Narges Mohammadi adalah seorang aktivis hak asasi manusia Iran kelahiran 1972 yang mengkampanyekan hak-hak perempuan dan penghapusan hukuman mati, dikutip dari laman resmi Nobel Prize. Atas kerjanya, rezim Iran menangkap Mohammadi 13 kali, menghukumnya 5 kali, dan menjatuhkan hukuman total 31 tahun penjara dan 154 kali cambukan.
Kasus Penindasan Perempuan di Iran
Seorang calon mahasiswa hukum baru, Mahsa Jina Amini, terbunuh saat berada dalam tahanan polisi moral Iran pada September 2022. Pihak kepolisian menyatakan ia ditangkap karena berpakaian ketat dan tidak mengenakan jilbab dengan sepantasnya, dikutip dari BBC.
Otoritas Iran mewajibkan perempuan menutup rambut dan mengenakan pakaian longgar untuk menutup tubuh, dikutip dari DW. Amini yang saat itu hendak menemui saudara laki-lakinya di Tehran lalu ditangkap oleh pihak kepolisian.
Menurut beberapa saksi mata, ia dipukuli oleh pihak kepolisian hingga koma selama 2 hari dan tewas. Namun, pihak pemerintah Iran menyatakan bahwa Amini tewas karena alasan kesehatan yang sudah ada sebelumnya.
Pembunuhan terhadap Amini memicu demonstrasi politik terbesar melawan rezim teokratis Iran sejak berkuasa pada 1979. Ratusan ribu warga Iran berdemo menggunakan slogan "Zan - Zendegi - Azadi', atau "Perempuan - Kehidupan - Kebebasan" untuk melawan kebrutalan dan penindasan pemerintah terhadap perempuan.
Namun, rezim Iran menindak protes damai tersebut sehingga lebih dari 500 demonstran terbunuh dan ribuan orang menjadi korban luka. Sebagian pendemo juga menjadi buta akibat peluru karet yang ditembakkan polisi. Tidak kurang dari 20.000 orang ditangkap dan ditahan rezim.
Aksi dari Balik Penjara
Gelombang protes 2022 tersebut diketahui oleh para tahanan politik yang ditahan di penjara Evin, penjara yang dikenal kejam di Teheran. Mohammadi di balik penjara memimpin dan menyatakan dukungan kepada para demonstran. Ia juga mengorganisir aksi solidaritas di antara sesama narapidana.
Aksi Mohammadi membuat otoritas penjara melarangnya menerima telepon dan pengunjung. Namun, ia berhasil menyelundupkan artikel New York Times pada peringatan satu tahun pembunuhan Mahsa Jina Amini.
"Semakin banyak dari kita yang dikurung, semakin kuat kita jadinya," katanya saat itu menyatakan perlawanan.
Mahasiswa Fisika Aktivis HAM Perempuan
Mohammadi semula merupakan mahasiswa fisika di kisaran tahun 1990-an. Saat itu, ia mulai terlibat dalam aktivisme pembela kesetaraan dan hak-hak perempuan.
Rampung kuliah, perempuan ini menjadi insinyur dan kolumnis di berbagai surat kabar yang berpikiran reformasi. Pada 2023, Mohammadi lalu terlibat dengan Pusat Pembela Hak Asasi Manusia di Teheran, sebuah organisasi yang didirikan oleh peraih Hadiah Nobel Perdamaian Shirin Ebadi.
Mohammadi pertama kali ditangkap pada 2021 dan dijatuhi hukuman penjara karena membantu aktivis yang dipenjara dan keluarga mereka. Ia dibebaskan dengan jaminan 2 tahun kemudian, lalu kembali terlibat dalam kampanye menentang penggunaan hukuman mati.
Diketahui, Iran merupakan salah satu negara yang mengeksekusi penduduk setiap tahunnya. Per Januari 2022, lebih dari 860 tahanan dijatuhi hukuman mati di Iran.
Aktivisme Mohammadi melawan hukuman mati membuatnya ditangkap pada 2015 dan dipenjara lagi. Sebagai tahanan, ia menentang penggunaan penyiksaan sistematis dan kekerasan seksual terhadap tahanan politik, terutama perempuan, yang dilakukan pemerintah di penjara-penjara Iran.
Penghargaan Nobel Perdamaian untuk Mohammadi
Komite Nobel Norwegia menyatakan, Narges Mohammadi adalah seorang wanita, pembela hak asasi manusia, dan pejuang kemerdekaan. Penganugerahan Hadiah Nobel Perdamaian tahun ini menjadi penghormatan atas perjuangan Mohammadi yang berani demi hak asasi manusia, kebebasan, dan demokrasi di Iran.
Slogan para demonstran kasus Amini "Zan - Zendegi - Azadi" atau "Wanita - Kehidupan - Kebebasan" dinilai selaras dengan dedikasi dan kerja Narges Mohammadi.
Pertama, Mohammadi memperjuangkan perempuan dengan melawan diskriminasi dan penindasan sistematis atas perempuan. Kedua, ia mendukung perjuangan perempuan untuk mendapatkan hak hidup yang utuh dan bermartabat. Perjuangan atas hak hidup tersebut selama ini ditanggapi dengan penganiayaan, pemenjaraan, penyiksaan, hingga kematian bagi warga di Iran.
Ketiga, Mohammadi dinilai memperjuangkan kebebasan berekspresi dan hak kemerdekaan, serta menentang peraturan yang mewajibkan perempuan untuk tidak terlihat dan menutupi tubuh mereka.
Tuntutan kebebasan tersebut bagi demonstran tidak hanya berlaku bagi perempuan, tetapi juga bagi seluruh warga. Sebab, berdasarkan catatan organisasi HAM setempat, 80 persen korban tewas protes kesetaraan perempuan di Iran justru adalah demonstran laki-laki, baik karena peluru tajam hingga pelet logam.
Penghargaan kepada Mohammadi dinilai telah mengikuti tradisi panjang penganugerahan Hadiah Perdamaian kepada orang-orang yang berupaya memajukan keadilan sosial, hak asasi manusia, dan demokrasi. Ketiganya merupakan prasyarat penting bagi perdamaian abadi.
(twu/pal)