalami permasalahan sampah akibat meningkatnya jumlah turis sedangkan lahan untuk pengolahan sampah terbatas. (selengkapnya di https://news.detik.com/kolom/d-5707610/menuju-pariwisata-berdaya-dukung-lingkungan)
Selanjutnya contoh teks artikel "Benarkah Guru Santai dengan PJJ?">>>
8. Benarkah Guru Santai dengan PJJ?
Pandemi yang terus bergulir meresahkan banyak orangtua. Di antara keluhan itu adalah tugas-tugas sekolah yang menumpuk, beban kuota internet, serta sarana belajar seperti laptop dan HP yang kurang mumpuni.
Keluhan lainnya adalah kecanduan game dan musik ala Korea. Beberapa orangtua bahkan mengeluh karena anaknya tidak paham materi belajar, sehingga harus memberi bimbingan belajar ekstra di luar jam sekolah online, seperti les tambahan atau orangtua yang meluangkan waktu membimbing. Sehingga tak sedikit di antara orangtua yang melontarkan celetukan di laman Facebook yakni masa pandemi kerja guru menjadi santai karena ada kebijakan work from home (WFH). Benarkah demikian?
Mendengar celetukan itu saya tersenyum. Mereka yang berceletuk tentu bukan seorang guru. Jika sesama guru, saya pastikan tak akan ada celetukan seperti itu. Menjadi guru saja membutuh sekolah setidaknya S1. Apalagi guru SD seperti saya. Kuliah S1 saja tidak cukup jika belum linier. Harus sekolah lagi jurusan Pendidikan SD. Dan tugas guru itu tetap sama walaupun harus mengajar dari rumah (WFH).
Tugas guru tak melulu mengajar dan mendidik murid. Guru harus menyiapkan perangkat pembelajaran, mengisi jurnal harian, membuat media pembelajaran bahkan saat ini banyak guru yang membuat media pembelajaran dengan video dan diunggah ke kanal YouTube. Menyiapkan materi atau bahan ajar, lembar kerja untuk murid dan rubrik penilaiannya. Setelah itu guru harus mengoreksi dan memasukkan nilai murid ke kolom yang telah disediakan oleh sistem.
Seolah waktu 24 jam itu kurang bagi guru. Terlebih ketika momen nasional seperti hari kemerdekaan, hari guru, dan hari pendidikan. Guru harus menyiapkan beragam lomba. Menentukan pemenang dan menyiapkan hadiah. Kemudian menyiapkan mental murid dengan suntikan motivasi. (selengkapnya di https://news.detik.com/kolom/d-5701643/benarkah-guru-santai-dengan-pjj)
9. Pandemi, Pahlawan, dan (Ilusi) Media Sosial
Apa yang biasa dilakukan orang-orang ketika dalam kondisi darurat? Menelpon layanan 110 kepolisian? Menelpon layanan 118/119 ambulans? Atau menelepon layanan 113 petugas kebakaran?
Barangkali orang-orang terlalu gugup dan panik untuk memanggil layanan itu. Bisa jadi tidak sempat. Orang-orang akan sibuk mencari pertolongan pertama menghadapi kepanikan. Teman, keluarga, atau tetangga sekitar yang kita panggil.
Tapi, pertolongan pertama itu barangkali tidak ada. Selama kebijakan PPKM Darurat dan juga kebijakan-kebijakan yang lalu (maupun yang akan datang) terkait pandemi, tidak banyak yang bisa kita lakukan. Kita telah terkurung dan terjebak dalam satu ruangan dan dikacaukan ilusi yang sama. Kita merasakan bagaimana kesulitan mencari sepeser rupiah. Beberapa dari kita bahkan hanya bisa memainkan sendok dan piring kosong yang saling saut.
Pikiran kita terus dibayangi oleh tawa anak dan keluarga di rumah. Tak sampai hati rasanya membayangkan tawa mereka berubah menjadi derai air mata. Bisakah kebutuhan esok hari tercukupi? Itu sebuah pertanyaan menyayat hati.
