Memilih jurusan kuliah, kampus, atau beasiswa sering dianggap sekadar formalitas. Padahal, menurut Abigail Limuria, seorang penulis dan aktivitis muda pendidikan hingga isu sosial politik, keputusan ini adalah salah satu titik paling besar dalam hidup seorang pelajar.
Ia menekankan pentingnya berpikir kritis sebelum menentukan arah agar tidak menyesal di kemudian hari. Langkah ini terutama berlaku bagi calon mahasiswa.
"Pilih jurusan atau pilih tempat kuliah atau pilih beasiswa itu adalah sebuah keputusan yang menurut aku sangat besar," ujar Abigail dalam seminar The Future Festival di Pullman Central Park, Jakarta, Minggu (28/9/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berpikir Kritis dalam Tentukan Pilihan Kuliah
Abigail menjelaskan bahwa berpikir kritis bukan sekadar menjadi "si paling kritis" yang selalu mempertanyakan segala hal. Lebih dari itu, berpikir kritis berarti mampu menganalisa data secara akurat.
Kritis juga berarti bersikap skeptis terhadap informasi yang diterima. Lalu mengolahnya menjadi keputusan tepat.
"Harus sangat dianalisa dan dibuat dengan hati-hati. Yang paling pertama, yang menurut aku paling penting dan teman-teman harus tanya ke diri dulu. Itu adalah, apa sih yang teman-teman tujuan kehidupan teman-teman itu apa?" jelasnya.
Menurutnya, berpikir kritis juga membuka ruang untuk berpikir kreatif. Dari analisis yang akurat, seseorang bisa mengembangkan pertanyaan lanjutan dan menemukan cara baru mengaplikasikan informasi sesuai situasi masing-masing.
Pilih Kampus Sesuai Tujuan Hidup
Salah satu contoh nyata penerapan berpikir kritis adalah saat memilih kampus atau jurusan. Penulis buku Makanya, Mikir! tersebut menilai ada anggapan bahwa kuliah di luar negeri pasti lebih baik daripada di dalam negeri. Namun, itu belum tentu benar.
"Kalau misalnya goal atau tujuan kita itu misalnya jadi menteri atau jadi bagian dari pemerintahan di Indonesia. Apakah benar kuliah luar negeri lebih oke daripada di dalam negeri? I would argue belum bener. Karena di dalam negeri teman-teman bisa ada koneksi," katanya.
Ia juga menekankan setiap individu punya kebutuhan berbeda. Ada yang membutuhkan suasana belajar kolaboratif, ada pula yang bisa bertahan di lingkungan yang sangat kompetitif.
"Nah itu mungkin teman-teman harus cari tentang kuliah yang di mana kulturnya gak terlalu individualis. Karena ada loh, universal sector tapi kulturnya sangat kompetitif, sangat individualis, dan akhirnya banyak yang gak masuk loh," tambahnya.
Bangun Komunitas yang Mendukung
Namun, Abigail juga mengakui bahwa berpikir kritis kadang mendapat stigma negatif di lingkungan tertentu. Ada yang menganggap sikap kritis terlalu banyak bertanya atau bahkan merepotkan.
"Kalau kita berada di lingkungan yang tidak mendukung, cobalah cari komunitas baru yang lebih sehat. Itu bisa lewat online, organisasi, atau sekadar punya sahabat yang mendukung," katanya.
Selain komunitas, ia juga menekankan pentingnya membaca buku dan menyerap wawasan dari berbagai sumber. Menurutnya, lima orang atau figur yang paling sering kita 'ajak bicara', termasuk lewat buku atau konten, sangat memengaruhi cara berpikir.
(cyu/cyu)