Ada satu titik krusial yang tak bisa dilewatkan dalam seleksi beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) Kementerian Keuangan yaitu wawancara substansi. Momen ini menjadi penentu, apakah seorang kandidat hanya membawa daftar panjang prestasi, atau benar-benar siap memberi makna bagi Indonesia.
Tahap wawancara kerap menjadi sumber kegelisahan bagi kandidat pelamar beasiswa. Kegugupan muncul bukan hanya karena khawatir salah bicara, tetapi juga karena dilema antara tampil percaya diri dan tidak terkesan menyombongkan diri.
Dalam situasi ini, banyak justru jatuh dalam jebakan humble bragging. Humble bragging adalah sikap seolah merendah tapi sebenarnya ingin menunjukkan kehebatan. Sikap ini sering kali justru menjadi bumerang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Alih-alih memperkuat kesan positif, humble bragging bisa mengaburkan kesan tulus dan mengurangi kredibilitas. Sikap ini bahkan bisa menurunkan kesan autentik dan kredibel yang sebenarnya ingin ditampilkan.
Untuk diketahui pelamar beasiswa akan diuji oleh 3 orang pewawancara yang memiliki latar belakang psikolog, akademisi, dan praktisi-profesional.
Lalu, bagaimana caranya menampilkan diri secara elegan tanpa terkesan pamer di depan para pewawancara tersebut? Berikut tipsnya seperti dikutip dari media sosial LPDP.
1. Gunakan "Kami" Saat Relevan
Tak semua prestasi harus diklaim secara individual. Jika pencapaian merupakan hasil kolaborasi, tak ada salahnya menggunakan kata "kami".
Ini menunjukkan pelamar menghargai kerja tim dan memiliki sikap rendah hati. Kedua sikap tersebut merupakan kualitas yang sangat diapresiasi dalam dunia profesional maupun akademik.
2. Hindari Merendah untuk Meninggi
Ucapan seperti "Saya biasa saja, tapi sering diminta jadi pembicara" bisa menimbulkan kesan tidak tulus. Lebih baik, bicarakan pengalaman secara objektif. Contohnya, "Kesempatan menjadi pembicara membantu saya membangun rasa percaya diri dan memperluas jaringan."
Intinya jujur, konkret, dan tetap profesional.
3. Tekankan Proses, Bukan Sekadar Hasil
Sebuah prestasi memang penting, tetapi proses mencapainya jauh lebih menarik bagi pewawancara.
Daripada hanya mengatakan "Saya juara nasional", akan lebih bermakna jika menjelaskan prosesnya: "Selama tiga bulan saya belajar secara mandiri sambil bekerja paruh waktu. Itu mengasah kedisiplinan dan manajemen waktu saya."
4. Tampilkan Dampak, Bukan Ego
Pewawancara lebih menghargai kontribusi yang berdampak dibanding sekadar daftar penghargaan.
Misalnya, daripada menyebut "Saya memenangkan 10 lomba", lebih baik katakan "Saya menginisiasi program literasi yang menjangkau 20 siswa di desa saya." Dampak riil jauh lebih berkesan dibanding pencapaian personal semata.
(pal/nah)