Kita benar-benar dibuat chaos oleh pandemi. Kita sama-sama berjalan dalam labirin keputusasaan. Belum genap seminggu, satu, dua, tiga, hingga empat orang dikabarkan meninggal. Katanya, terkena Covid-19. Kita bertanya-tanya, siapa gerangan pahlawan yang bisa menjadi penyelamat di tengah kekalutan seperti ini?
Jika kita pernah mendengar cerita Don Quixote de La Mancha, kita mungkin bakal ramai-ramai menyebut Alonzo Quinjano sebagai pahlawan. Bersama kuda peliharaannya yang diberi nama Rocinante, dan seorang teman bernama Sancho Panza, mereka berkelana dari desa ke desa menumpas kejahatan. Alonzo dikenal hebat dalam menumpas kejahatan. Tak ada satu pun musuh yang lolos dari genggamannya. Alonzo benar-benar menjadi pahlawan, bahkan mungkin dalam kondisi darurat sekalipun.
Kehebatan Alonzo menumpas kejahatan dikemas apik oleh Miguel de Cervantes dalam satu karya besar berjudul Don Quixote de La Mancha (1605). Buku yang disebut-sebut sebagai karya fiksi terbaik sepanjang masa itu bercerita tentang lika-liku hidup Alonzo Quinjano menjadi pahlawan. Alonzo membantu gadis-gadis yang tersika, melawan para raksasa hingga melawan ketidakadilan.
Tapi, apa jadinya jika Miguel de Cervantes justru malah mengganyang cerita Alonzo sebatas rekaan cerita dalam kepala? Akankah kita tetap menjadikan Alonzo sebagai penyelamat kita? Mungkin tidak. Kita mengetahui Miguel de Cervantes telah mempermalukan Alonzo dengan membuatnya terobsesi oleh romansa ksatria tahun 1500-an.
Alonzo yang telah membaca banyak kisah dongeng tentang ksatria, kehilangan akal sehat dan mengidap halusinasi. Kewarasan Alonzo alias Don Quixote terganggu akibat terlalu banyak membaca. Ia tak mampu mengendalikan pikiran untuk membedakan antara realita dan fantasi. Ia benar-benar pandai menghayal dan percaya bahwa dirinya adalah sosok pahlawan dalam cerita. Alonzo telah menipu kita.
Tapi tunggu. Fantasi kisah epik Alonzo benar-benar membius kita. Beberapa dari kita mungkin telah menyerupai Alonzo. Mereka berlomba menjadi pahlawan dan menawarkan solusi atas krisis yang kita alami. Di sebuah ruang virtual, orang-orang berbicara strategi. Mereka siap menjadi garda terdepan melawan krisis ini.
Di satu sisi, kita telah berjalan cukup jauh mengarungi waktu. Tapi hingga saat ini, kita tak diperlihatkan orang-orang itu berada di garda depan. Mereka seperti pahlawan kesiangan. Mereka berdiri gagah memegang tombak di medan perang. Tapi tak bisa berbuat banyak. Kita dibuat jengkel. Kita kecewa. Bahkan, kita mungkin tak akan lagi percaya pada mereka.
Pada akhirnya kita dilanda keputusasaan. Pahlawan yang kita nantikan, tak bisa berbuat banyak. Kita memutuskan meninggalkan pahlawan itu. Lalu, kembali berdiam di ruang media sosial. Di sana, kita bisa hidup bebas. Tanpa takut terkena virus. Tanpa takut anak kelaparan, dan tanpa dirundung kematian.
Media sosial adalah surga dunia bagi orang-orang yang putus asa. Kita tak perlu bekerja keras mencari sesuatu yang sulit kita dapat di dunia realita. Media sosial menawarkan seribu satu kebahagiaan. Kita bisa dengan mudah menjelajah sudut-sudut dunia. Bertemu orang-orang baru dan berkenalan banyak orang tanpa keraguan. Untuk setiap peristiwa dan keadaan, kita bisa membagikan dan mengetahuinya di sini. Kita benar-benar saling terhubung. Tanpa sekat dan diskriminasi. Kita benar-benar merayakan keputusasaan.
