Humanisme menjadi istilah yang seringkali digunakan dalam filsafat, pendidikan, dan literatur. Namun, secara umum, kata ini berkenaan dengan pemahaman manusia terhadap eksistensi dirinya dalam hubungan kemanusiaan dengan orang lain dalam sebuah komunitas.
Pemaknaan humanisme dari masa ke masa pun berubah. Lantas, apa sebetulnya pengertian dari humanisme. Bagaimana sejarahnya?
Pengertian Humanisme
Humanisme berasal dari kata homo yang berarti manusia dan memiliki arti manusiawi atau sesuai dengan kodrat manusia. Secara terminologis, humanisme berarti martabat dan nilai dari setiap manusia dan semua upaya untuk meningkatkan kemampuan-kemampuan non alamiahnya secara penuh.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara itu menurut KBBI, humanisme berarti aliran atau pemikiran yang bertujuan untuk menghidupkan rasa peri kemanusiaan dan mencita-citakan pergaulan hidup yang lebih baik.
Sehingga, dapat disimpulkan bahwa humanisme adalah pemikiran yang menganggap bahwa manusia adalah subjek utama dalam kehidupan. Hal itu dilakukan dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan serta meningkatkan segala kemampuan yang dimiliki untuk mencapai hidup yang lebih baik.
Sejarah Humanisme
Pemahaman humanisme berubah dari masa ke masa. Berawal dari manusia yang dipandang hanya sebagai makhluk kodrati, lalu berubah menjadi kodrati, adikodrati imanen dan transenden, hingga menekankan moralitas dan lain sebagainya.
Masa Yunani Klasik
Pada masa Yunani Klasik, humanisme berwujud dalam paideia, yaitu suatu sistem pendidikan Yunani Klasik yang bertujuan untuk menerjemahkan visi tentang manusia ideal. Mengutip etheses IAIN Ponorogo, Paideia atau 'seni mendidik' dalam Yunani Klasik seringkali dipandang sebagai tonggak awal sebuah sejarah peradaban melalui pendidikan atau kesadaran intelektual manusia. Pada intinya, di masa ini, manusia dipandang semata-mata makhluk kodrati.
Abad Pertengahan
Kemudian, pada abad pertengahan, perspektif Yunani Klasik atas manusia mendapat pembaruan dari paham Kristiani. Hal tersebut terjadi terutama saat St. Agustinus memandang bahwa manusia tidak sekedar makhluk kodrati, tapi juga makhluk adikodrati, imanen dan transenden.
Mengutip repository UIN Jakarta, citra manusia yang awalnya sebagai faber mundi (pekerja atau pencipta dunianya sendiri), berkembang menjadi imago dei (makhluk ilahi, citra Tuhan). Namun, secara umum, dia hanya berangkat dari pertimbangan kodrati manusia, seperti manusia harus menjadi manusia yang baik.
Masa Renaissans
Munculnya humanisme Renaissans pada abad ke 14 sampai 16 lebih menekankan moralitas yang berpusat pada keyakinan atas martabat manusia, nilai hidup aktif di dunia, dan kehendak bebas untuk bertindak. Manusia mempunyai kapasitas untuk menentukan dan mengarahkan tujuan hidupnya sendiri.
Abad ke-17 dan 18
Kemudian, humanisme abad pencerahan pada abad ke 17 dan 18 menjadi jauh dari agama, bahkan kadang terasa lebih dekat dengan atheisme. Dalam pemahaman ini, kekuatan akal budi dan ilmu menjadi hal yang utama dalam hidup manusia. Kemanusiaan yang agung dan perkembangannya menjadi makna tertinggi dari sejarah.
Abad ke-19 dan Seterusnya
Pada abad ke-19, humanisme harus berhadapan dengan revolusi industri dan perkembangan pesat ilmu pengetahuan seperti fisika, biologi, politik, sosiologi, dan ekonomi. Selanjutnya, pada abad ke 20, kekuatan humanisme semakin terpuruk dengan adanya perang dunia I dan II serta peristiwa kekejaman nazi.
Kala itu, martabat manusia diinjak-injak, keagungannya dirobek-robek. Manusia tidak berarti lagi. Pada tahap berikutnya, pemikiran tentang humanisme terbagi menjadi dua kelompok besar, yaitu humanisme keagamaan dan sekuler.
Humanisme keagamaan berakar dari tradisi Renaisans-Pencerahan. Pemikiran tersebut diikuti banyak seniman, umat Kristen garis tengah, dan para cendekiawan. Sementara aliran humanisme sekuler mencerminkan bangkitnya globalisme, teknologi, dan jatuhnya kekuasaan agama.
Dalam hal ini, dapat diketahui humanisme merupakan aliran kefilsafatan yang menempatkan manusia sebagai subjek penting. Manusia diberi kebebasan untuk bisa mengembangkan segala kemampuan dan potensi yang dimiliki serta mengingatkan kembali akan eksistensi, kedudukan, serta tanggung jawab dalam hidupnya.
(elk/row)