Jakarta -
Pertempuran Lima Hari di Semarang berlangsung pada 15-19 Oktober 1945. Pertempuran melawan tentara Jepang ini menelan banyak korban, terutama di wilayah Simpang Lima.
Latar belakang Pertempuran Lima Hari di Semarang
Pertempuran di Semarang dipicu peristiwa yang terjadi pada tanggal 14 Oktober 1945. Pada waktu itu, sekitar 400 orang veteran Angkatan Laut Jepang memberontak dan melarikan diri saat dipindahkan ke Semarang. Para veteran tentara Jepang tersebut semula akan dipekerjakan untuk mengubah pabrik gula Cepiring menjadi pabrik senjata.
Para veteran tentara Jepang tersebut menyerang polisi Indonesia yang mengawal mereka. Mereka lalu bergabung dengan Kidobutai di Jatingaleh, seperti dikutip dari buku Ilmu Pengetahuan Sosial 3 untuk SMP/MTs Kelas IX oleh Ratna Sukmayani, Thomas K. Umang, Sedono, Seno Kristianto, dan Y. Djoko Raharjo.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kidobutai adalah sebutan batalyon Jepang di bawah pimpinan Mayor Kido. Mereka bergerak melakukan perlawanan dengan alasan mencari dan menyelamatkan orang-orang Jepang yang tertawan.
Situasi bertambah panas dengan adanya desas-desus bahwa cadangan air minum di daerah Candi, desa Wungkal telah diracuni. Pihak Jepang memperuncing keadaan dengan melucuti delapan orang polisi yang menjaga cadangan air minum tersebut. Alasannya yaitu untuk menghindarkan peracunan cadangan air minum tersebut.
Dr. Kariadi, yang memeriksa cadangan air di Candi, ditembak tentara Jepang hingga wafat. Peristiwa beruntun ini memicu kemarahan rakyat Semarang dan meletuskan pertempuran.
Pertempuran Lima Hari di Semarang pecah pada dini hari tanggal 15 Oktober 1945. Pemuda dan pejuang Indonesia bertempur melawan pasukan Kidobutai dan batalyon Jepang lain yang kebetulan singgah di Semarang.
Pertempuran Lima Hari di Semarang baru berhenti setelah Gubernur Wongsonegoro dan pemimpin TKR berunding dengan komandan tentara Jepang. Proses gencatan senjata dipercepat setelah Brigadir Jenderal Bethel dari pasukan Sekutu ikut terlibat dalam perundingan pada tanggal 20 Oktober 1945. Pasukan Sekutu lalu melucuti senjata Jepang dan menawan pasukan Jepang.
Lalu seperti apa sejarah pendirian Tugu Muda >>>
Pendirian Tugu Muda
Pertempuran Lima Hari di Semarang tersebut merupakan salah satu pertempuran untuk mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.
Untuk mengenang Pertempuran Lima Hari di Semarang, maka didirikan Monumen Perjuangan Tugu Muda atau Monumen Dokter Kariadi di tengah alun-alun Semarang pada Oktober 1945. Peletakan batu pertama dilakukan pada 28 Oktober 1945, seperti dikutip dari laman Sistem Registrasi Nasional Cagar Budaya.
Tugu Muda tersebut tidak lama berdiri. Tugu ini dibongkar oleh tentara Belanda yang tergabung dalam NICA (Nederlandsch IndiΓ« Civil Administratie) dan RAPWI (Rehabilitation of Allied Prisoners of War and Internees).
Rencana pembangunan ulang Tugu Muda muncul pada tahun 1950. Tugu Muda baru mulai dibangun pada Mei 1952.
Tugu Muda yang baru dibangun di simpang lima yang berada di depan kantor Divisi Diponegoro, di dekat Bangunan Cagar Budaya Lawang Sewu dan Museum Mandala Bhakti. Tugu ini terletak di tengah pertemuan antara Jalan Imam Bonjol, Jalan Pemuda, Jalan Pandanaran, dan Jalan Mgr. Sugiyapranata.
Tugu Muda baru semula akan dibangun dengan biaya Rp 30.000, tetapi kenaikan biaya bahan dan lain-lain menyebabkan biaya pembangunan naik hingga Rp. 300.000. Biaya pembangunan Tugu Muda baru diperoleh dari sumbangan masyarakat di Semarang.
Tugu Muda yang baru diresmikan tanggal 20 Mei 1953, bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional. Tugu Muda yang baru diresmikan oleh Presiden Soekarno pukul 09.25. Tugu Muda kini ditetapkan sebagai cagar budaya nasional.
Struktur dan Makna Tugu Muda
Tugu Muda memiliki kepala tugu berbentuk seperti api yang sedang menyala. Bentuk api ini menggambarkan semangat juang untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang tidak akan pernah padam.
Bagian tengah tugu berbentuk seperti bambu runcing yang mempunyai arti senjata yang dipakai oleh para pejuang dalam usaha untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Bambu runcing ini berbentuk tegak ke atas dan berjumlah lima buah.
Bambu runcing yang berjumlah lima buah ini menggambarkan Pertempuran Lima Hari yang terjadi di Semarang pada tanggal 15 - 19 Oktober 1945. Di bawah bagian bambu runcing terdapat lima buah batu yang mempunyai pahatan lambang sila-sila dalam Pancasila, yaitu bintang, rantai, pohon beringin, kepala banteng, dan padi dan kapas.
Di bagian bawah pahatan bambu Pancasila ini terdapat lima penyangga yang mempunyai berbagai macam hiasan pahatan yang berupa:
1. Patung Hongerodeem (Busung Lapar)
Patung ini dipahat oleh seniman Edhi Sunarso. Pahatan menggambarkan hidup rakyat Indonesia di masa pendudukan Belanda dan Jepang yang tertindas dan menderita. Di masa penjajahan tersebut, banyak rakyat Indonesia yang kelaparan. Hal tersebut membuat Hongerodeem atau Busung Lapar banyak menyerang rakyat Indonesia.
2. Patung Pertempuran
Patung ini dipahat oleh Joeski yang berasal dari Aceh. Pahatan patung ini mempunyai arti semangat pertempuran dan keberanian Angkatan Muda Semarang saat Pertempuran Lima Hari.
3. Patung Penyerangan
Patung ini dipahat oleh Bakri yang juga berasal dari Aceh. Pahatan patung ini menggambarkan perlawanan rakyat Indonesia terhadap pihak-pihak penindas yang mencoba menggagalkan usaha rakyat Indonesia untuk bebas dari penjajahan.
4. Patung Korban
Patung ini dipahat oleh Nasir Bondan dari Banten. Pahatan patung ini menggambarkan rakyat yang menjadi korban dalam Pertempuran Lima Hari.
5. Patung Kemenangan
Patung ini dipahat oleh Djony Trisno dari Salatiga. Pahatan patung ini menggambarkan tentang hasil jerih payah usaha dan pengorbanan yang terjadi di Semarang.
6. Ukiran-ukiran lain yang dibuat oleh Roestamadji
Jadi, untuk mengenang pertempuran lima hari, maka di Semarang didirikan Monumen Perjuangan Tugu Muda atau Monumen Dokter Kariadi . Semangat belajar sejarah ya, detikers!