Sebuah perusahaan media asal Inggris, We Are Social yang bekerja sama dengan Hootsuite dalam Digital 2021: The Latest Insights Inti The State of Digital, merilis rata-rata orang Indonesia menghabiskan tiga jam 14 menit sehari untuk mengakses media sosial. Kisaran waktu tersebut menjadi kedua tertinggi di Asia, hanya di bawah Filipina yang menghabiskan 3,8 jam.
Negara-negara seperti Malaysia, Thailand, India, Vietnam, dan Singapura bersinggungan dengan media sosial dalam kisaran dua jam per hari. Sementara itu, Tiongkok, Hong Kong, Taiwan, dan Korea Selatan sekitar satu jam per hari. Jepang menghabiskan waktu paling sedikit, yakni hanya 46 menit setiap hari. (selengkapnya di https://news.detik.com/kolom/d-5684060/pandemi-pahlawan-dan-ilusi-media-sosial)
Selanjutnya contoh teks artikel "Komunikasi yang Efektif bagi Penolak Vaksin">>>
10. Komunikasi yang Efektif bagi Penolak Vaksin
Seusai rapat mingguan, ada yang cukup mengganjal pikiran saya. Bukan soal ada masalah atau keluhan pelanggan yang akhir-akhir ini banyak yang muncul. Melainkan pertanyaan dari atasan saya kenapa ada anggota dalam tim saya belum divaksin Covid-19.
Saya baru menyadari bahwa masih ada satu orang di dalam tim saya belum bersedia ikut vaksinasi. Karena sudah mendapatkan reminder, saya sendiri coba menanyakan alasannya langsung. Setelah berbincang-bincang cukup singkat, akhirnya saya mendapatkan alasan mengapa hingga saat ini anggota tim saya tersebut enggan divaksin.
Letak permasalahannya adalah keraguan dari keamanan kejadian pasca imunisasi (KIPI), status kehalalan ditinjau dari sudut pandang agama, dan belum ada pressure dari manajemen kantor saya. Contoh dari tim saya ini menunjukkan adanya gap informasi yang tidak sampai sehingga tetap keukeh untuk tidak mau ikut vaksinasi.
Sebenarnya cerita di atas merupakan gambaran gunung es. Tampak kecil di atas, tetapi masih banyak kasus penolakan vaksin di tengah masyarakat. Dasarnya adalah masih rendahnya cakupan program vaksinasi Covid-19. Sudah ada progres memang, tetapi tidak signifikan. Padahal di satu sisi jika ingin pandemi ini cepat selesai, solusinya hanya satu yaitu percepatan vaksinasi masyarakat.
Berdasarkan data Kemenkes, hingga per 31 Juli 2021, sebanyak 47 juta orang sudah menerima vaksin tahap pertama atau sekitar 22.75 persen dari target 208 juta jiwa. Sementara yang sudah menerima vaksin tahap kedua lebih kecil lagi yaitu baru 20 juta orang. Inilah yang harus terus didorong oleh pemerintah agar penerima vaksin lebih banyak lagi dan lebih cepat. Karena berpacu dengan waktu.
Untuk mencapainya, semua upaya resistensi terhadap vaksin harus segera diatasi. Yakni dengan cara menyusun strategi komunikasi yang tepat bagi kelompok-kelompok penolak vaksin. Penyusunan strategi ini harus melibatkan peran dari pihak swasta, institusi pendidikan, dan pimpinan keagamaan. Terdengar klise memang, tetapi percayalah itu salah satu cara yang mungkin bisa efektif bila dilakukan secara masif dan konsisten.
Bagi para karyawan swasta seperti saya ini, salah satu langkah yang bisa diambil adalah adanya aturan semua karyawan wajib divaksin. Tentu tetap ada pengecualian bagi yang memang ada gangguan kesehatan dan kondisi tertentu yang mengakibatkan gagal vaksin. Ini pun harus sesuai dengan rekomendasi dokter. Bagi yang tidak ada halangan, maka wajib divaksin, jika tidak bersedia mungkin bisa diberikan sanksi.
Namun yang jadi kelemahan hingga saat ini yaitu tidak adanya monitoring pemerintah ke perusahaan-perusahaan. Padahal opsi ini bisa diambil untuk memastikan semua karyawannya sudah menerima vaksin. Apalagi perusahaan memiliki bargaining position yang cukup untuk melaksanakan peraturan tersebut.
Strategi komunikasi yang kedua adalah melibatkan pemuka agama untuk sosialisasi bahwa vaksin ini halal. Memang sudah ada keputusan dari MUI bahwa vaksin Covid-19 halal. Tetapi nyatanya masih ada sebagian kelompok menganggap vaksin tersebut haram. Apalagi dengan dalih jika dilakukan pemaksaan. (Selengkapnya di https://news.detik.com/kolom/d-5676735/komunikasi-yang-efektif-bagi-penolak-vaksin)
11. Infodemik dan Hancurnya Kebijakan Kesehatan
Beberapa negara telah menetapkan kebijakan lebih longgar menghadapi Covid-19, memungkinkan masyarakat kembali hidup normal. Singapura misalnya, dengan hampir 40% populasi telah mendapat suntikan vaksin, pemerintah setempat telah membuat rencana untuk beralih ke fase baru kebijakan penanganan Covid-19 yang tidak lagi fokus pada upaya melacak setiap kasus dan mengakhiri semua penularan. Sebaliknya, kebijakan dilakukan dengan memperlakukan Covid-19 menjadi penyakit yang kurang mengancam, seperti flu.
Di Amerika Serikat, di mana 46% populasinya sudah mendapatkan suntikan vaksin penuh, kematian akibat Covid-19 harian turun hingga di bawah angka 300 per hari, menjadi titik terendah sejak Maret 2020. Sementara Inggris telah menekan angka kematian mencapai titik yang relatif rendah, meski terdapat peningkatan infeksi yang dipicu varian virus Delta.
Dengan total pemberian vaksin baru menyentuh angka 40 juta orang, program vaksinasi di Indonesia baru mencapai 16,62% untuk dosis pertama dan vaksinasi dosis kedua mencapai 7,5% pada akhir Juni 2021. Selama seminggu terakhir dilaporkan, Indonesia rata-rata telah memberikan sekitar 823.588 dosis setiap hari. Pada tingkat seperti itu, dibutuhkan setidaknya 66 hari lagi untuk memberikan dosis yang cukup untuk 10% populasi lainnya.
Upaya membentuk kekebalan kelompok (herd immunity) di Indonesia masih perlu didorong lewat upaya vaksinasi massal yang terus dilakukan setiap daerah. Lambatnya proses pemberian vaksin menyulitkan pemerintah membentuk kekebalan kelompok untuk menghentikan penyebaran virus. Ini utamanya disebabkan keengganan masyarakat menerima suntikan vaksin setelah dibanjiri informasi palsu dan berita bohong, yang disebut dengan istilah Infodemik, terkait covid-19 dan kampanye vaksin.
Infodemik telah menyebar jauh sebelum COVID-19. Sayangnya, dengan penyebaran COVID-19, infodemik telah menyebar secara viral ke seluruh dunia melalui platform digital. Internet pada dasarnya dapat memperkuat dan menyampaikan infodemik semacam itu dengan cepat ke seluruh dunia, menyebabkan kepanikan massal dan semakin memperburuk stigmatisasi terhadap orang-orang yang berada di pusat wabah.
Seberapa bahaya disinformasi dan berita bohong yang mengikuti langkah dan kebijakan penanganan wabah? Perlukah otoritas setempat memberlakukan kebijakan menghentikan setiap upaya yang melucuti kepercayaan publik terhadap pemerintah dalam mengatasi pandemi dan melancarkan kampanye vaksin?
Infodemik, Seberapa Bahaya?
Dari 20 hoax terkait Covid-19 yang dikonfirmasi, setidaknya 14 berita diklasifikasikan menyesatkan, dan enam memiliki konteks palsu. Bahkan pada Mei 2020, tercatat 32 konten menyesatkan, 30 konten palsu, 15 konten rekayasa terkait covid-19. Facebook menjadi platform favorit yang digunakan untuk menyebarkan hoaks Covid-19 pada Mei dan Juni dengan jumlah 68 informasi, diikuti oleh WhatsApp 25 informasi, Twitter 5, dan YouTube 1 informasi.
Menurut Kementerian Komunikasi dan Informatika, setidaknya 70 item berita palsu telah dideteksi sejak Oktober 2020 hingga Januari 2021 tentang vaksin COVID-19. Sebuah kelompok masyarakat sipil Masyarakat Anti Fitnah (MAFINDO), yang bekerja untuk memerangi berita palsu bahkan menghitung setidaknya 80 berita bohong tentang vaksin dari Maret 2020 hingga Januari 2021. Jumlah berita palsu yang beredar mengalami peningkatan pada saat pemerintah meluncurkan program vaksinasi.
Infodemik menyebabkan terlalu banyak informasi palsu atau menyesatkan di lingkungan digital dan fisik selama pandemikk, menyebabkan kebingungan dan perilaku pengambilan risiko yang dapat membahayakan kesehatan. Pelanggaran terhadap protokol kesehatan seperti tidak menggunakan masker, membuat kerumunan serta menolak pemberian vaksin adalah efek tak terduga yang berbahaya bagi masyarakat dan menyulitkan pemerintah mengambil kebijakan yang efektif.
Hal ini juga menyebabkan ketidakpercayaan warga pada otoritas kesehatan dan merusak respons kesehatan masyarakat. Terdorong oleh informasi salah soal covid-19 dan vaksin, masyarakat menjadi tidak yakin tentang kebijakan pemerintah serta apa yang perlu mereka lakukan untuk melindungi kesehatan warga.
Infodemik juga tampaknya memiliki konsekuensi kesehatan yang nyata: satu penelitian, yang diterbitkan pada Agustus 2020, memperkirakan bahwa keracunan alkohol membunuh hampir 800 orang dari seluruh dunia yang tampaknya percaya dengan rumor yang tersebar secara daring bahwa minum alkohol dengan konsentrasi tinggi akan mencegah COVID-19.
Kata "infodemik" bukanlah istilah pertama untuk menggambarkan dunia online kita yang dipinjam dari istilah medis. Selama pandemi, para peneliti telah berbicara tentang bagaimana perusahaan media sosial harus "meratakan kurva" informasi yang salah.
Twitter telah berbicara selama beberapa tahun tentang keinginan perusahaan mereka untuk mempromosikan apa yang disebut sebagai "percakapan yang sehat" di dunia maya. Tapi apa yang mereka maksud dengan "percakapan yang sehat"? Sementara itu, YouTube telah menghapus lebih dari 900.000 video yang terkait dengan informasi berbahaya atau menyesatkan tentang Covid sejak Februari 2020.
Secara global, merujuk pada data riset yang dipublikasikan pada The American Journal of Tropical Medicine and Hygiene (Volume 103: Issue 4), mereka telah mengidentifikasi 2.311 laporan terkait infodemik COVID-19 dalam 25 bahasa dari 87 negara (tabel 1). Dari jumlah tersebut, 2.049 (89%) laporan diklasifikasikan sebagai rumor, 182 (7,8%) adalah teori konspirasi, dan 82 (3,5%) adalah stigma. Studi ini mengidentifikasi tiga gelombang infodemik antara 21 Januari 2020 dan 5 April 2020.
Gelombang pertama antara 21 Januari dan 13 Februari, gelombang kedua antara 14 Februari dan 7 Maret, dan gelombang ketiga antara 8 Maret dan 31 Maret 2020. Pada dua gelombang pertama, jumlah Infodemik yang dilaporkan rendah dan polanya serupa jika dibandingkan dengan gelombang ketiga.
Merujuk pada hasil studi yang sama, Di antara semua kategori informasi yang berhasil dilacak, 24% terkait dengan penyakit, penularan, dan kematian; 21% untuk mengontrol infeksi; 19% untuk pengobatan dan penyembuhan; 15% untuk penyebab penyakit termasuk asalnya; 1% untuk kekerasan; dan 20% untuk lain-lain. Dari 2.276 laporan, 1.856 adalah klaim yang salah (82%), 204 benar (9%), 176 menyesatkan (8%), dan 31 tidak terbukti (1%). Sebagian besar rumor, stigma, dan teori konspirasi diidentifikasi dari India, Amerika Serikat, Cina, Spanyol, Indonesia, dan Brasil.
Di antara semua kategori infodemik, rumor adalah yang paling umum. Volume rumor meningkat dari Februari dan berlanjut hingga akhir masa studi, memuncak pada pertengahan Maret 2020. Sebagian besar rumor terkait dengan penyakit, penularan, dan kematian COVID-19, diikuti oleh intervensi yang berfokus pada tindakan pencegahan dan pengendalian infeksi. Ada laporan tentang makan bawang putih, menjaga kelembapan tenggorokan, perlu menghindari makanan pedas, dan pentingnya mengonsumsi vitamin C dan D untuk membantu mencegah penyakit. Selain itu, ada laporan desas-desus bahwa penyemprotan klorin dapat mencegah infeksi virus corona.
Di Indonesia, yang merupakan salah satu negara yang paling parah terkena dampak di Asia, survei nasional yang dilakukan pada tahun 2020 oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika dan Katadata Insight Center (KIC) menemukan bahwa antara 64 dan 79 persen responden tidak dapat mengenali informasi yang salah secara online. Sebagian besar mengatakan mereka terutama mencari informasi melalui media sosial.
Konsekuensi dari misinformasi viral tidak terbatas pada ranah digital. Ketika pengguna menemukan hoax online yang mereka yakini benar, mereka sering membagikannya kepada orang lain secara langsung, menyebarkan ketakutan dan kecemasan di luar media sosial. Contoh yang paling bisa dikenali adalah hoax pertama tentang Covid-19 yang dianggap penyakit flu biasa. Hoax pertama ini sayangnya bukan berasal dari Indonesia dan dipercaya banyak orang di seluruh dunia.
Faktanya, Covid-19 tidak sama dengan flu biasa yang disebabkan oleh virus influenza. Menurut Stanford Children's Health, Covid-19 disebabkan oleh virus corona yang baru ditemukan bernama SARS-CoV-2. Meskipun gejala awal Covid-19 mungkin menyerupai pilek disertai demam dan batuk, penyakit ini dapat berkembang lebih lanjut dan menyebabkan kesulitan bernapas atau radang paru-paru, bahkan menyebabkan kematian.
Sebuah video hoax lain mengklaim bahwa thermo gun pada awalnya digunakan untuk memeriksa suhu pada kabel dan tidak digunakan untuk manusia, sehingga radiasinya dapat berbahaya bagi otak manusia. Kementerian Komunikasi dan Informatika telah mengklarifikasi bahwa informasi tersebut tidak benar. Menurut dokter spesialis penyakit dalam dr. Ari Fahrial Syam SpPD-KGEH, thermo gun aman digunakan dan telah lolos uji kesehatan.
Beberapa bulan terakhir, saat pemerintah menjalankan program vaksin, disinformasi dan berita bohong menyebar seputar keamanan vaksin; kemungkinkan tertular meski telah menerima suntikan vaksin, kematian yang disebabkan oleh suntikan vaksin hingga berita bohong yang menyebar seputar suntikan vaksin yang digunakan sebagai jalan masuk membenamkan chip kecil ke tubuh manusia sehingga mudah di kendalikan oleh negara tertentu. (selengkapnya di https://news.detik.com/kolom/d-5667417/infodemik-dan-hancurnya-kebijakan-kesehatan)
Nah, itu dia detikers, 11 contoh teks artikel yang bisa menjadi panduan dan inspirasimu dalam menulis.
Simak Video "Video: Suasana Pecah Saat Denny Cagur Melawak di Depan Mendikdasmen"
[Gambas:Video 20detik]